Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga energi fosil batu bara kian mahal di tengah konferensi iklim COP26.
Dunia akan makin bergantung pada energi fosil.
Solusinya dekarbonisasi.
ADA dua pandangan tentang melambungnya harga energi belakangan ini. Pendapat pertama menganggap lonjakan harga hanyalah fenomena sementara. Pemulihan ekonomi dari hantaman wabah Covid-19 telah memicu naiknya permintaan dengan cepat. Gejala ini akan cepat terkoreksi jika situasi kembali normal dan permintaan melandai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandangan lain menilai harga energi fosil tak akan cepat turun kembali. Salah satu alasannya: dunia harus segera melakukan dekarbonisasi, meninggalkan energi fosil, jika tak ingin kiamat tiba karena pemanasan global yang tak terkendali. Emisi karbon harus turun. Maka investasi untuk memproduksi energi fosil terus menurun dalam beberapa tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat yang sama, produksi energi terbarukan belum cukup untuk menggantikan posisi energi fosil. Sumber energi primer, terutama di negara-negara Asia yang sedang tumbuh pesat, masih didominasi batu bara atau minyak dan gas. Maka, ketika kebutuhan mendadak melonjak, seperti yang terjadi belakangan ini, muncul kelangkaan. Menaikkan pasokan, secara politis, bukanlah pilihan yang benar dan jelas makan waktu kalau toh tetap harus dilakukan. Walhasil, harga energi fosil akan tetap tinggi untuk sementara waktu.
Sepertinya, pandangan kedualah yang lebih mungkin terealisasi. Harga minyak, misalnya, sudah ikut melonjak naik menyusul batu bara dan gas alam yang lebih dulu terbang. Selama Oktober 2021, dua patokan harga minyak dunia terpenting, Brent dan West Texas Intermediate, sama-sama melonjak sekitar 20 persen.
Para analis di pasar bahkan sudah mulai kembali berbicara tentang harga minyak yang kembali melambung di atas US$ 100 per barel. Goldman Sachs, salah satu perusahaan finansial terbesar dunia, memprediksi harga minyak Brent terus naik hingga mencapai US$ 110 per barel tahun depan. Artinya, masih akan ada lonjakan 30 persen dari harga saat ini yang berkisar US$ 85 per barel. Pulihnya permintaan kembali ke masa sebelum pandemi menjadi penyebab lonjakan ini.
Di Cina, harga batu bara juga masih bertahan tinggi meski pemerintah sudah terang-terangan melakukan intervensi. Pemerintah Tiongkok langsung berunding dengan produsen lokal demi menyepakati harga yang lebih masuk akal. Hasilnya, harga yang disepakati masih mencapai sekitar US$ 150 per ton untuk batu bara termal. Kalau toh akhirnya kesepakatan tersebut benar-benar terealisasi, harga itu masih dua kali lipat harga pada awal tahun ini. Setinggi itukah harga normal baru batu bara? Kalau benar demikian, produsen batu bara termal di Indonesia tentu akan bergembira. Mereka bisa menikmati harga tinggi lebih lama.
Sementara naiknya harga batu bara membawa keuntungan besar bagi Indonesia, tidaklah demikian halnya dengan kenaikan harga minyak. Indonesia masih mengimpor minyak dan produk-produk turunannya setara 1 juta barel per hari. Kenaikan harga minyak jelas akan membawa efek negatif pada neraca perdagangan. Selain itu, kerugian besar berpotensi membebani Pertamina jika harga jual bahan bakar minyak di dalam negeri tak bisa dinaikkan.
Di tengah riuh rendahnya gejolak harga energi fosil inilah para pemimpin dunia memulai Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia, pada Ahad, 31 Oktober 2021. Inti perundingan mereka adalah bagaimana membuat umat manusia bisa lebih cepat melepaskan diri dari kecanduan pada energi fosil, biang kerok pemanasan global yang membawa dunia kini berada di ambang kiamat.
Satu-satunya solusi hanyalah komitmen kuat melakukan dekarbonisasi, mengganti energi fosil dengan sumber tenaga lain yang terbarukan dan tidak menimbulkan emisi. Para ahli sudah sepakat: jika pada 2050 dunia tak berhasil mencapai target emisi karbon secara neto menjadi nol, di akhir abad ini suhu bumi akan meningkat lebih dari 1,5 derajat Celsius dibanding pada masa praindustri. Dan itu berarti bencana besar.
Jalan mencegah datangnya bencana itu tidaklah mudah. Salah satunya, sebelum energi bersih tanpa emisi bisa diproduksi secara massal dan murah, dunia harus membayar energi fosil dengan harga yang kian mahal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo