Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gelombang Protes dari Jasa Perhotelan

Pengusaha ketar-ketir perubahan status bandaral mengusik bisnis di daerah.

 

8 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pesawat di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, Oktober 2019. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Rencana pemangkasan jumlah bandar udara internasional dipertanyakan para pelaku usaha sektor wisata, salah satunya penyedia jasa akomodasi. Meski belum resmi diputuskan, usul alih status delapan bandara internasional itu membuat pengusaha perhotelan ketar-ketir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Herman Muchtar, salah satu yang bereaksi. “Ini kebijakan yang sangat keliru,” katanya kepada Tempo, kemarin. Herman mulai khawatir karena Bandara Husein Sastranegara di Kota Bandung masuk daftar usul peralihan status. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, layanan penerbangan asing ke Bandung seharusnya tidak dikurangi lantaran Bandara Internasional Kertajati di Kabupaten Majalengka belum bisa beroperasi optimal. Bandara yang sebelumnya digadang-gadang menjadi pintu masuk baru bagi turis ke Jawa Barat saat ini berstatus minimum operation level 2, alias dibuka tanpa adanya aktivitas penerbangan. Adapun aktivitas pesawat jet niaga berjadwal yang sempat dipindahkan ke Kertajati kini dioperasikan kembali dari Bandara Husein Sastranegara.

Berdasarkan catatan PHRI Jawa Barat, kontribusi wisatawan asing dari Singapura dan Malaysia yang masuk melalui Bandara Husein cukup signifikan terhadap industri pelancongan Bandung dan sekitarnya. Saat belum ada pandemi, terdapat 4-5 penerbangan per hari dari dua negara tersebut ke Bandung.

“Baru saja penerbangan jet diperjuangkan kembali ke Husein, kok tiba-tiba akan dijadikan domestik?” tutur Herman. “Dari mana dasar perhitungan pemerintah?”

Wacana penataan jalur penerbangan didengungkan Presiden Joko Widodo saat memimpin salah satu rapat kabinet beberapa waktu lalu. Salah satu topik yang dibicarakan terkait penentuan pintu masuk alias hub rute asing dari dan menuju Indonesia. Menurut Jokowi, bandara internasional di Tanah Air kini terlampau banyak, padahal 90 persen lalu lintas penumpang hanya terpusat di empat bandara besar. 

Rencana itu kembali mencuat ke publik setelah beredarnya surat usul Direktorat Jenderal Perhubungan Udara kepada Menteri Perhubungan bertarikh Juli 2020. Surat bernomor Au.003/1/8/ORJU.DBU-2020 itu memuat daftar delapan bandara internasional yang diusulkan beralih status menjadi domestik, termasuk Bandara Husein.

Kepala Bagian Kerja Sama Internasional, Humas, dan Umum Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Budi Prayitno, mengatakan surat usul itu masih dibicarakan di kalangan internal. “Belum ada tanggal surat juga sehingga tidak bisa dijadikan referensi,” ucapnya, kemarin.

Meski begitu, Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran khawatir pengalihan status mengusik bisnis akomodasi di daerah. “Sekecil apa pun direct flight, misalnya 1-2 penerbangan per pekan, tetap berpengaruh pada pendapatan perhotelan di kawasan tersebut.”

Berkurangnya bandara berstatus internasional dianggap bisa berdampak pada penurunan minat wisata. Para pelancong, kata Maulana, tak ingin durasi perjalanan bertambah lantaran harus terbang ke bandara hub. “Kalau harus memutar ke kota besar, para turis akan berpikir ulang soal bujet dan keterbatasan masa tinggal (length of stay) mereka,” ucapnya. “Penentuan bandara yang akan dikembalikan ke status domestik harus hati-hati.”

Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia Kota Sabang, Irwan Mahdi, masih menanti keputusan Kementerian Perhubungan atas Bandara Maimun Saleh yang juga masuk daftar tersebut. Menurut dia, bandara itu belum banyak berkontribusi menyumbangkan wisatawan ke Sabang, baik lokal maupun asing. Para pelancong cenderung melalui jalur transit di Banda Aceh sebelum berangkat ke Sabang dengan bus dan kapal feri.

“Tapi jelas bandara itu mempengaruhi minat konsumen yang mengutamakan penerbangan langsung ke destinasi. Setidaknya, coba naikkan okupansi kursi dulu,” ucapnya.

Pengamat penerbangan, Alvin Lie, menyarankan Kementerian Perhubungan mengecek ulang kinerja bandara berstatus internasional, khususnya yang kurang termanfaatkan untuk penerbangan inbound alias dari luar negeri ke Indonesia. “Kalau cuma memfasilitasi orang lokal ke luar, secara bisnis merugikan,” ujar Alvin, yang juga anggota Ombudsman RI.

FRANCISCA CHRISTY ROSANA | AHMAD FIKRI | YOHANES PASKALIS 


Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus