Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta memprediksi impor tekstil ilegal pada akhir tahun ini akan naik dari 40 persen menjadi lebih dari 50 persen dari pasar secara keseluruhan. Pasalnya, banyak impor ilegal justru dianggap sebagai produk lokal ketika telah beredar di dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yang masuk secara ilegal itu diklaim jadi produksi lokal. Ini kan jadi masalah," ujar Redma di Kantor Tempo, Jakarta, Selasa, 24 Desemer 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Redma bercerita, dugaan modus itu berawal dari angka pertumbuhan industri tekstil pada triwulan III tahun ini, yakni sebesar 7,43 persen. Menurut dia, angka ini janggal. Musababnya, banyak perusahaan tekstil yang justru berhenti produksi, termasuk raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex yang dinyatakan pailit.
Setelah menelusuri pangkal perhitungan angka pertumbuhan ini, Redma menemukan tak hanya angka ekspor dikurangi impor yang menjadi variabel. Tapi ditambah juga dengan angka belanja masyarakat. Dengan begitu, Redma mengatakan, sektor tekstil secara statistik tetap dapat tumbuh karena ditopang oleh belanja masyarakat.
Karena banyak perusahaan tekstil berhenti berproduksi, ia menduga masyarakat banyak mengonsumsi produk tekstil impor ilegal. Sayangnya, konsumsi ini dihitung sebagai produk lokal dalam statistik resmi pemerintah.
Tempo telah berusaha mengonfirmasi ihwal dugaan ini kepada Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Reni Yanita. Tapi hingga berita ini terbit, belum mendapatkan respons.
Maraknya aktivitas impor ilegal ini diduga menjadi penyebab utama industri tekstil di Tanah Air ambruk. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan barang impor ilegal yang murah membuat produk lokal kalah bersaing di pasar domestik. Menurut dia, lonjakan jumlah produk impor telah berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, terutama di sektor tekstil.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat 50 persen impor tekstil dan produk tekstil asal Cina masuk ke Indonesia secara ilegal. Ketua API Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengungkapkan ada selisih data impor yang signifikan pada pakaian jadi (HS 61 dan HS 62) dengan produk lainnya (HS 63). Ia membeberkan Indonesia mengimpor ke Cina pada kuartal I 2024 untuk kode HS 61 senilai US$ 118,87 juta, kode HS 62 senilai US$ 87,75 juta, dan kode HS 63 senilai US$ 116,36 juta.
Sementara itu, berdasarkan data laporan Cina ekspor ke Indonesia, kode HS 61 senilai US$ 269,57 juta, kode HS 62 US$ 247,68 juta, dan kode HS 63 US$ 366,23 juta. Dari data tersebut, API menyimpulkan ada selisih nilai impor dengan jumlah besar yang tidak tercatat. Antara lain selisih nilai impor kode HS 61 sebesar US$ 150,70 juta, kode HS 62 sebesar US$ 159,93 juta, dan kode HS 63 sebesar US$ 249,87 juta.
Riani Sanusi Putri berkontribusi dalam penulisan artikel ini