Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PINTU gerbang bercat krem itu perlahan-lahan terbuka. Rabu siang pekan lalu, tampak dua mobil boks hitam mendekati pintu keluar pabrik lensa kacamata PT Domas Intiglass Perdana itu. Melewati pemeriksaan petugas keamanan, kedua mobil pengangkut kemudian melesat meninggalkan pabrik milik Grup Domba Mas yang berlokasi di Tanjung Morawa, Medan, Sumatera Utara, itu.
Grup Domba Mas merupakan salah satu pengutang kakap Bank Mandiri. Perusahaan yang dimiliki (mendiang) Susanto Liem, pengusaha asal Medan, ini punya utang pokok dan bunga sejumlah Rp 3,3 triliun. Sejak membeli dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 2001, Bank Mandiri kesulitan menagih utang dari perusahaan yang juga punya unit usaha pabrik oleochemical ini. Upaya merestrukturisasi utang juga tak berhasil. Patah arang, Bank Mandiri memutuskan menjual tagihan macet di Domba Mas. ”Bila ada investor yang mau membayar sebagian utang Domba Mas, kami siap merestrukturisasi sisanya,” kata Abdul Rachman, Direktur Special Asset Management Bank Mandiri, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu (lihat ”Juragan Baru Domba Mas”).
Bank beraset terbesar di Indonesia itu sekarang sedang bekerja keras menyelesaikan tagihan macet di sejumlah perusahaan. Beberapa tagihan kredit berskala jumbo mentok di tangan debitor kakap, meskipun ada juga yang sudah beres. Raja Garuda Mas, contohnya, sudah melunasi utang senilai Rp 4 triliun. Kini utang perusahaan milik konglomerat Sukanto Tanoto ini berstatus lancar. Utang Argo Manunggal Group senilai Rp 1,4 triliun dan PT Batam Textile Industry senilai Rp 292 miliar juga sudah direstrukturisasi. Mandiri juga memberi Merpati Nusantara Airlines kesempatan merestrukturisasi utangnya senilai Rp 162,9 miliar dan US$ 3 juta.
Restrukturisasi utang kembali dilakukan pekan lalu. Bank Mandiri meneken kesepakatan penyelesaian utang mandatory convertible bond senilai Rp 1,01 triliun dengan Garuda Indonesia. Setelah lama berdebat, Bank Mandiri akhirnya setuju maskapai penerbangan pelat merah itu membayar utang secara tunai Rp 50 miliar, atau lima persen dari total utang, dan sisanya dibayar dengan saham Garuda sebanyak 10,65 persen. Saat Garuda Indonesia melakukan penjualan saham kepada publik pada Juni mendatang, ”Saham Garuda itu ikut dijual,” ujar Abdul Rachman. Jika masih kurang, kata dia, Kementerian Badan Usaha Milik Negara akan menutup selisihnya.
Tak semua penyelesaian utang debitor kakap Mandiri berjalan mulus. Selain Domba Mas, solusi utang Suba Indah sekitar Rp 1,3 triliun dan Benua Indah Group sebesar Rp 480 miliar masih membentur tembok. Upaya litigasi dan lelang aset-asetnya kandas. Padahal, untuk menyelesaikan utang Benua, kata Abdul Rachman, Bank Mandiri dibantu oleh Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan. Ketika Departemen Keuangan akan melelang aset Benua, tiba-tiba pemilik perusahaan kelapa sawit itu menggugat Mandiri ke pengadilan. Ini sudah dua kali terjadi. ”Lantaran masih ada gugatan, Departemen Keuangan belum berhasil melelangnya,” katanya.
Beberapa debitor juga melawan keras. Sebut saja Dewata Royal dan Djajanti Group. Dewata Royal, pengelola Hotel Aston Bali, menggugat balik Mandiri yang mempailitkannya di Pengadilan Niaga Surabaya. Kini Dewata mempermasalahkan utang senilai US$ 22 juta ke Mandiri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (lihat ”Dewata Menolak Pailit”). Bank Mandiri juga menagih utang Djajanti Group senilai US$ 80 juta dan US$ 18 juta (hampir Rp 1 triliun). Lelah menanti kabar baik dari Djajanti, Mandiri mengajukan sita atas jaminan pribadi (personal guarantee) pemegang sahamnya—Burhan Uray dan Soejono Varinata—ke pengadilan.
Robertus Bilitea, kuasa hukum Mandiri, mengatakan penyitaan jaminan pribadi Burhan Uray dan Soejono bisa dilakukan karena ada dalam perjanjian antara Bank Mandiri dan Djajanti Group. Pembuktian faktanya juga sudah dilakukan di pengadilan. ”Nanti, pada 6 Januari 2010, sidang dilanjutkan kembali dengan mendengarkan keterangan saksi ahli,” kata Robertus kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Tapi Jamaslin James Purba, kuasa hukum Djajanti Group, mengatakan sita jaminan pribadi Burhan Uray kurang tepat karena saat ini Mandiri sedang melelang aset PT Biak Mina Jaya, unit usaha Djajanti. ”Harusnya Mandiri menunggu dulu lelang ini,” katanya di Jakarta pekan lalu.
Menjual atau melelang aset-aset pengutang kakap ternyata tidak mudah. Penyebabnya, beberapa debitor Bank Mandiri sudah mengubah dan mengalihkan kepemilikan kepada orang lain. Alhasil, bank pemerintah itu kesulitan menyita aset mereka. Beberapa aset debitor, kata Abdul Rachman, berharga sangat murah. Ambil contoh Djajanti Group. Beberapa asetnya yang disita di Maluku tak bernilai gara-gara konflik di wilayah itu. Aset Suba Indah setali tiga uang. Perusahaan pengolah jagung ini sudah tak memiliki persediaan barang lagi.
Itu sebabnya ditaksir tingkat pengembalian (recovery rate) penjualan harta debitor bermasalah sangat rendah, di bawah 30 persen. Dari penjualan aset Djajanti saja, Mandiri baru berhasil mendapatkan sekitar Rp 158 miliar. Adapun dari Suba, Mandiri baru mendapat hasil lelang aset Rp 115 miliar. Rendahnya tingkat pengembalian utang jelas merugikan. Karena itu, menurut Abdul Rachman, Bank Mandiri tak akan berkompromi. ”Kami akan terus mengejar, tidak akan pernah menghapuskan tagihan mereka.”
Ibarat sinetron, Bank Mandiri kini sedang kejar tayang. Bank hasil merger empat bank pemerintah ini—Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor, Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), dan Bank Bumi Daya—memang harus menggulung lengan baju tinggi-tinggi. Soalnya, Mandiri menghadapi rasio kredit bermasalah yang lumayan signifikan. Rasio kredit bermasalah kotor (gross) Bank Mandiri sampai kuartal III 2009 mencapai 3,79 persen dan neto 0,85 persen atau dalam nilai rupiah mencapai Rp 7 triliun.
Sebagai konsekuensi adanya kredit bermasalah, setiap tahun Mandiri terpaksa mencadangkan kerugian Rp 2 triliun sampai Rp 3 triliun, sebuah nilai yang tidak sedikit. Di sisi lain, rasio kecukupan modal (CAR) sudah susut hampir 17 persen menjadi tinggal 14,2 persen—walau masih jauh di atas syarat Bank Indonesia yang delapan persen.
Walhasil, tak ada pilihan lain. Bank Mandiri perlu menekan rasio kredit bermasalah atau merestrukturisasi tagihan-tagihan macet. Pola penyelesaiannya bermacam-macam. Selama ini, Mandiri melakukan penjadwalan kembali pembayaran utang, mengkonversinya menjadi saham, atau menempuh jalur hukum dan melelang aset yang dimenangi meskipun dengan harga rendah.
Dengan cara-cara itu, menurut Alfiansyah, analis dari PT Sinarmas Sekuritas, rasio kredit macet bisa menurun. Yang terpenting, utang kategori tiga sampai lima—kategori seret sampai macet total—menghilang dari neraca bank dan statusnya berubah menjadi kredit lebih lancar (performing loan). ”Pencadangan kerugian pun berkurang dan laba akan kembali melonjak,” kata Alfiansyah.
Rahmi Marina, analis dari Kim Eng Securities, meramalkan bahwa sampai akhir 2009 rasio kredit bermasalah Bank Mandiri bisa di bawah 4,1 persen. Dengan beberapa restrukturisasi kredit seret lanjutan, seperti utang Garuda, pencadangan kerugian bisa menurun menjadi tinggal Rp 2,5 triliun. Adapun Pahala N. Mansyuri, EVP Coordinator Finance and Strategy Mandiri, di Yogyakarta belum lama ini menyebutkan, sampai akhir tahun, pencadangan kerugian ditargetkan sekitar Rp 2,3 triliun.
Restrukturisasi kredit bermasalah memang masalah sangat krusial bagi Mandiri. Banyak kendala menghadang. Sampai saat ini, belum ada bank milik pemerintah, termasuk Mandiri, yang berani melakukan restrukturisasi tagihan macet dengan pola pemotongan nilai utang (haircut). Pola ini dinilai aparat hukum merugikan negara dan digolongkan tindakan korupsi. Padahal pola ini lazim dipakai oleh bank-bank swasta. Kendala lain, kata Abdul Rachman, bank sering kesulitan melelang aset debitor karena aturan negara ini menyebutkan harga transaksi tak boleh kurang dari nilai jual obyek pajak (NJOP). Padahal NJOP sering di atas harga pasar. ”Banyak calon investor mundur teratur melihat harganya.”
Alhasil, bank-bank negara kalah gesit dibandingkan dengan bank swasta dalam membereskan kredit macet.
Padjar Iswara, Soetana Monang Hasibuan (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo