ENAM kota di luar Jakarta kini akan masuk dalam jaringan perbankan internasional. Paket Deregulasi 27 Oktober 1988 telah membuka kesempatan bagi bank-bank asing untuk membuka cabang di Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Ujungpandang. Semua bank asing yang sudah beroperasi di Jakarta boleh merentangkan jaring ke enam kota itu. Asalkan keuangannya selama ini dinilai sehat dan kegiatannya dalam tempo setahun minimal 50% diarahkan dalam bentuk usaha mendorong eskpor nonmigas. Dengan persyaratan itu, bank-bank asing boleh membuka cabang sendiri dan boleh juga bekerja sama patungan dengan bank yang sudah ada di situ. "Kami berpendapat bahwa ini kebijaksanaan yang sudah sangat lama ditunggu-tunggu bank asing," kata sebuah sumber dari Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Tapi Direksi Algemene Bank Nederland, yang dihubungi TEMPO, belum bersedia berkomentar. Demikian pula beberapa bank asing lainnya. "Masalahnya, keputusan pemerintah ini di luar dugaan kami. Kami memperkirakan belum ada bank asing yang akan bergegas membuka cabang ke luar Jakarta," kata seorang eksekutif dari sebuah bank asing di Jakarta. Untuk membuka cabang ke daerah, tentu saja perlu mendapatkan persetujuan dari kantor pusat. Belum tentu di antara 11 bank asing yang sudah membuka cabang di Jakarta akan buru-buru membuka cabang ke enam kota tersebut. Terkecuali The Hongkong & Shanghai Banking Corporation barangkali, yang diduga sangat ingin membuka cabang di Surabaya. Sebenarnya Hongkong Bank dulu sudah membuka cabang di Kota Buaya. Bank dari koloni Inggris ini terpaksa angkat kaki dari Jakarta dan Surabaya sekitar tahun 1965, karena memuncaknya konfrontasi Indonesia-Malaysia. Baru pada 1968 Hongkong Bank kembali, tapi ruang geraknya -- sebagaimana bank asing lainnya -- hanya terbatas di Jakarta. Ruang gerak bank-bank asing konon selama ini dibatasi sangat ketat. "Nasabah di Bekasi pun tak bisa diladeni," kata seorang bankir asing. Baru dalam Paket Deregulasi 24 Desember 1986, mereka boleh menyalurkan pinjaman luar negeri (off-shore loan) kepada nasabah di luar Jakarta, itu pun harus melalui bank nasional. Direktur Utama Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah, Abdulrahman Affandi, 50 tahun, menyambut baik pembukaan Semarang bagi bank asing. "Kalau tidak dibuka pertumbuhan daerah 'kan cuma begini-begini. Saya sangka, jika bank asing kemari, pertumbuhan ekonomi akan lebih meningkat," kata Abdulrahman optimistis. Menurut dia, BPD Jateng selama ini sudah mempunyai hubungan baik dengan bank Jepang Sumitomo. "Sejauh ini baru terbatas pada pendidikan keterampilan tenaga. Bukan tidak mungkin kami mendirikan sebuah usaha bank patungan, asal saja dia mengizinkan kami juga membuka usaha patungan di negeri asalnya," tambah Abdulrahman. Tapi R. Abdoel Azis, Dirut BPD Jawa Timur, menanggapi kebijaksanaan perbankan yang baru ini dengan lebih realistis. "Pemerintah tentu sudah mempertimbangkan akibat-akibat dari kebijaksanaan ini. Pasti persaingan yang sudah cukup ketat di kalangan perbankan di kota Surabaya akan lebih meningkat," katanya yakin. BPD Jawa Timur, sebagai perusahaan yang baru saja go publc, tentu administrasi keuangannya sangat bersih. Dan tentu merasa cukup kuat untuk bersaing. "Dalam persaingan ketat itu, bank-bank daerah harus mampu membaca apa yang dibutuhkan masyarakat," kata Abdoel Azis. Dirut Bank Dagang Bali, I Gusti Made Oka, 57 tahun, berpendapat bahwa bank asing tak perlu dianggap sebagai saingan. "Kami menganggap semua bank adalah rekan." Dalam pandangan Oka, Bank Bali yang berkantor pusat di Jakarta dan kini menduduki peringkat ke-7 bank swasta nasional itu bisa mencapai prestasi seperti itu antara lain karena banyak belajar dari bank-bank asing. Kerja sama pernah dijalin BDB dengan bank asing AS, Citibank, dan bank-bank nasional lainnya, seperti BDN dan Bank Niaga. Oka mengakui bahwa kedatangan bank-bank asing di daerah akan merebut sebagian nasabah. "Tetapi jika kita bekerja sama, misalnya menanggung kredit besar, nasabah 'kan tidak lari?" ujar Oka, yang baru saja meresmikan pembukaan kantor cabang baru di Tabanan, Bali. Seharusnya, kalangan perbankan menyadari bahwa setiap usaha membawa laba dan risikonya sendiri-sendiri. Bank-bank asing -- dengan batasan-batasan yang ditetapkan pemerintah -- agaknya tak perlu dirasakan sebagai ancaman asalkan, seperti kata Oka, bank nasional juga tak segan-segan menimba ilmu dari pihak sana. Laporan Jalil Hakim, dan I Nengah Wedja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini