PEKAN lalu, amarah Presiden Megawati sempat tercetus karena sebagian anggota DPR dari Fraksi PDI-P belum menyerahkan daftar kekayaan kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Selain terlambat, ironisnya, ada pula yang mempertanyakan apa gunanya hal itu dilakukan. Yang bertanya ini agaknya tidak paham bahwa penyerahan daftar kekayaan ke KPKPN bermakna ganda. Pertama, hal itu menyangkut akuntabilitas publik dari para penyelenggara negara, termasuk anggota DPR. Kedua, mengungkap kekayaan pejabat berarti menghormati hak publik untuk memperoleh informasi, baik tentang pribadi pejabat maupun tentang proses penyelenggaraan negara.
Gagasan mengenai akuntabilitas publik sebenarnya sudah dibicarakan beberapa tahun lalu. Namun, ketika hal itu harus dilaksanakan, ternyata para anggora DPR tidak siap. Padahal, tak sedikit orang yang curiga akan penggelembungan pundi-pundi para wakil rakyat itu, terutama di bawah kolom yang bernama hibah.
Kalau menelusurinya sedikit ke belakang, kita juga masih ingat ketidakjelasan mekanisme subsidi kepada masyarakat miskin atas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebelumnya, telah terjadi berbagai penyelewengan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), yang pelakunya sulit dijaring oleh aparat penegak hukum. Lebih parah lagi, semua informasi tentang berbagai penyelewengan dan penyimpangan itu hilang tak berbekas, seolah-olah seperti dengan sengaja dihilangkan. Akibatnya, masyakarat bersikap apatis bila pemerintah melansir program kesejahteraan masyarakat.
Kebiasaan menyembunyikan kekayaan atau menyelewengkan uang pemerintah—yang sudah mewabah di seantero Indonesia—tidak pernah bisa ditemukan di Swedia. Penyimpangan dalam implementasi program pemerintah malah bisa dipastikan tidak sekali pun terjadi di negara paling modern di Skandinavia itu. Swedia memang paling maju dalam merealisasikan sistem pemerintahan yang demokratis. Kelebihannya terletak pada segala yang serba terbuka dan bisa dikontrol oleh masyarakat.
Sistem demokrasi yang berkualitas ini sudah berakar sejak dua abad lalu. Pada masa itu, Swedia menyusun konstitusi baru dengan menekankan empat hukum dasar, yaitu instrumen pemerintahan, kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan tata cara pemilihan umum. Dan dari hukum dasar yang mengatur soal kebebasan pers itu, tercantum secara jelas prinsip kebebasan publik untuk mengakses dokumen pemerintah.
Swedia menjadi salah satu acuan penting bagi Indonesia, terutama di saat menggagas adanya UU Kebebasan untuk Memperoleh Informasi. Saat ini RUU tersebut digodok oleh DPR setelah sebelumnya dirumuskan oleh koalisi antara Komisi Hukum Nasional dan 26 lembaga swadaya masyarakat—termasuk Indonesian Corruption Watch (ICW), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Pada akhir September silam, selama seminggu, tujuh anggota delegasi Indonesia—atas undangan The Swedish Institute—melakukan studi banding ke Swedia. Program ini dimaksudkan agar mereka dapat mempelajari bagaimana sistem ketatanegaraan dan sistem keterbukaan informasi diatur dan diterapkan di negeri yang tingkat kemakmuran warganya termasuk yang tertinggi di dunia itu.
Dan Swedia adalah juga negara pertama di dunia yang memiliki peraturan kebebasan publik untuk mengakses dokumen pemerintah. Pokoknya, Swedia merupakan negara pelopor keterbukaan di daratan Eropa. Bahkan, ketika Swedia menjadi Presiden Uni Eropa dari Januari hingga Juli 2001, mereka mengegolkan ide untuk keterbukaan akses publik terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah Uni Eropa.
"Ketika kami bertemu dengan pejabat dari Kanada, mereka menyindir Swedia sebagai negara yang terilusi dengan kebebasan," demikian kata Johan Wilhelmsson, 28 tahun, penasihat hukum di Kantor Menteri Kehakiman Swedia. Tapi Wilhelmsson, yang juga juru runding Swedia dalam pertemuan Uni Eropa, buru-buru menambahkan, "Namun, dengan adanya kebebasan masyarakat mengakses informasi, tugas kami jadi lebih mudah. Kami bisa lebih bertanggung jawab atas pekerjaan kami."
Keterbukaan memang merupakan tradisi yang kukuh dipertahankan oleh negeri penghasil pinus serta produsen produk terkemuka seperti Electrolux, Ericsson, dan mobil Volvo ini. Hampir tak ada kasus yang mencuat dalam beberapa dasawarsa terakhir yang berkaitan dengan penyembunyian kekayaan pejabat, korupsi, atau penggelapan informasi kepada masyarakat. Akibatnya, beberapa pejabat dan anggota parlemen yang ditemui delegasi Indonesia tak tahu harus men-jawab apa ketika ditanyakan kasus spesifik yang kontroversial dalam beberapa dasawarsa terakhir ini.
Seperti diketahui, pemerintahan di Swedia menganut sistem monarki konstitusional, dengan seorang perdana menteri, dan kontrol ketat dilakukan oleh parlemen dan pihak pers. Dari dalam pemerintahan sendiri, ada kelembagaan khusus yang disebut Chancellor of Justice. Lembaga ini menerima pengaduan-pengaduan masyarakat soal kinerja pemerintah yang tak beres. Sistem Chancellor of Justice mungkin mirip dengan sistem pengawasan melekat atau model Kotak Pos 5000 yang pernah dikelola oleh Wakil Presiden Sudharmono.
Di samping itu, ada kelembagaan yang bernama Parliamentary Ombudsman, suatu badan yang berada di bawah parlemen, yang sama-sama mengawasi jalannya pemerintahan dan menerima pengaduan dari masyarakat. Selain itu, masih ada sejumlah ombudsman yang ditunjuk pemerintah, seperti ombudsman untuk masalah konsumen, masalah anak dan orang cacat, diskriminasi etnis, persamaan hak dalam kerja, dan pelanggaran hak atas orientasi seksual.
Keterbukaan dalam sistem pemerintahan Swedia pun bisa dilihat dalam ruang sidang di parlemen. Saat pengambilan voting di parlemen, pengunjung sidang (dari pers ataupun masyarakat biasa, yang duduk di atas balkon ruang sidang) akan mudah mengetahui sikap wakil rakyat: apakah mereka setuju, menolak, atau abstain. Bagaimana dengan money politics? Jawabannya: nihil. Juga tak ada instruksi dari ketua partai ataupun kasak-kusuk mengegolkan kebijakan khusus. Semua begitu ter-buka dan mudah dipantau.
Pers juga bisa bekerja bebas dan mencari bahan berita ke berbagai kantor yang menampung keluhan masyarakat serta mengecek daftar keluhan yang datang hari demi hari. Wartawan bisa dengan mudah mencatat siapa yang mengadu, apa yang diadukan, dan siapa yang diadukan. Bahkan, berkas surat pengaduan masyarakat itu pun bisa dengan mudah dikopi untuk di-follow-up menjadi berita keesokan harinya. Luar biasa.
Kalau saja Megawati adalah Presiden Swedia, ia tak perlu marah-marah. Sebab, untuk mengetahui besarnya gaji warga Swedia, berikut pajak yang dibayarkan, seluruh data dan informasinya disediakan di kantor-kantor pemerintah. Tak perlu menunggu berminggu-minggu untuk mendapatkan data seperti itu. Cukup ditunggu beberapa jam, informasi itu pun segera bisa ditunjukkan. Dan semuanya gratis.
Dengan tingkat permintaan publik atas informasi yang makin luas, persyaratan atas pengelolaan dokumen tersebut menjadi vital. Rombongan Indonesia terperangah menyaksikan betapa keempat lantai gedung itu di-gunakan untuk penyimpanan arsip. Dokumen konstitusi setebal 30 sentimeter yang bersampul karton tebal merupakan dokumen paling berharga yang disimpan di perpustakaan parlemen Swedia. Umur konstitusi Swedia hampir 250 tahun dan naskah konstitusinya ditulis dengan tangan.
Tentu saja program studi banding ke Swedia itu akan sangat berguna bagi anggota DPR yang dalam persidangan mendatang akan membahas RUU yang digagas oleh sejumlah LSM, yaitu RUU Kebebasan Memperoleh Informasi. Saat ini, Badan Legislasi DPR tengah serius mempersiapkan bahan untuk mengajukan RUU ini sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat pleno menjelang masa reses akhir tahun ini.
Tumbu Saraswati, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, yang ikut dalam rombongan ke Swedia ini, menuturkan bahwa Indonesia sangat memerlukan UU Kebebasan Memperoleh Informasi karena, dalam pemerintahan yang lalu, informasi merupakan hal yang sulit didapat atau sangat mahal harganya. Diakuinya, memang masih jauh jalan yang harus ditempuh Indonesia untuk menjadi ideal seperti Swedia. "Tapi kita harus belajar perlahan-lahan," ujarnya terus terang.
RUU yang sekarang dibahas di DPR memang penting sebagai acuan bagi perilaku para pejabat. Melalui RUU tersebut, mereka dituntut untuk lebih transparan dan memosisikan diri di tempat yang mudah dikontrol oleh masyarakat, "Apalagi masalah kebebasan informasi ini juga merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia," demikian dikatakan oleh Mas Ahmad Santosa, peneliti senior ICEL, yang turut pergi ke Swedia.
RUU tersebut juga me-wajibkan lembaga-lembaga pemerintah—termasuk badan intelijen, peradilan, serta kelembagaan lain yang bersifat publik seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional—membuka akses informasi ke masyarakat. Pada gilirannya, masyarakat bisa meminta dokumen yang dibutuhkan tanpa harus memberikan alasan mengapa dokumen itu dibutuhkan. Tentu saja ada beberapa hal yang dikategorikan sebagai rahasia individu yang tak mungkin diakses oleh publik, seperti catatan kesehatan atau rekening perbankan.
Jika terjadi perselisihan dalam upaya mendapat akses informasi, RUU ini juga meng-gagas adanya komisi informasi yang menjadi tempat penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di samping itu, dimunculkan gagasan membentuk lembaga informasi yang menyebarkan, mendidik, dan mengontrol pelaksanaan mekanisme kebebasan informasi ini. Yang juga tak kalah penting adalah kewajiban lembaga-lembaga pemerintah membenahi sistem administrasi dan penyimpanan dokumen di lembaga tersebut. Hak publik untuk meng-akses informasi tentang pemerintah tidak akan terpenuhi kalau informasinya sendiri tidak dipelihara atau bahkan tidak tersedia.
Ignatius Haryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini