Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tongkat Keras untuk Konglomerat Bandel

Pemerintah batal memberi keringanan pembayaran utang kepada debitor bandel. Pemerintah masih punya peluang untuk memperoleh tingkat pengembalian utang yang lumayan.

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGLOMERAT nakal bakal gigit jari. Kamis pekan lalu, pemerintah akhirnya membatalkan perpanjangan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Alih-alih memperoleh keringanan membayar utang, kini para konglomerat harus siap-siap berurusan dengan aparat kepolisian dan kejaksaan bila tetap bandel tak mau memenuhi kewajibannya. Sebelumnya, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) merekomendasikan perpanjangan PKPS yang diperhitungkan akan memperbesar jumlah utang yang bisa ditagih. Namun, rekomendasi itu menimbulkan reaksi keras banyak pihak. Rekomendasi tersebut dinilai terlalu berpihak pada para konglomerat pemilik bank penerima bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang selama ini tak menunjukkan itikad baik mengembalikan utang mereka. Keputusan pemerintah yang terbaru itu sendiri diperoleh lewat jalan yang berliku. Tak kurang dari lima kali rapat kabinet mesti digelar. Lalu, dibentuk lagi tim kecil yang terdiri atas tiga menteri koordinator (menko)?Menko Perekonomian, Menko Kesejahteraan Rakyat, dan Menko Politik dan Keamanan? untuk membicarakan persoalan utang sebesar Rp 130,6 triliun itu secara lebih mendalam. "Dalam dua bulan ini kami melewati suatu diskusi dan debat yang luar biasa," kata Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, menggambarkan serunya pembahasan utang konglomerat itu. Tak apa. Toh akhirnya, "Pemerintah mendengar suara rakyat," ujar ekonom Chatib Basri. Dengan pertimbangan memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum?tanpa mengabaikan aspek perolehan dana?pemerintah memutuskan tetap melanjutkan perjanjian lama dengan para debitor. Selama ini ada tiga jenis perjanjian penyelesaian utang, yaitu yang disebut MSAA, MRNIA, dan APU. Nah, keputusan baru ini tetap akan memakai pola perjanjian itu. Apa beda ketiga kontrak tersebut? MSAA (Master of Shareholder Settlement and Acquisition Agreement) pada pokoknya adalah pembayaran utang dengan aset. Pada MRNIA (Master of Refinancing and Note Issuance Agreement), utang tak hanya dibayar dengan aset, tetapi juga?karena aset tak cukup untuk menutup utang?dengan jaminan pribadi pengutang. Sedangkan APU (Akta Pengakuan Utang) pada intinya sama seperti pinjaman pribadi. Selain pola yang tak diubah, para konglomerat pun tak diberi peluang lagi untuk molor dari jadwal pelunasan utang. Debitor cuma punya waktu tiga bulan lagi untuk menyelesaikan kewajibannya. Waktu itu dihitung sejak ada pernyataan tertulis dari legal council (konsultan hukum). Bila mereka cedera janji, sederet tindakan tegas sudah disiapkan. Bentuknya? Macam-macam, dari pernyataan kepailitan, pengambilalihan aset, paksa badan dan/atau pemeriksaan, sampai penuntutan atas tindak pidana korupsi serta cegah dan tangkal (cekal). Langkah tegas itu bukannya tanpa risiko. Dengan mengedepankan penegakan hukum, pemerintah harus berhadapan dengan sisi gelapnya sendiri: sistem peradilan yang korup dan bertele-tele. Data di bagian litigasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bisa bicara. Dari 2.400 kasus yang diserahkan ke pengadilan, sejauh ini baru 230 perkara yang diputus. Itu pun BPPN lebih banyak menelan kekalahan daripada kemenangan. Namun, Djatun, panggilan akrab Menko Perekonomian, tetap optimistis. Menurut dia jajaran hukum di kabinet kini bersemangat untuk bersikap tegas. "Mereka bersepakat menutup celah-celah hukum yang dulu dimanfaatkan debitor bandel bermanuver ke sana kemari," kata Menko Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono. Untuk itu akan dilakukan koordinasi antara KKSK, BPPN, kepolisian, dan Kejaksaan Agung. BPPN akan memilih konsultan hukum. Badan ini juga yang akan memilah mana debitor yang cedera janji dan mana yang kooperatif. "Kami sekarang sedang kelabakan menetapkan kriteria konsultan hukum itu," kata Pejabat Deputi AMI (Asset Management Investment) BPPN, Dasa Sutantio. Selanjutnya debitor yang bandel akan di serahkan kepada aparat kepolisian dan kejaksaan. Cukup? Belum. Pemerintah juga akan melakukan konsultansi dan kerja sama dengan lembaga legislatif dan yudikatif untuk memastikan debitor nakal mendapat hukuman setimpal. Tapi, selain menyiapkan tongkat, pemerintah juga sedia memberi wortel. Kepada debitor yang kooperatif, pemerintah akan memberikan kepastian hukum berupa pemberian surat release and discharge (SRD). Mekanisme dan tata cara pemberian SRD itu akan segera dirumuskan oleh Menteri Kehakiman dan HAM serta Jaksa Agung. Bagaimana bila penegakan hukum membuat tingkat pengembalian utang para konglomerat makin anjlok? "Itu harus kita tanggung. Keadilan memang mahal," ujar Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Sejauh ini recovery rate 35 debitor yang meneken perjanjian MSAA, MRNIA, dan APU hanya mencapai 12,38 persen. Penyelesaian utang yang telah ditempuh selama tiga setengah tahun hanya bisa memasukkan Rp 17,6 triliun. Tak perlu heran bila recovery rate selama ini begitu rendah. Tiga pola perjanjian utang yang selama ini diteken pemerintah dan konglomerat memang punya banyak kelemahan. Pola MSAA yang pembayaran utangnya dilakukan dengan aset, misalnya. Pada pola ini, bila nilai penjualan aset yang diserahkan lebih besar dari yang telah disepakati, kelebihannya dikantongi konglomerat. Sebaliknya, bila nilai asetnya ketika dijual lebih rendah, pemerintah yang harus menomboki. Aneh, bukan? Makin aneh lagi, walaupun perusahaan telah diserahkan, pengelolaan dan arus kas perusahaan tetap di tangan pengutang. Sekarang, dengan keputusan baru, peme-rintah pun tak bisa terlalu berharap tingkat pengembalian utang akan jauh terdongkrak. Mengharap tingkat pengembalian utang mencapai 100 persen memang bak mimpi di siang bolong. Namun, bukan berarti tak ada cara untuk mendongkrak recovery rate agar lebih bagus. Seorang sumber di pemerintah yakin, jalan masih terbuka bila debitor terbukti cedera janji dan petugas BPPN mau bekerja keras. Caranya? Ia memberi contoh begini. Bila kondisi aset yang dulu diserahkan ternyata tak sesuai dengan data (misrepresentasi), BPPN meminta mereka menyetor kekurangannya. Ini yang selama ini tak bisa dilakukan. Tambahan aset juga bisa diminta kalau debitor terbukti memiliki aset material lain di luar yang diakuinya kepada BPPN. Tindakan paling keras terhadap debitor yang cedera janji, BPPN bisa membatalkan perjanjian utang sehingga bisa meminta penyerahan aset lagi mulai dari nol. Untuk mengetahui kondisi aset, BPPN mesti melakukan uji tuntas terhadap aset tersebut. Di masa lalu, uji tuntas belum sempat dilakukan. Sedangkan untuk mengetahui apakah debitor memiliki aset lain di luar aset yang diakuinya, BPPN mesti memiliki tim audit forensik yang andal. "Bila perlu, BPPN menyewa detektif swasta kenamaan seperti Kroll," kata sumber itu. Toh, kalaupun usaha pemerintah mentok dan hanya bisa mendapat tingkat pengembalian utang yang rendah, menurut ukuran waktu, uang yang diterima sekarang masih lebih baik ketimbang duit yang diterima sepuluh tahun lagi. "Sekarang kondisi aset-aset itu masih bagus, tapi sepuluh tahun lagi mereka sudah jadi besi tua," kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Jusuf Kalla. Lagi pula, siapa yang berani menjamin bahwa kalau waktu pengembalian utang diperpanjang tingkat pengembalian utangnya bisa lebih baik? Nugroho Dewanto, Purwani Diyah Prabandari, Rommy Fibri, Tomi Lebang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus