UNTUK sebagian besar orang, hanya dua tempat terpenting di dunia: tempat mereka hidup dan tempat televisi diletakkan." Demikianlah Don de Lillo menulis dalam bukunya White Noise (1985), 39 tahun setelah penyiaran televisi pertama kalinya. Nilai penting televisi pada generasi yang lahir di era awal industri televisi, 1950-an, digambarkan dengan bersahaja pula oleh penulis David Foster Wallace dalam Fictional Futures (1988): "Tak seperti generasi yang lebih tua, kami tak akan punya ingatan tentang dunia tanpa membicarakan televisi. Ingatan tentang dunia terbangun bersama di dalamnya." Kedua penulis itu barangkali terlalu berlebihan. Namun, di museum Moving Image-New York, ucapan kedua penulis itu terasa mendapatkan deskripsinya. Museum yang didirikan tahun 1977 itu tak saja mengoleksi teknologi futuristik, tapi juga pertumbuhan desain televisi, bentuk-bentuk pengucapan iklan, berbagai properti yang dipakai acara-acara populer di televisi Amerika, industri mainan yang berkaitan dengan televisi, hingga berita-berita gosip televisi dari mula sampai kini. Coba simak iklan televisi Du Mont tahun 1949. Digambarkan seorang ayah, ibu, dan dua anaknya, di kursi sofa ruang keluarga, rileks dan hangat melihat televisi. Inilah ilustrasi yang mendominasi iklan pada awal industri televisi. Disertai slogan-slogan seperti "Penggabungan yang penuh cita rasa antara televisi dan tata ruang Anda" atau "Jendela dunia rumah Anda". Inilah dasar pijakan pertumbuhan industri kultural televisi: upaya menanam televisi di jantung rumah tangga, yakni ruang keluarga. Cobalah perhatikan desain bentuk populer televisi pada periode tersebut. Kabinet (persegi panjang hampir bujur sangkar) merupakan bentuk dominan, yang juga merupakan desain terpopuler mebel keluarga-keluarga Amerika saat itu. Simak desain televisi era 1980-an. Ia sejajar dengan desain peralatan rumah tangga modern seperti microwave. "Televisi mendominasi ruang keluarga di kebanyakan rumah," demikian Arthur J. Pulos menuliskan kesimpulannya dalam The American Design Adventure, 1988. "Sudah siapkah kopi tubruk, kacang kulit, bantalan empuk, daster santai, obat nyamuk, dan kipas anginnya?" Inilah iklan SCTV di berbagai surat kabar, disertai gambar kursi sofa keluarga yang nyaman dan secangkir kopi. Bahkan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) menslogankan dirinya sebagai "televisi keluarga". Hadirnya stasiun siaran asing lewat parabola Palapa B2P (ESPN, CNN, HBO, Discovery) dislogankan tak tanggung-tanggung: "Mereka segera hadir di rumah Anda dengan tayangan 24 jam penuh tentang olahraga, berita, film, dokumenter". Agaknya, di negeri ini, yang usia industri televisi swastanya belum lebih dari lima tahun, perlombaan menanam televisi di ruang keluarga telah dimulai. Namun, keluarga bukanlah tanah yang, ketika ditanami apa saja, tanpa komentar. Keluarga adalah tema besar para seniman, sejarawan, sosiolog, psikolog, ekonom, hingga pendidik, yang tak henti-henti diperdebatkan. Keluarga adalah romantisisme sekaligus realitas sketsa sebuah bangsa. Keluarga adalah panggung drama terbesar karena senantiasa berkaitan dengan perkembangan yang kompleks dari kondisi keadilan sosial, ekonomi, moral, teknologi, dan ideologi waktu dan tempat tertentu. Maka, tak aneh, para guru, ulama, hingga orang tua saling angkat bicara perihal industri budaya televisi. Tokoh pahlawan wanita, Wonder Woman, yang ayu, dikritik keras di Surabaya karena hanya memakai penutup dada dan bikini. Demikian juga siaran praktek memasak, yang memotong daging babi di bulan Puasa. Belum lagi kritik pemirsa terhadap jenis iklan tertentu -- sebutlah produk teknologi modern yang mengolok-olok kompor bersumbu. Televisi lalu seperti Dewa Janus, senantiasa berwajah dua. Pada satu wajah, ia disebut dalam padanan negatif, seperti "tabung kebodohan hingga tanah gersang". Pada wajah yang lain, ia disebut dalam padanan positif, seperti "panduan baru, jendela melihat dunia". Pada satu sisi, ia dianggap mendorong ke arah keseragaman dan isolasi, dan di sisi lain juga mendorong keberagaman dan kebersatuan dunia baru. Sebuah pertanyaan yang senantiasa harus dibisikkan ke setiap manusia di balik acara-acara televisi. Karena upaya untuk menanam televisi lebih dalam ke ruang keluarga akan senantiasa dihadapkan pada persoalan nilai-nilai yang mengalir sepanjang waktu seperti sungai. Dari gunung ke lembah-lembah. Ia permanen sekaligus berubah, dan di antara keduanya adalah kerisauan-kerisauan.Garin Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini