Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kembali ke Orde Baru

Tahun 2009 ditutup Kejaksaan Agung dengan melarang peredaran lima buku. Hak publik untuk mendapatkan informasi terganggu.

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR setiap hari emperan Bang Ay di lantai 4 Pasar Senen, Jakarta Pusat, didatangi orang yang hendak membeli buku berjudul Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan, dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama yang ditulis Syahruddin Ahmad.

Kepada calon pembeli itu, Bang Ay selalu menjawab, ”Sudah kosong di pasaran.” Dia mengaku sebelumnya sudah menjual lima buku karya Roosa seharga Rp 50 ribu per buku. ”Kalau dilarang, malah banyak yang cari,” ujarnya pekan lalu.

Ketiga buku itu memang telah dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung sejak dua pekan lalu. Buku lainnya yang bernasib serupa adalah Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocrates Sofyan Yoman, dan Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 yang ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto, kelima buku itu dilarang beredar lantaran dinilai bisa mengganggu ketertiban umum. Didiek tak memerinci bagian mana saja dari kelima buku itu yang dianggap berpotensi mengganggu ketertiban umum. Setiap buku atau barang cetakan yang berisikan tulisan, gambar, atau lukisan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (dulu Garis-garis Besar Haluan Negara), mengandung dan menyebarkan paham komunisme/Marxisme-Leninisme, ”Sudah pasti kami larang beredar,” ucapnya.

Kejaksaan, kata Didiek, tak ujug-ujug melarang buku-buku itu beredar. Buku itu dikaji dulu oleh Clearing House, sebuah tim yang diketuai Jaksa Agung Muda Intelijen dengan 12 anggota dari, antara lain, kepolisian, Badan Intelijen Negara, Departemen Agama, dan Departemen Pendidikan Nasional. Setiap anggota membaca seluruh isi buku itu hingga tuntas. Nah, tiap anggota, menurut Didiek, bisa saja temuannya berbeda. Perbedaan itu lantas dibahas dalam rapat yang berulang kali dilakukan. Setelah tim sepakat bahwa ada tulisan atau gambar yang bisa mengganggu ketertiban umum, Jaksa Agung Muda Intelijen melaporkan ke Jaksa Agung untuk mendapatkan pengesahan pelarangan peredaran.

Keputusan kejaksaan melarang beredarnya sebuah buku, ditegaskan Didiek, tidaklah sewenang-wenang. Pelarangan itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Menurut pasal 1 ketentuan itu, Jaksa Agung berwenang melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Undang-Undang Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan pasal 30 juga menugasi institusi ini mengawasi peredaran barang cetakan. ”Termasuk buku, majalah, koran,” kata Didiek.

Pelarangan itu tak pelak memunculkan protes dari penerbit dan penulis buku tersebut. Institut Sejarah Sosial Indonesia, penerbit Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, pekan lalu melayangkan somasi terbuka kepada kejaksaan. Jika dalam seminggu ini kejaksaan tidak mencabut pelarangan itu, Direktur Institut Sejarah Hilmar Farid akan memperkarakannya di Pengadilan Tata Usaha Negara dan secara perdata. ”Praktek pelarangan ini tak bisa dibiarkan dan harus transparan,” tuturnya.

Hilmar mengaku tak tahu bagian mana saja dari buku ini yang dinilai bisa mengganggu ketertiban umum. Buku Roosa, menurut dia, adalah sebuah karya ilmiah hasil riset yang panjang. Dengan bantuan Institut Sejarah, Roosa mewawancarai 400 orang saksi hidup kejadian 30 September 1965. Narasumber utamanya bernama Supardjo. Dia memang deputi bawahan Letnan Kolonel Untung. Roosa menggunakan berkas persidangan mahkamah militer luar biasa Supardjo pada 1967 untuk mengungkap penyebab tragedi 1965.

”Pelarangan ini melanggar hak asasi, kebebasan berekspresi, dan menyatakan pendapat,” ucapnya. Negara pun, kata dia, seharusnya tidak memonopoli penafsiran ketertiban umum.

Buku Roosa, berjudul asli Pretext for Mass Murder, dilansir pertama kali oleh University of Wisconsin Press pada Agustus 2006. Butuh waktu satu setengah tahun untuk menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia hingga kemudian diterbitkan pada Maret 2008. Dari 10 ribu eksemplar yang dicetak, menurut Hilmar, sedikitnya 5.000 buku sudah terjual. Kekhawatiran kejaksaan bahwa buku ini bisa mengganggu ketertiban umum tidak terbukti. ”Sejak buku ini terbit sampai sekarang tidak ada huru-hara gara-gara buku ini,” kata Hilmar. Kepada Hilmar, Roosa menyatakan penyesalannya atas keputusan kejaksaan itu.

Salah satu penulis Lekra Tak Membakar, Muhidin, juga mempertanyakan sikap kejaksaan yang tidak transparan. ”Saya tahu dari media,” ujarnya. Namun dia mengakui ketika pertama kali buku itu dicetak pada 2008 ada gambar palu- arit pada sampulnya. Toko Buku Gramedia lantas mengembalikan 1.000 buku yang dikirimkan penerbit Merakesumba Lukamu Sakitku Pugeran Maguwoharjo. ”Meski sampulnya kami revisi, Gramedia tetap menolak,” tutur Muhidin.

Menurut Muhidin, buku yang isinya membantah Lekra sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia ini lalu beredar secara diam-diam. Hasil riset dua tahun dengan sumber 1.500 artikel dari harian PKI itu, menurut dia, menunjukkan Lekra dengan PKI hanyalah hubungan famili ideologi.

Protes juga diutarakan Asvi Warman Adam. Menurut sejarawan LIPI ini, buku Roosa yang disusun dengan metodologi sejarah adalah informasi baru yang perlu diketahui umum. Pelarangan itu justru menghalangi hak kepentingan umum untuk tahu sebuah informasi. ”Ini seperti zaman Orde Baru,” katanya. Menurut Asvi, jika ada pihak yang merasa dirugikan dengan isi buku itu, tempuhlah jalur pengadilan. Dosen hukum Universitas Indonesia, Freddy Harris, membenarkan. ”Yang berhak mencabut hak seseorang adalah pengadilan,” dia menjelaskan.

Didiek mempersilakan pihak yang merasa dirugikan melayangkan protes atau memperkarakan pelarangan tersebut. Sepanjang UU Nomor 4/1963 dan UU Nomor 16/2004 masih berlaku, kejaksaan akan menjalankan aturan itu. Dia menolak dikatakan telah mengekang kebebasan berpendapat. ”Yang kami larang peredarannya, bukan kebebasan berpendapatnya,” ujarnya. Itu sebabnya, pelarangan itu dikenakan pada penerbit, bukan penulisnya.

Didiek membenarkan bahwa proses di Clearing House sifatnya tertutup. Meski begitu, setelah pelarangan dipublikasikan, penerbit ataupun penulis bisa menanyakan alasannya. ”Kepada mereka, kami akan terbuka, kenapa buku itu dilarang,” Didiek menuturkan.

Pakar hukum dan hak asasi manusia Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, sepanjang kedua undang-undang itu tidak direvisi, pelarangan sangat mungkin terjadi lagi. Itu sebabnya, perlu diajukan uji materi atas kedua undang-undang itu kepada Mahkamah Konstitusi. ”Fungsi intelijen Kejaksaan Agung mesti diredefinisi,” ujarnya.

Anne L. Handayani, Bunga Manggiasih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus