Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Silakan melebarkan sayap

Melalui paket 27 oktober 1988 para pemilik modal dibolehkan mendirikan bank-bank baru. hanya dengan rp 10 milyar modal yang disetor, sebuah bank baru bisa dioperasikan. bank dianjurkan menyebar ke pelosok.

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSAINGAN terbuka antarbank dicanangkan lima tahun lalu, lewat Deregulasi 1 Juni 1983. Sekarang, dengan Deregulasi 27 Oktober 1988, kuat dugaan, persaingan itu akan semakin ketat dan barangkali juga keras. Malah ada yang agak ekstrem memperkirakan -- bila kurang waspada -- akan banyak bank, besar ataupun kecil, yang gulung tikar. Sejauh itukah? Dalam satu hal, banyak orang berpendapat sama, bahwa pemerintah berani meluncurkan paket deregulasi yang paling menentukan ini hanya karena kondisi perbankan Indonesia dinilai sudah sehat. Dengan demikian tidak ada hambatan untuk maju ke tahap berikutnya. mengurangi sedikit demi sedikit peran dominan bank sentral, memperkuat bank-bank pemerintah, sekaligus memperbanyak jumlah bank swasta dan memperlebar ruang gerak buat bank asing. Sungguh satu gebrakan yang tidak kepalang tanggung. Para pemilik modal boleh berpikir sejenak mempelajari Paket 27 Oktober 1988 itu. Setelah menggodoknya lebih dari 6 bulan, Kabinet Pembangunan V -- melalui paket itu -- membuka kemungkinan munculnya bank-bank baru. Hanya dengan Rp 10 milyar modal yang disetor sebuah bank baru bisa dioperasikan. "Hal itu tentu akan menarik pemilik modal untuk menggerakkan uangnya di bidang perbankan," ujar Indra Wijaya, Wakil Presdir Bank Internasional Indonesia. Padahal, selama ini biaya bikin bank tak semurah itu. Tapi bicara tentang syarat ringan untuk bikin bank, Gubernur Bank Indonesia Adrianus Mooy menandaskan alasan lain, "Supaya perbankan lebih bisa menjangkau wilayah Indonesia dan memberi pelayanan yang luas." Mooy memberi contoh di Jawa Barat. Dari 90 bank yang ada, ternyata 60 di antaranya menumpuk di Bandung. Maka, dipertanyakan, mengapa tidak mencar ke pedesaan, padahal pedalaman itu potensial. Nasabahnya memang kecil-kecil -- tapi banyak. Buktinya, "Ketika Simpedes (simpanan pedesaan) dibuat, ternyata peminatnya banyak. Kecil-kecilan memang, tetapi yang sedikit-sedikit itu 'kan jadi bukit," tambah Mooy. Sekarang bank swasta dan bank pemerintah sekaligus diberi kelonggaran. Perbankan bisa menumbuhkan cabang-cabangnya lebih leluasa. Syaratnya: bank bersangkutan selama 24 bulan terakhir, 20 bulan di antaranya tergolong sehat, termasuk permodalannya, boleh dikata cukup sehat. Namun, untuk pembukaan cabang pembantu bank asing, ketentuannya berbeda. Deregulasi 27 Oktober ini juga menyentuh pemilik duit di daerah. Misalnya untuk usaha perkreditan rakyat di tingkat provinsi dan kota madya, cukup dengan modal disetor Rp 50 juta. Bila bentuknya koperasi, istilah modal disetor itu diganti dengan simpanan wajib, yang besarnya juga Rp 50 juta. Bagi Bank Rakyat Indonesia (BRI), mungkin aturan baru itu tak terlalu mengejutkan. Sebab, selama ini BRI telah bekerja dengan 3.846 jaringan unit kerja -- yang masuk ke desa-desa. Sementara itu, Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dengan Presiden Direkturnya, Subekti Ismaun, menitikberatkan pada pemberian bantuan pembiayaan jangka menengah dan jangka panjang. Itu memang misi Bapindo. Tapi Bapindo mau tak mau juga harus melihat realitas bahwa kredit jangka menengah dan panjang tak akan menjamin kelangsungan usaha, khususnya di Indonesia. Dengan sendirinya risiko yang dihadapi lebih besar, karena pembiayaan jangka menengah dan panjang itu berbeda dengan kredit likuiditas jangka pendek. Maka, Bapindo juga melengkapi pelayanannya dengan kredit jangka pendek, lalu lintas keuangan nasabah, kebutuhan fasilitas ekspor impor, sampai dengan berdagang valuta. Tapi pelayanan itu masih terbatas bagi nasabah Bapindo yang mendapatkan kredit investasi. Dan pelayanan itu hanya ada di tingkat prapinsi, tempat cabang-cabang Bapindo bercokol. "Karena itu, saya merasa perlu memanfaatkan deregulasi ini, karena ada kemudahan-kemudahan dalam pembukaan cabang," ujar Presdir Bapindo itu. Subekti Isamaun sudah merasa adanya keterbatasan gerak, terutama karena cabang-cabangnya hanya boleh beroperasi di tingkat propinsi saja. Dengan kelonggaran baru, sekarang Bapindo siap-siap membuka cabang di sentra-sentra industri. "Beberapa cabang sudah dipersiapkan," ujar Subekti Ismaun. Awal tahun depan, ada dua cabang Bapindo yang akan dibuka: Solo dan Batam. Bank Central Asia (BCA) termasuk yang menyukai kebijaksanaan pemerintah itu. "Peraturan itu sesuai dengan apa yang sudah dilakukan BCA sendiri," ujar Abdullah Ali, Presdir BCA, kepada Tri Budianto Soekarno dari TEMPO. Memang, BCA sudah melebarkan sayap sampai ke kecamatan, seperti Tulungagung dan Batu, keduanya di Ja-Tim. Di tingkat kabupaten, BCA punya cabang di Purwokerto, Ja-Teng. Seluruhnya, kini cabang BCA ada 51. Bank Niaga juga siap membuka cabang-cabang di daerah ekspor, seperti Lampung, Pontianak, Banjarmasin. "Kami melihat kemungkinan-kemungkinan yang sekarang ada, dan akan kita manfaatkan," ujar Robby Johan, Presdir Bank Niaga. Di pihak lain, Presdir Bank BNI, Kukuh Basuki, seperti mengingatkan bahwa dana yang bisa dihimpun di desa-desa, yang kini belum terjangkau perbankan, jangan dibawa ke kota dan di salurkan di sana. Dana dari desa, tentu lebih bagus kalau digunakan di daerah itu juga. "Kebijaksanaan BNI sendiri justru menempatkan cabang-cabang di plosok bukan sebagai bank penghimpun dana, melainkan sebagai bank pengguna dana," kata Kukuh, yang memimpim bank dengan 235 cabang di Indonesia dan 5 cabang di luar negeri itu. Namun, belum tentu bank swasta nasional akan membuka cabang sampai ke kecamatan-kecamatan, seperti yang sudah dilakukan BCA. Pihak swasta tentu berpikir, mungkin lebih baik tetap beroperasi di kota, bisa menggaet nasabah-nasabah kakap. Sementara itu, di kota mereka bakal menghadapi kompetisi seru. Penyebabnya: banyak bank baru yang muncul, di samping satu ketentuan yang cukup penting dari Paket 27 Oktober itu: bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bukan bank diperbolehkan menempatkan dananya sampai 50% ke bank nonpemerintah maupun ke Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Ini jelas satu lompatan besar. Yang paling girang tampaknya adalah I Nyoman Moena, Ketua Perbanas yang kini memanggul tugas sebagai Dirut Sucofindo itu. "'Kan ini dari dulu perjuangan kami, yang mati-matian sampai ke Presiden," kata Nyoman. Dana BUMN itulah yang sejak dulu membuat bank swasta nasional seperti "iri" kepada bank pemerintah. "Kompetisi merebut nasabah kini lebih terbuka," ujar Indra Wijaya. Daya tariknya adalah bunga deposito dan giro. "Mungkin ada bank yang akan menarik nasabahnya dengan bunga sampai 20% dalam waktu dekat ini," tambah Wakil Pesdir BII yang sudah mapan dengan 10 cabang di beberapa kota besar itu. Sebab, bunga deposito itu mulai 14 Nopember 1988 dikenai Pajak Penghasilan (PPh) -- pukul rata -- 15%. Namun, BII belum mau menaikkan bunga depositonya. Bunga gironya pun belum berubah: masih 6% setahun atau 0,5% sebulannya. Indra Wijaya rupanya juga mengandalkan faktor profesionalisme dalam pelayanan, yang merupakan daya tarik tersendiri bagi para nasabah. Tapi hal itu belum tentu bisa menarik nasabah kakap seperti BUMN dan BUMD yang 50% dananya kini boleh diparkir di bank swasta. Sebab, dana yang selama ini bisa digenggam bank pemerintah itu tentu tak dibiarkan hanyut ke kantung bank swasta begitu saja. "Bank pemerintah bersolek sedikit, memberi pelayanan yang lebih baik agar tidak ditinggalkan pemilik dana," begitu petunjuk Dr. Mooy (lihat Kita tidak Ingin Anak-Anak Manja). Bapindo, misalnya, bersiap-siap menggiring pemilik uang untuk mendepositokan atau menaruh dalam rekening giro di Bapindo. Dan rupanya tak ada halangan bagi Subekti Ismaun untuk bersikap lebih agresif "merayu" pemilik uang, persis yang dilakukan oleh bank-bank swasta. "Sudah dua tahun ini saya keliling ke berbagai daerah, seperti yang dilakukan bank swasta. Saya mendatangi pengusaha, ketok pintu. Cara itu saya rasa lebih efektif," tuturnya kepada TEMPO. Bagi Kukuh Basuki, Dirut Bank BNI, tak ada kekhawatiran tentang dana BUMN/ BUMD yang akan mengalir ke kas bank swasta. "Sebetulnya porsi giro BUMN yang ada saat ini belum semuanya kita tampung. Jadi, masih ada giro yang belum terjamah," ucap Kukuh. Bank BNI menggigit giro dari pemerintah sekitar Rp 584 milyar, Agustus lalu. Meskipun demikian, ujar Kukuh lagi, soal pelayanan, kualitas pegawai, dan budaya kerja tetap akan ditingkatkan, agar mampu bersaing dengan bank-bank lainnya. "BRI juga menyadari bahwa bekerja tanpa pelayanan yang efisien, efektif, yang disertai peralatan memadai, BRI akan kalah bersaing dengan bank-bank lain," ujar Kamardy Arief. Presdir BRI itu malah seperti menantang berkompetisi. Ia yakin bahwa masyarakat telah belajar banyak. "Tak selamanya yang menawarkan baik-baik itu akan baik pula hasilnya," ujar Kamardy. Jika perbankan kelak berkembang karena memanfaatkan paket kebijaksanaan akhir Oktober, maka angan-angan Adrianus Mooy mungkin benar: bakal terjadi perubahan struktur sistem keuangan di Indonesia. "Kita ingin semua bisa besar," katanya. Bukan bank pemerintah saja, bank swasta nasional juga. Di samping itu, Lembaga Keuangan Bukan Bank, seperti pasar modal, juga diberi angin dengan pemberlakuan PPh atas bunga deposito. Kemudahan lain untuk LKBB, sekarang boleh menerbitkan sertifikat deposito seperti juga perbankan -- tanpa perlu izin dari Departemen Keuangan maupun Bank Indonesia. Di samping itu, pemerintah pun mengendurkan persyaratan likuiditas untuk LKBB maupun perbankan. Kalau dulu likuiditas wajib itu mencapai 15% dari kewajibannnya kepada pihak ketiga (giro, deposito, dan tabungan), kini cukup 2% saja termasuk untuk LKBB. "Hal ini secara otomatis akan menurunkan biaya dana bank secara keseluruhan," ujar Mu'min Ali Gunawan, Wakil Presdir Panin Bank. Menurut I Nyoman Moena, karena BI sudah mengendurkan aturan mainnya, konsekuensinya jika bank-bank kesulitan juga akan dibiarkan. "Tapi, kalau kesulitan itu dari luar, seperti karena devaluasi, tentu pengecualian," kata Ketua Perbanas periode 1985-1988 yang kini sibuk berkongres itu. Hal inilah yang biasanya dianggap rawan oleh deposan. Mereka harus benar-benar memilih tempat parkir uang di bank yang sehat -- jadi tak sekadar tergiur tingginya suku bunga deposito. Sementara itu, pedagang valuta asing mungkin agak apes membaca Paket 27 Oktober, khususnya yang mengatur ruang gerak bisnisnya. Sebab, kendati soal izin tak lagi dibatasi hanya setahun, bidang geraknya dibatasi: hanya mencakup jual-beli uang kertas/logam asing (bank notes) dan pembelian traveler's cheque. Padahal, menurut Rudy Irawan, bos pedagang valuta asing Sinar Irawan yang piawai itu, sejak 1973 money changer lebih luas lagi ruang geraknya. Mereka bisa jual-beli traveler's cheque dan surat-surat berharga lainnya. "Mudah-mudahan buku paket itu salah ketik," ujar Rudy, tanpa menyatakan bahwa kebijaksanaan untuk perdagangan valuta asing kini sebenarnya tergolong regulasi, bukan deregulasi. Dirugikan atau diuntungkan, yang pasti Paket 27 Oktober telah membuka era baru bagi perbankan di Indonesia, yang menjanjikan satu kompetisi lebih sehat, iklim berusaha lebih mantap, dan kalau tidak banyak aral melintang, kelak, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Suhardjo Hs., Sidartha Pratidina, Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus