TIGA bulan terakhir ini, harga timah membubung terus. Bulan lalu, harganya di pasar internasional baru US$ 7.800 per ton, pekan silam sudah melejit US$ 9.000 per ton. Di bursa Kuala Lumpur, yang menjadi patokan harga timah dunia, harganya mencapai M$ 24,40 (Rp 15.500) per kg. Padahal, ketika bursa itu dibuka Februari 1986 -- dua bulan setelah bursa timah di London ambruk -- harga timah baru M$ 18 (Rp 3.745, menurut kurs waktu itu). Dan Januari lalu, harganya masih M$ 20. Ternyata timah -- dipakai untuk industri senjata, kaleng, dan elektronika -- meningkat permintaannya. Transaksi di bursa Kuala Lumpur, yang rata-rata 100 ton, sekarang membengkak sampai 400 ton sehari. Menurut sumber yang dikutip harian The New Straits Times, permintaan mencapai 180.000 ton, sementara negara-negara anggota ATPC (Indonesia, Malaysia, Muangthai, Bolivia, Australia, Zaire, dan Nigeria) hanya memasok 160.000 ton. Ini disengaja ATPC sejak awal 1986, supaya negara-negara industri menghabiskan stok mereka. Tapi buat PT Timah, ini kesempatan baik. Menurut juru bicara PT Timah, Drs. Soetopo Prowiranoto, M.Sc., sebagaimana dikutip Kompas, hanya Indonesia yang bisa memenuhi kuota ATPC. Tahun ini produksi timah Indonesia sekitar 32.750 ton, kuotanya 31.500 ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini