Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Prabowo Subianto menaikkan tarif PPN hanya untuk barang supermewah.
Kenaikan tarif PPN secara terbatas cuma menambah penerimaan negara Rp 3,2 triliun.
Ketidakpastian kebijakan akan terus terjadi hingga lima tahun ke depan.
PRESIDEN Prabowo Subianto membuka 2025 dengan inkonsistensi kebijakan yang mengejutkan pasar. Tepat di malam menjelang tahun baru 2025, pemerintah mengubah kebijakan tentang tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang seharusnya naik menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN menjadi berlaku hanya untuk barang dan jasa supermewah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan penting yang berubah di detik-detik terakhir ini tak hanya membingungkan investor di pasar keuangan. Korporasi di berbagai sektor yang wajib memungut PPN tentu tak kalah repot menyesuaikan kembali pungutan pajak untuk konsumennya. Di sisi lain, harga berbagai barang sudah telanjur naik, mengantisipasi tarif baru PPN yang ternyata batal berlaku di detik-detik pergantian tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontroversi tarif PPN sebetulnya berlangsung sejak akhir November 2024. Kala itu Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan dengan tegas menyatakan pemerintah tidak akan menaikkan tarif PPN pada 2025, meski hal tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Luhut tentu tak asal bicara. Meski bukan lembaga yang berwenang memutuskan, DEN bisa memberi nasihat kepada presiden. Kabarnya, Presiden Prabowo sudah menyetujui saran DEN itu. Berbagai peraturan juga sudah disiapkan untuk mengakomodasi penundaan agar tidak melanggar undang-undang.
Penundaan kenaikan PPN sebetulnya penting karena ekonomi Indonesia sedang melemah. Pertumbuhan ekonomi melambat dan daya beli konsumen, terutama mayoritas kelas menengah, merosot. Gejala ini antara lain tampak pada angka penjualan mobil yang turun 14,7 persen hingga akhir November 2024. Kenaikan tarif PPN akan makin menekan daya beli masyarakat dan membuat ekonomi makin lesu.
Di pekan-pekan berikutnya, keputusan pemerintah mengenai PPN malah simpang-siur. Pada awal Desember 2024, Prabowo menyatakan tarif PPN akan tetap naik dan seperti membuat pernyataan Luhut menguap tersapu angin. Cuma, kenaikan itu hanya berlaku untuk kategori barang dan jasa kelas atas.
Persoalannya, tak pernah ada penjelasan rinci mengenai kategori itu. Apa saja yang tarifnya naik dan apa yang tidak. Semua orang pun mengantisipasi kenaikan tarif PPN itu berlaku secara menyeluruh, kecuali untuk beberapa bahan kebutuhan pokok yang memang selama ini tak terkena PPN.
Walhasil, protes merebak di mana-mana. Di media sosial, Prabowo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi sasaran kecaman publik yang marah. Publik menilai mereka tak peduli terhadap nasib orang banyak yang makin susah karena ekonomi lesu dan daya beli yang melorot.
Tekanan publik sepertinya membuat Prabowo menyerah di malam tahun baru. Untuk menyelamatkan muka, pemerintah tetap menaikkan tarif PPN, tapi sangat terbatas pada barang supermewah sehingga tidak akan mengganggu daya beli masyarakat kelas menengah-bawah.
Menimbang situasi ekonomi, keputusan Prabowo di saat-saat terakhir itu memang masuk akal. Tapi, terlepas dari baik-buruknya keputusan itu, bagi pasar, ini merupakan praktik pembuatan kebijakan yang sangat buruk. Investor kini harus menghadapi risiko ketidakpastian regulasi dan kebijakan yang makin tinggi. Keputusan pemerintah yang simpang-siur dan berubah di detik-detik terakhir merupakan ancaman. Keyakinan investor kepada Indonesia bisa luntur.
Selain itu, muncul pertanyaan yang lebih fundamental. Menurut hitungan Dewan Perwakilan Rakyat, kenaikan tarif PPN secara terbatas hanya akan menambah penerimaan Rp 3,2 triliun. Jauh bila dibandingkan dengan perkiraan penerimaan Rp 70 triliun jika kenaikan PPN berlaku secara menyeluruh.
Ketika ada potensi penerimaan yang hilang, sudah sewajarnya pemerintah memberi penjelasan bagaimana akan menambal lubang itu. Apakah akan ada pemangkasan program yang memakan biaya besar dan penghematan? Atau pemerintah tetap tak peduli terhadap sulitnya keadaan dan akan terus menambah utang?
Penjelasan itulah yang tak kunjung tiba. Tak mengherankan kurs rupiah dan harga obligasi pemerintah makin tertekan di awal tahun ini. Masalahnya, ini mungkin berlangsung lama. Risiko ketidakpastian kebijakan agaknya akan terus mewarnai Indonesia hingga lima tahun ke depan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Goyah Lantaran Simpang-Siur Kebijakan PPN