LALULINTAS perdagangan di kota Medan praktis macet. Sebelumnya,
dua hari setelah Menko Ekuin Widjojo Nitisastro mengumumkan
perceraian rupiah dari dollar, keadaan masih biasa. Yang hangat
hanya pergunjingan mengenai dipasangnya harga-harga baru --
akibatnya nilai rupiah terhadap dollar dam beberapa mata uang
asing lainnya. Sekitar jam 15.30 tanggal 17 November toko-toko
di hampir semua pusat perbelanjaan kota itu, termasuk di
Belawan, rutup serentak.
Tindakan tutup toko itu, seperti di laporkan koresponden
Zakaria M. Passe, menimbulkan berbagai tafsiran. Ada yang
menganggap itu ulah para pedagang saja agar bisa mengambil
nafas untuk menyesuaikan herga jualannya. Ada pula yang
berspekulasi "kok seperti ada yang mengomando." Dan tiba-tiba
timbul desas desus siang itu ada toko yang mau diserang.
Suara demikian juga terdengar santer di Surabaya dan Jakarta,
meski cuma lewat telepon. Dengan segera di Jakarta dan di Medan
pihak yang berwajib mengerahkan penjagaan. Suasana pun terasa
aman sampai sekarang. Kantor berita Reuter kemudian mengabarkan
ada toko-toko di Medan diserbu -- tapi itu rupanya kabar kosong
yang ditelan mentah-mentah oleh koran Singapura The Straits
Times.
Yang belum aman adalah sang harga. Bukan cuma yang impor atau
yang asembling sini naik. serbagai barang kebutuhan sehari-hari,
termasuk yang tak punya kaitan apapun dengan impor, ikut pasang
harga baru. Di Jakarta, telor ayam negeri yang sebekm
pengumuman devaluasi berharga Rp 500 sekilo, menjadi Rp 800.
Artinya naik 60%. Gula pasir yang dilarang naik, ternyata ikut
menyesuaikan diri dari Rp 225 menjadi sampai Rp 300 sekilo.
Bahkan beras pun yang gencar didrop oleh Bulog di pasaran,
ikut-ikutan minta tambahan Rp 5 sampai Rp 20 sekilo eceran. Tapi
itu terbatas pada tiga dari 11 jenis beras yang diperdagangkan
di Pasar Induk Cipinang.
Di Medan terjadi hal serupa. Barang-barang eks impor rata-rata
meningkat antara 30 sampai 50%. Tapi yang sampai akhir pekan
lalu terasa menggila adalah harga emas. Sehari sebelum
pengumuman, logam mulia itu di Medan masih Rp 2.925 per gram
(24 karat). Kamis lalu melonjak Rp 4.300, dan sehari kemudian
naik menjadi Rp 4.400. Toko-toko emas di Jakarta banyak yang
buka tapi tanpa barang.
Pedagang beras eceran dan grosir juga ikut kumat di Medan.
Meskipun gudang Dolog dinyatakan terbuka 24 jam, dan harga beras
medium dipertahankan, tapi misalnya harga beras Arias no. 1 dari
Rp 197 sudah ada yang menjualnya Rp 210 per kg. Di beberapa
tempat bahkan ada juga yang menghantam setinggi Rp 300 per kg.
Kakanwil Departemen Perdagangan Sumatera Utara, A. Jalil
Matondang, mengakui "harga bahan-bahan pokok mengalami
kenaikan."
Di kota yang tidak begitu besar dan boleh disebut jauh dari
"pusat", seperti Purwokerto, kenaikan harga sudah terjadi Kamis.
Namun ini terbatas pada barang-barang yang tergolong "kentara
dari luar negeri." Misalnya harga barang elektronik radio, film
dan TV, ratarata naik 50%. "Itu patokan sementara sesuai dengan
pesan dari Jakarra," kata seorang pedagang. "Kalau memang serius
bisa naik lagi." Tapi ada juga pedaang yang hari itu tetap
menjual TV-nya dengan harga lama, Rp 47.200 untuk 12 inci.
Di Yogya, toko-toko juga banyak yang tutup sehari sesudah
pengumuman yang mengejutkan itu. Terutama toko emas. Toko Sami
Jaya, yang terbesar dan dikenal sebagai toko-serba-ada di
keramaian Malioboro masih tutup sampai Jum'at pekan lalu.
Petugas parkir di depannya mengatakan, karyawan di dalam masih
sibuk. "Kerja lembur terus merubah harga," kata seorang yang
mengetahui. Berapa naiknya? "Semuanya naik antara 30 sampai
50%," begitu perkiraannya.
Naiknya harga barang dan ramainya pembicaraan rentang ini,
menyebabkan orang perlu memberi penenang. Dr Soediyono, Direktur
Pusat Penelitian Ekonomi FE UGM, beranggapan, kenaikan harga
yang 50% itu hanyalah "goncangan psikologis" para pedagang.
"Tapi kalau daya beli konsumen relatif tidak meningkat, toh
barang tidak terbeli. Padahal pedagang terikat keinginan barang
cepat laku agar uang tidak berhenti," kata Soediyono pada
Kedaulatan Rakyat Yogya. Dia berharap sebental lagi akan
tercapai harga baru yang kenaikannya tak sampai 50%, tapi
"sekedarnya" saja.
Berapa kenaikan harga yang "sekedarnya" itu? Atau "dalam
batas-batas kewajaran," seperti kata Menteri Widjojo? Masih
harus dilihat. Tapi yang pasti kalau harga-harga baru nanti
mencapai bentuknya -- katakanlah rata-rata naik 30% -- golongan
yang berpenghasilan tetap akan merasa tersedot dompetnya.
Untunglah bisa diharapkan harga beras kurang lebih akan tetap
bisa dikendalikan. Beberapa saat sebelum dilansirnya pengumuman
baru itu, seluruh gudang beras Bulog di Indonesia sudah dipenuhi
dengan kebutuhan yang paling pokok itu. Kalaupun terjadi
kenaikan itu akan kembali dibanting, setelah Bulog melakukan
droping.
Namun para pegawai negeri harus siap kembali "prihatin". Seperti
diakui seorang pejabat eselon satu sebuah departemen, "pasti
mereka harus ikat pinggang untuk waktu yang agak lama." Gaji
mereka dengan sendirinya tak ikut naik. Kalaupun itu terjadi,
mungkin sekali harus menunggu beberapa bulan lagi. "Mungkin juga
baru April tahun depan, bersamaan dengan dimulainya Pelita III,"
kata pejabat tadi.
Kemungkinan naik tidaknya gaji memang masih menjadi tanda tanya.
Pemerintah, seperti kata seorang pejabat lain, tak ingin melihat
adanya pengeluaran ekstra yang bisa ikut menyulut tingkat
inflasi. Tapi jangan putus asa: para pegawai negeri mungkin
masih ada harapan untuk ditambah gajinya.
Bagaimana dengan jumlah terbesar yang menghuni negeri ini
petani? Mereka memang baru saja senang, karena pemerintah sudah
memutuskan menaikkan harga pembelian gabah keringnya pada
tingkat KUD dengan Rp 10 sekilo. Suatu kenaikan yang cukup
besar, mengingat tahun lalu cuma naik Rp 4 sekilo. Tapi tidakkah
pelipur lara buat petani, yang kebanyakan tinggal di Jawa yang
padat itu, cuma sebentar? Tambahan penghasilan mereka itu bisa
saja dengan sendirinya ditelan arus naiknya kebutuhan
sehari-hari. Tentu saja lumayan bahwa harga pembelian gabah
kering naik. Tapi, seperti diakui seorang ahli ekonomi yang
dekat dengan kalangan pemerintah, "lapisan orang kecil selalu
terkena 'kan?"
Itu tak berarti yang lapisan menengah dan atas -- mereka yang
menyimpan kelebihan uangnya dalam tupiah yang suka beli barang
impor, yang senang belanja ke luar negeri -- tidak terpukul.
Bahkan seorang ahli ekonomi dari Universitas Indonesia
menyatakan: "Yang paling terkena adalah cuma 10 penduduk --
mereka yang berpenghasilan tinggi."
Bisa jadi. Mereka yang punya simpanan, dan tidak sempat
ditukarkan dalan uang asing, pasti akan merasa duitnya susut
separoh. Dan kalau yang "10%, itu ingin melanjutkan gaya hidup
impor mereka harus membayar paling sedikit dua kali lipat.
Tapi bagaimana dengan lapisan menengah ke bawah? Atau golongan
yang memiliki simpanan Rp 1 sampai Rp 10 juta, misalnya?
Kedudukan mereka memang serba sulit. Dipakai untuk berdagang
miliknya terasa kecil. Tapi dibiarkan disimpan dalam bank, takut
kalau makin susut saja. Ada anggapan simpanan yang
kecil-kecilan itu ditukarkan dalam dollar saja. Itu, antara
lain, yang menimbulkan adanya semacam "rush" hingga banyak bank
kewalahan. Untung sikap yang begitu sudah tenang kembali mulai
Senin kemarin.
Barangkali yang paling baik, menurut sebagian kalangan bisnis,
adalah membiarkan sebagian dari simpanan itu dalam bentuk
rupiah. Sekalipun sang rupiah sudah "disumbangkan", tapi tidak
dilepaskan begitu saja pada pasaran. "Managed floating," kata
Widjojo. Dengan kata lain, kurs Rp 625 per satu US$ itu akan
berlaku untuk waktu yang cukup lama. Kalau tak berubah, "itu
hanya kecil saja, tak melewati batas 10 point, " kata seorang
bankir. "Toh pemerintah tak ingin mempertajam devaluasi ini,
hingga membuat orang makin tak percaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini