TEPUK tangan riuh meledak lima kali sebelum Presiden Soeharto
mengakhiri pidato RAPBN 1981-1982 di DPR 5 Januari 1981. Itu
terjadi ketika Presiden menginstruksikan kepada semua Pemerintah
Daerah, "menghentikan segala bentuk perjudian yang ada di
daerahnya selambat-lambatnya mulai 1 April '81 nanti." Juga
ketika Presiden mengumumkan kenaikan gaji, yang pelaksanaannya
mulai 1 Januari ini. Dan keplok seru terdengar ketika, dalam
nada suara yang agak tinggi, Presiden memberitakan, pemerintah
tidak akan menaikkan harga BBM selama tahun anggaran 1981-1982
ini.
Tapi tak semua hadirin cepat paham mendengar angka-angka RAPBN
yang saling berkejaran dari juta, milyar sampai trilyun. Hanya
umumnya mencatat, bahwa RAPBN 1981-1982 ini berjumlah Rp 13,9
trilyun atau bertambah hampir 32% dari APBN 1980-1981 yang
ketika itu dianggarkan sebesar Rp 10,5 trilyun. Kenaikan yang
tak sebesar tahun lalu 50% lebih.
Penerimaan minyak masih tetap merupakan primadona mewakili
sekitar 60% dari seluruh anggaran penerimaan. Jumlahnya yang
sudah diperhitungkan sesuai dengan kenaikan harga setelah
konperensi OPEC di Bali, diperkirakan akan mencapai Rp 8,6
trilyun. Yang menarik, secara persentase jumlah yang 60% dari
penerimaan ini menurun. Dalam APBN 1980-1981 yang akan tutup
Maret nanti, penerimaan minyak meliputi sekitar 70% dari seluruh
penerimaan dalam negeri.
Kenapa kenaikan minyak dalam tahun ini lebih sedikit
dibandingkan dengan tahun sebelumnya? Ada yang beranggapan, ini
mungkin merupakan indikasi, tahun 1981 dan 1982 mendatang akan
lebih sulit lagi menaikkan harga ekspor minyak, karena masih
adanya resesi ekonomi dunia. "Stok minyak di dunia masih
berlebih, sedang permintaan mulai melemah," kata seorang
pengamat.
Menteri Perminyakan Sheik Zaki Yamani, ketika bertamu di
Australia seusai konperensi OPEC di Bali pertengahan Desember,
memang sudah meramalkan "tak akan terjadi kenaikan harga minyak
yang menajam dalam tahun 1981 ini." Belum bisa dipastikan apakah
perang Iran-Irak akan diulur terus sampai melewati tahun 1981.
Tapi, kata Yamani, selama 1981, kenaikan harga minyak tak akan
melampaui batas 10%.
Perhitungan para pengelola ekonomi negeri ini tak sekonservatif
yang diramalkan Sheik Zaki Yamani. Menurut Menteri Keuangan Ali
Wardhana, harga minyak ekspor selama 1981/1982 diperkirakan akan
naik sampai 15%. Sedang produksi minyak Indonesia per hari
selama 1981, diperkirakan akan mulai pulih kembali dengan 1,6
juta barrel.
Konsumsi minyak dalam negeri sendiri diperhitungkan akan
meningkat dengan 10%. Ini membuat volume untuk ekspor minyak
diduga akan berkurang dengan 1% dibandingkan tahun sebelumnya.
Produksi minyak Indonesia turun sejak tiga tahun terakhir ini,
dan rekor produksi yang tercatat sebanyak 1,69 juta barrel
sehari diperkirakan baru akan dicapai lagi pada 1983.
Di luar minyak, penerimaan rupiah dari sumber di dalam negeri
diperkirakan akan meningkat dengan cukup besar. Ini mencerminkan
masih adanya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat. Beberapa
pos penerimaan yang penting, seperti pajak perseroan naik dari
Rp 356 milyar menjadi Rp 558 milyar (57%). Lalu MPO (membayar
pajak orang lain yang terjadi dalam transaksi bisnis), naik dari
Rp 324 milyar menjadi Rp 51 milyar (58%).
Pajak penjualan impor juga membubung dari Rp 146 milyar menjadi
Rp 222 milyar (52%), penerimaan cukai meningkat keras dari Rp
351 milyar menjadi Rp 553 milyar (58%), dan bea masuk yang hanya
sedikit di bawah cukai: dari Rp 344 milyar menjadi Rp 539 milyar
(57%).
Tapi toh ada yang masih belum menenteramkan. Seluruh penerimaan
dalam negeri, berupa pajak langsung dan tldak langsung, tanpa
penerimaan dari sektor minyak, sungguhpun meningkat dari tahun
ke tahun, toh semakin disusul oleh pos belanja rutin (lihat
diagram 1).
Gambaran yang kurang kokoh ini makin mengentara sejak APBN
1980-1981. Ketika itu untuk pertama kalinya dalam sejarah RAPBN
Orde Baru, pos pengeluaran rutin mencapai sekitar 52% dari
seluruh pengeluaran, mengalahkan pos pengeluaran pembangunan
yang menduduki posisi 46%. Tahun sebelum itu, dalam APBN
1979-1980, pengeluaran rutin sudah mencapai 49,3%. Kini dalam
RAPBN 1981-1982, pengeluaran rutin memborong sekitar 54% dari
seluruh pengeluaran.
Tak salah lagi, si pemakan pengeluaran rutin itu adalah subsidi
bahan bakar minyak (BBM). Naiknya tak kepalang tanggung: dari Rp
828 milyar (yang dircncanakan) menjadi Rp 1,5 trilyun (80%).
Bukan mustahil angkanya masih akan naik lagi. Realisasi subsidi
BBM dalam APBN yang masih berjalan sekarang ini, seperti diakui
Ali Wardhana, akan mencapai "sedikit di atas Rp 1 trilyun," pada
akhir tahun anggaran 31 Maret nanti. Berarti kenaikan lebih
sekitar Rp 200 milyar di atas yang direncanakan sebelumnya.
Keputusan pemerintah untuk menanggung seluruh beban subsidi BBM
sekali ini memang suatu hal yang bukan main-main. Dengan tidak
menaikkan harga minyak bumi ke dalam negeri, beban subsidi kali
ini teramat besar: jumlahnya lebih dua kali dari anggaran rupiah
yang disediakan untuk sektor pendidikan (Rp 743,5 milyar).
Presiden sendiri, dalam pidatonya yang memakan waktu dua jam
itu, memberi ibarat: "Seandainya kita tidak perlu menaikkan
subsidi BBM dan tidak perlu menaikkan gaji pegawai, maka pasti
kita dapat meningkatkan lagi pengeluaran pembangunan, sehingga
jumlahnya melebihi anggaran rutin."
Mengapa toh pemerintah mensubsidi BBM, tidak seperti tahun lalu
Salah satu pertimbangan penting, seperti kata Menko Ekuin
Widjojo Nitisastro, adalah pengendalian inflasi. "Soal ini lebih
pelik dari soal pertumbuhan dan pemerataan," katanya. Ia
kemudian menunjuk juga pada tingkat inflasi dunia yang sampai
sekarang belum juga mereda.
Faktor terbesar yang menyulut suhu inflasi tahun lalu rupanya
memang adalah kenaikan harga BBM dengan 50% pada Mei 1980. Kini
laju inflasi itu sendiri masih dikendalikan pada tingkat 16%
selama 1980. Sekalipun bila diukur dari Desember ke Desember
tingkatnya akan mencapai 17,1%, ini jauh lebih kecil dari tahun
lalu, yang mencapai 21,8%.
Pemerintah nampaknya lebih suka mengayomi masyarakat dengan
subsidi, daripada harus berhadapan dengan itu setan inflasi.
"Sebab, sekali dia mencapai batas 25%, akan sulit untuk ditarik
ke bawah," kata seorang bankir pemerintah.
Ada juga yang melihat bahwa alasan lain bersifat di luar
ekonomi: pemilu 1982. Apapun motifnya, pemerintah tetap
mempertahankan pos subsidi pada tingkat yang cukup tinggi.
Subsidi daerah otonom, untuk Irian Jaya dan lainnya, bertambah
dari Rp 985,8 milyar menjadi Rp 1,2 trilyun lebih. Dan subsidi
pangan naik drastis dari Rp 170 milyar menjadi Rp 310 milyar
(83%). Selain untuk beras, subsidi pangan itu juga berlaku untuk
gula pasir dan tepung terigu: pembuat kue, biskuit dan supermie.
"Jadi jangan lupa, untuk setiap piring mie bakso itu ada
subsidinya," kata Ali Wardhana.
Pilihan lain adalah pos belanja pegawai yang kali ini
diperkirakan mencapai Rp 2,4 trilyun, atau Rp 901 milyar lebih
besar dari subsidi BBM. (lihat diagram II). Kritik yang mungkin
dilontarkan ialah bahwa uang itu demikian raksasa, untuk jumlah
pegawai negeri dan pensiunan yang sekitar 3 juta -- dan yang
pelayanannya kepada rakyat rata-rata buruk. Tapi toh
dibandingkan dengan pertambahan anggaran tahun sebelumnya, pos
pengeluaran pemerintah ini kelihatan tidak ekspansif.
Pengeluaran untuk gaji dan pensiun hanya naik Rp 200 milyar atau
16%. Tahun sebelumnya naik sebanyak Rp 500 milyar (50%)
Kritik lain yang mungkin akan terdengar ialah pertumbuhan ekspor
di luar minyak tak naik secepat waktu sebelumnya. Bahkan pada
tahun anggaran yang sedang berjalan ini, jumlah ekspor nonminyak
ini akan merosot 6,7% menjadi US$ 5,8 milyar. Dan pada tahun
anggaran berikut yang akan dimulai pada 1 April nanti,
diperkirakan hanya akan bertambah 8,6%. Pada tahun anggaran
1981-1982, ekspor beberapa bahan tradisional seperti kopi, kayu
dan minyak sawit akan lebih rendah dari jumlah yang dicapai pada
dua tahun anggaran sebelumnya.
Tak heran bila seorang pejabat Departemen Perdagangan agak
khawatir, dan bertanya: "Apa jadinya paket ekspor 1 April?"
Seperti diketahui, sejak beberapa tahun lalu, pemerintah
berusaha keras untuk mendorong ekspor non-minyak. Dan Kenop 15,
yang mendevaluasikan nilai rupiah dengan 50%, juga bertujuan
untuk mendorong ekspor. Tapi kini, nolkah hasil Kenop 15?
Tak seluruhnya. Akibat Kenop itu sudah terasa untuk beberapa
barang, seperti tekstil dan terutama kerajinan. Realisasi
ekspor kerajinan tangan dalam tahun anggaran 1979-1980 mencapai
US$ 152 juta, tahun 1980-1981 diperkirakan mencapai US$ 188
juta, dan 1981-1982 diharapkan masuk US$ 333 juta. Tapi secara
keseluruhan ekspor yang bukan minyak tetap kecil selama tiga
tahun anggaran itu masing-masing US$ 6,1 milyar, lalu turun
menjadi US$ 5,7 milyar, dan kini diharapkan masih hanya US$ 6,2
milyar.
Adapun penurunan yang paling besar, sampai US$ 500 juta, adalah
dari ekspor kayu gelondongan. Ini, kata pemerintah, disengaja
untuk mendorong industri perkayuan di dalam negeri, misalnya
kayu lapis. Kalangan pengusaha kayu punya pendapat lain.
Merekalah tahun 1980-81 ini yang melihat dunia bisnis dengan
pahit.
Tapi bagaimana sebelumnya cuaca di dunia usaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini