KENDATI Indonesia sudah mengekspor pulp dan kertas, toh bahan bakunya harus diimpor. PT Harapan Tungkal Jaya, sebuah pabrik karton di Palembang, misalnya, baru-baru ini harus mengimpor 1.000 ton kertas bekas dari Belanda. "Kalau di dalam negeri berlimpah, untuk apa kami impor?" kata Sahala Hutapea, Direktur Harapan Tungkal Jaya, kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Menurut Sahala, perusahaannya yang baru beroperasi sejak awal 1994 ini mempunyai kapasitas pengolahan kertas bekas sekitar 100 ton per hari. Sedangkan suplai kertas bekas dari para pemulung di Sumatera Selatan cuma sekitar 40 ton per hari. Sahala mengakui, harga impor lebih mahal dibandingkan dengan pasokan dari pemulung lokal. Harga kertas bekas lokal cuma sekitar Rp 175.000 per ton, sedangkan impor dari Belanda US$ 100 (sekitar Rp 215.000) per ton. Sahala yakin, kendati memakai bahan baku impor 60%, per usahaannya yang baru beroperasi sejak 1994 dengan investasi US$ 5,3 juta itu bisa untung. "Pasarannya bagus. Kami sudah menerima pesanan dari Taiwan dan sejumlah pabrik karton di dalam negeri," ujar sarjana akuntan lulusan Universitas Gadjah Mada tadi. Dan untuk menghasilkan kertas pelapis karton, kertas bekas itu diolah dengan mesin dan teknologi impor dari Jerman. Namun, ketergantungan pada kertas impor bekas bisa merepotkan. Lagi pula, jangan-jangan berisi limbah industri. Kedatangan 44 kontainer kertas bekas eks-Belanda itu, misalnya, sempat menyibukkan aparat pemerintah di Palembang. Untunglah, sesudah diperiksa, kertas sampah itu ternyata tak mengandung limbah B3.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini