Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kebijaksanaan Swap: Supaya Tidak ...

Dalam paket deregulasi 27 oktober 1988 tercantum: fasilitas "swap", yang tadinya berjangka maksimal 6 bulan, kini bisa sampai 3 tahun. Kini pengusaha bisa meminjam dolar & merupiahkannya dengan "swap".

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA suku bunga pinjaman mahal, mengapa tidak meminjam dari luar negeri? Jalan ke sana sudah direntangkan Bank Indonesia dalam paket Deregulasi 27 Oktober yang diumumkan pekan silam. Di situ tercantum: fasilitas swap, yang tadinya berjangka maksimal enam bulan, kini bisa sampai tiga tahun. "Peraturan baru ini sangat positif bagi kalangan pengusaha," kata Peter Korompis, 35 tahun, Wakil Presiden merangkap Kepala Treasury Marketing Unit dari Citibank Jakarta. Menurut insinyur kimia lulusan Universitas Toronto ini, pengusaha yang membutuhkan modal investasi jangka panjang, bisa lebih tenang. Kini pengusaha bisa meminjam dolar dan merupiahkannya dengan swap tiga tahun. "Pinjaman dolar untuk tiga tahun itu ada. Yang repot, swap-nya tempo hari paling lama enam bulan. 'Kan pincang?" ujar Peter kepada Liston P. Siregar dari TEMPO. Seperti diketahui, suku bunga pinjaman perbankan di Indonesia, yang rata-rata di atas 20% per tahun, terhitung paling mahal di dunia. Sementara bank-bank di Swiss, Jepang, bahkan tetangga di Malaysia, memberikan pinjaman dengan suku bunga masing-masing 2%, 5%, dan 8%. Tak heran bila sebagian pengusaha berkaliber internasional -- karena perusahaan induknya di luar negeri atau pengusaha itu mempunyai rekening di bank Swiss -- lalu meminjam dari sana. Pengusaha perkapalan, misalnya. "Kredit kapal di dalam negeri terbatas sekali. Karena itu, kami lebih banyak meminjam dari luar negeri," ujar Hartoto Hardikusumo, Ketua INSA (Asosiasi Pengusaha Perkapalan Indonesia). Apalagi menurut Hartoto, persyaratan kredit luar negeri tidak perlu penyertaan modal. Meminjam valuta asing memang ada risiko. Bagi pengusaha kapal yang berpenghasilan dolar, memang aman. Tapi pengusaha yang berpenghasilan rupiah akan sulit mencicil pinjaman luar negeri, apalagi kalau ada devaluasi, atau setidaknya depresiasi. Maka, swap merupakan suatu cara bagi pengusaha untuk menghindarkan risiko devaluasi atau depresiasi rupiah itu. Bagi BI, swap adalah instrumen menambah dana dalam masyarakat, sekaligus memberi jaminan kurs kepada pengusaha yang mendapat pinjaman dari luar negeri. Dalam definisi BI -- yang lebih rumit -- swap adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian tunai, dengan penjualan kembali secara berjangka/tunai dengan pembelian kembah secara berjangka. Dua tahun lalu, BI menetapkan premi swap 8%, yang tahun silam dinaikkan 9%. "Angka itu ditentukan secara subyektif oleh Bank Indonesia. Relatif tetap, karena dulu masyarakat belum terbiasa dengan perubahan-perubahan," kata Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy kepada TEMPO "Sekarang sudah waktunya masyarakat dididik bahwa hidup itu selalu membawa perubahan," kata Doktor Mooy lagi. Apalagi masyarakat menganggap tarif swap yang relatif tinggi itu sebagai indikator bahwa kurs rupiah terhadap dolar akan merosot minimal 9% setahun. Dengan Deregulasi 27 Oktober 1988, tarif premi swap berubah lagi. Angkanya akan ditentukan tiap hari, atas dasar perbedaan suku bunga deposito bank-bank devisa dalam negeri, dengan suku bunga pinjaman di luar negeri (LIBOR). "Dengan demikian, tarif menjadi lebih obyektif," ujar Gubernur BI. Seorang bankir asing meragukannya. "Mana kita tahu berapa sebenarnya suku bunga deposito semua bank devisa?" begitu selidiknya. Swap adalah sejenis kredit juga. Itu sebabnya, bank-bank nasional dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) akhir-akhir ini gemar ber-swap. Mereka mencarikan pinjaman luar negeri yang berbunga murah, lalu menawarkan kredit rupiah dengan memberikan diskon sap kepada nasabahnya. Kalau BI menetapkan tarif premi swap 9%, bank dan LKBB berani memberikan diskon swap 8%. Dari situ mereka bisa memetik keuntungan langsung antara 0,12 1/2%-10%. Kendati BI sudah membuka peluang swap sampai tiga tahun, tidak berarti kepercayaan pada kurs rupiah sudah lebih mantap. Development Bank of Singapore (DBS) -- satu bank terbesar di Singapura -- menyuarakan bahwa kurs rupiah terhadap dolar kemungkinan bakal merosot sampai Rp 1.750 pada akhir tahun ini, dan mencapai Rp 1.800 per satu dolar pada akhir 1989. Beberapa bankir asing di Jakarta menganggap laporan DBS itu terlalu dibesar-besarkan. DSB juga mengatakan bahwa Indonesia masih akan mengalami pelarian modal oleh jatuhnya harga minyak. Yang terakhir ini juga kurang dipercaya oleh bank-bank di Jakarta, kendati dua tahun lalu adalah laporan DBS juga, yang menjadi salah satu penyebab rush pembelian dolar. "Justru deregulasi moneter, keuangan, dan perbankan ini antara lain dimaksudkan supaya tidak perlu terjadi lagi peristiwa 1986," kata Sumarlin, Senin pekan ini pada peringatan Hari Rupiah di Departemen Keuangan, Jakarta. Mudah-mudahan. MW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus