Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Adu Cepat Kereta Cepat dan Argo Parahyangan

Penumpang menilai kereta cepat Jakarta-Bandung kurang kompetitif dibanding Argo Parahyangan. KCIC menggenjot pendapatan nonpenumpang.

18 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Argo Parahyangan menjadi pilihan penumpang karena lebih murah dibanding kereta cepat Whoosh.

  • Penumpang mempersoalkan feeder kereta cepat yang tak sebanding sehingga menambah lama perjalanan.

  • KCIC mendorong pendapatan dari penyewaan area stasiun untuk mengurangi beban keuangan kereta cepat.

PERJALANAN Bandung-Jakarta dilakoni Ditho Saputra setiap pekan. Setiap Senin, pria 30 tahun itu menumpang kereta api Argo Parahyangan jadwal keberangkatan pukul 05.00 WIB dari Stasiun Bandung menuju Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Meski sejak Oktober 2023 ada kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh yang oleh pemerintah disebut waktu tempuhnya lebih pendek, Ditho setia memakai Argo Parahyangan. "Mungkin lebih cepat, tapi jadi tidak seberapa berarti karena perjalanan transit dari Stasiun Bandung ke Padalarang memakan waktu," kata karyawan sebuah perusahaan swasta itu pada 14 Februari 2024.

Ditho membandingkan tarif Argo Parahyangan kelas ekonomi yang sebesar Rp 150 ribu dengan tiket Whoosh yang dihargai Rp 250 ribu. Dengan Argo Parahyangan, dia bisa tiba di Jakarta pada pukul 07.45 WIB dan hanya perlu menambah ongkos Rp 10 ribu untuk naik ojek online ke kantornya di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, selama 10 menit. Hitungan serupa berlaku ketika dia pulang dari Jakarta ke Bandung setiap Jumat malam. Ongkosnya bahkan bisa lebih hemat jika dia menumpang bus Transjakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apabila memakai Whoosh, Ditho jelas harus membayar lebih mahal. Belum lagi ongkos taksi atau ojek online sekitar Rp 50 ribu dari Stasiun Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur menuju kantornya. Perjalanannya juga cukup lama, bisa hampir satu jam, karena harus memutar di kawasan Semanggi. Apalagi lalu lintas di kawasan itu macet pada pagi. Walhasil, waktu tempuh Bandung-Jakarta selama 45 menit dengan Whoosh seperti tak berarti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena itulah, ketika PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI meniadakan jadwal keberangkatan Argo Parahyangan pukul 05.00 WIB, Ditho resah. Toh, dia tetap tak memilih Whoosh sebagai moda pengganti. “Saya beralih ke travel saja yang menuju Sudirman dan bisa berjalan kaki ke kantor,” ujarnya. 

Suasana tenant penjual minuman di Stasiun Tegalluar, Desa Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, 15 Februari 2024. Foto: Tempo/Ahmad Fikri

Sedangkan Luwandiko Wismar, konsultan yang sering bepergian dari Jakarta ke Bandung, mengatakan Whoosh hanya menjadi opsi ketika dia dikejar waktu atau dalam kondisi darurat. Tapi dia mengeluhkan jadwal Whoosh dan kereta pengumpan atau feeder dari Stasiun Bandung yang tak sinkron. Dia memperkirakan kapasitas penumpang satu rangkaian kereta feeder 400 orang, sementara Whoosh sekali jalan bisa mengangkut 600 orang. "Karena itu, saya pilih Argo Parahyangan," ucapnya.

Juru bicara KAI, Joni Martinus, mengatakan Argo Parahyangan kini ditujukan bagi penumpang yang memiliki waktu longgar dan ingin menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Menurut dia, kereta ini cocok untuk kebutuhan pariwisata, sementara kereta cepat Whoosh membidik penumpang yang menginginkan perjalanan dalam waktu singkat.

•••

BANGUNAN megah Stasiun Kereta Cepat Jakarta-Bandung Tegalluar di Desa Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, terlihat lengang. Di area parkir di depan lobi barat area masuk utama stasiun, terparkir dua taksi dan dua bus berukuran sedang milik Perusahaan Umum Damri dan perusahaan properti Summarecon. Di pintu masuk utama, terpampang deretan mesin tiket bagi penumpang yang ingin membeli tiket Whoosh secara mandiri. Dua gerai minimarket serta makanan dan minuman tampak di lobi stasiun.

Ari Julio, petugas parkir di Stasiun Tegalluar, mengatakan minimarket serta bazar makanan dan minuman siap saji mulai meramaikan stasiun pada awal tahun lalu. Dulu area dalam stasiun tersebut memang kosong melompong. “Penumpang di hari biasa sepi, baru mulai ramai pada sore hari menjelang magrib,” katanya pada 15 Februari 2024.

Suasana sepi sangat terasa di bangunan stasiun yang jembar dengan tiga lantai utama. Lantai pertama dirancang sebagai area tunggu penumpang dengan dua pintu besar, masing-masing berada di lobi barat dan timur. Lantai dua digunakan sebagai area keberangkatan penumpang kereta cepat. Di tengah-tengah area terbuka menuju pintu lobi timur, berjajar 18 lapak makanan siap saji dengan bentuk muka seperti saung berukuran 2 x 2 meter. Di dekatnya ada deretan meja dan kursi panjang bagi penumpang yang ingin makan di tempat.

Sebagian besar lapak itu menggunakan jenama kuliner khas Bandung, seperti Batagor Queeny, Batagor Riri, Cakue Isi Ceuenox, Leupeut Banjur Mas Bedjo, Kylafood Seblak House, dan Es Cendol Elizabeth. Rendal, pemilik lapak Cakue Isi Ceuenox, mengatakan pendapatan dari lapak di Stasiun Tegalluar cukup lumayan. “Tapi memang ramainya enggak menentu,” tuturnya. Rendal mengaku paling sedikit bisa menjual 10 kemasan sehari atau mendapatkan sekitar Rp 500 ribu. Penjualan akan makin ramai di akhir pekan, sejalan dengan peningkatan jumlah penumpang kereta cepat.

Sejak Whoosh beroperasi secara komersial pada 17 Oktober 2023, okupansi tertinggi tercatat pada akhir pekan. PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mencatat tingkat keterisian penumpang bisa lebih dari 80 persen pada mayoritas jadwal kereta yang beroperasi. Sedangkan okupansi penumpang pada hari biasa 60-70 persen. Hingga 14 Februari 2024, Whoosh telah melayani 1.735.770 penumpang.

KCIC memang tengah bergerilya untuk terus mendongkrak pendapatan. Tak hanya mengerek pendapatan yang berasal dari penjualan tiket, manajemen KCIC juga berupaya mendorong pemasukan nontiket atau non-farebox. Lapak kuliner dan minimarket menjadi salah satu pos pendapatan non-farebox yang diandalkan KCIC.

Juru bicara KCIC, Eva Chairunnisa, mengatakan pemanfaatan area komersial terus dioptimalkan. Menurut dia, saat ini terdapat sekitar 75 tenant atau penyewa lapak permanen yang bekerja sama dengan KCIC di dalam stasiun. Selain itu, ada 160 usaha mikro, kecil, dan menengah untuk area kuliner yang tersebar di Stasiun Halim, Padalarang, dan Tegalluar. Upaya lain KCIC untuk mendongkrak pendapatan adalah bekerja sama dengan para operator transportasi guna terus meningkatkan integrasi antarmoda. “Harapannya, seluruh masyarakat dapat dimudahkan pada saat akan menuju stasiun Whoosh dan sebaliknya,” katanya pada 15 Februari 2024.

Kerja sama dengan sejumlah pengelola destinasi wisata juga dilakukan untuk mengerek minat penumpang, seperti program promosi gratis masuk area wisata di kawasan Bandung dengan menunjukkan tiket Whoosh serta diskon buat konsumen lokasi kuliner dan penginapan yang telah digandeng KCIC. Eva mengimbuhkan, kerja sama business-to-business pun akan ditingkatkan dengan memaksimalkan kooperasi pengelolaan area komersial di dalam stasiun dan di sekitarnya, termasuk periklanan dan berbagai kegiatan komersial lain. “KCIC juga terbuka bekerja sama dengan pengembang untuk pemanfaatan lahan di sekitar stasiun,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ahmad Fikri dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pilih Cepat atau Hemat"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus