Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Rupiah Terapung Keputusan Yang Berani, Untuk Rupiah

Pemerintah mengumumkan kebijaksanaan untuk tidak lagi mengkaitkan uang rupiah dengan dolar AS. Menurut pemerintah, tindakan ini bukan berarti Indonesia mengalami krisis ekonomi, tapi dari posisi yang kuat. (eb)

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Soeharto tiba-tiba mensekors sidang Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan yang dipimpinnya, siang 15 November. Kepada para pembantu dekatnya, Kepala Negara tak bicara banyak. Ia hanya menerangkan, "Pemerintah akan mengumumkan kebijaksanaan baru dalam menghadapi Repelita III. Siang itu juga para menteri di bidang Ekonomi dan juga Kesejahteraan Rakyat diminta hadir. Kabinet menjadi lengkap. Untuk memperoleh tempat cukup, sidang dilanjutkan di lantai I Bina Graha. Lalu "kebijaksanaan yang disebut Presiden pun diuraikan. Segera sesudah itu, setelah Kabinet makan siang bersama, sekitar jam 15.30 empat orang Menteri menemui pers. Didampingi oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo, Menteri Keuangan Ali Wardhana dan Menteri Perdagangan, & Kooperasi Radius Prawiro, Menko Ekuin Widjojo Nitisastro berbicara. Suaranya, seperti biasa perlahan tidak berkoar. Tapi yang diucapkannya mengejutkan banyak orang. Mula-mula wartawan di Bina Graha itu. Kemudian beberapa belas menit kemudian hampir seluruh kalangan bisnis di masyarakat, juga di luar negeri. Maklumlah Kebijaksanaan yang dimaklumkan itu oleh kalangan luas disebut sebagai "devaluasi" rupiah, walaupun penjelasan pemerintah selalu menghindari kata yang mungkin tak nyaman ini. Garis pokok kebijaksanaan itu sudah tersebar ke mana-mana kini. Mata uang rupiah tak lagi dikairkan dengan dollar AS dalam bentuk kurs yang tetap. Rupiah sejak hari itu dikaitkan dengan sejumlah mata uang dari berbagai negara. "Untuk meningkatkan daya saing barang-barang hasil produksi Indonesia" di pasaran dalam dan luar negeri, Bank Indonesia akan membeli dan menjual dollar AS dengan kurs baru. Tadinya Rp 415 tiap dollar, kini Rp 625. Di hari pertama setelah pengumuman itu, kurs di beberapa bank terpasang Rp 623,50 (membeli) dan Rp 627 (menjual). Beberapa keputusan penting lain dicantumkan pula, antara lain keringanan bea masuk dan pajak penjualan impor sebesar 50% bagi bahan baku dari luar negeri. Tapi bagi khalayak ramai yang memukau mereka adalah kenyataan baru ini bahwa nilai rupiah turut 50% berhadapan dengan dollar AS. Dan bahwa kurs dollar terhadap rupiah tak lagi terus-menerus tetap seperti sedia kala, melainkan dapat menunjukkan perubahan sebagaimana halnya dengan mata uang yang lain. Apa sebenarnya yang terjadi dengan ekonomi kita? Suatu krisis? Nampaknya tidak. Menurut Widjojo di depan para koresponden asing dalam serangkaian penjelasan yang dilakukan Pemerintah, tindakan itu diambil justru "dari posisi yang kuat". Banyak angka memang menunjukkan itu. Cadangan devisa misalnya, membaik. Meskipun demikian, "dari posisi yang kuat" sekarang, tak berarti Indonesia akan melangkah masuk ke tahun-tahun madu dan bunga mawar. Neraca perdagangan tak menampakkan prospek yang cerah seperti masa lalu. sahkan dengan dikaitkannya rupiah dengan dollar menyebabkan pendapatan nyata dari ekspor berkurang, akibat merosotnya nilai dollar terhadap beberapa mata uang asing lain. Tandatanda menaiknya harga dollar beberapa hari terakhir ini belum meyakinkan benar rupanya. Berbareng dengan itu, bahkan sebelumnya, sudah terasa perlunya keprihatinan dari sektor minyak sebagai penghasil devisa. Dalam tahun anggaran ini, ekspor minyak diperkirakan hanya naik AS$ 300 juta suatu kenaikan paling kecil sejak beberapa tahun terakhir. Maka kian santerlah suara Pemerintah untuk meningkatkan ekspor hasil yang bukan (non-) minyak. Intinya penghasilan devisa kita suram. Itu misalnya disuarakan oleh Moh. Sadli, sehari sesudah serah terima jabatan sebagai Menteri Pertambangan awal April yang lalu. Ia menganjurkan agar tindakan penghematan devisa harus segera dilakukan. Dia bahkan mengusulkan agar valuta asing yang boleh dibawa turis Indonesia ke luar negeri dibatasi. Begitu pula impor barang mewah. Rencana peningkatan ekspor yang tak cuma mempertaruhkan minyak misalnya pernah mendengar dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Suhadi Mangkusuwondo "Suatu kebijaksanaan ekspor yang menyeluruh dan terpadu sedang digodok." Gerak mendesak untuk merangsang ekspor iru menunjukkan sekali lagi, bahwa Pemerintah prihatin karena surplus neraca pembayarannya tak akan sebaik dulu. Bagi suatu negara yang mengalami surplus AS$ 1 milyar dalam neraca pembayarannya dua tahun yang silam, dan kini mengharapkan surplus yang hanya sekitar AS$ 358 jura-itu pun belum tentu tercapai --keadaan memang seperti titik yang berat. Lebih berat lagi karena surplus yang diharapkan dari APBN 1977/1978 sebesar AS$ 835 juta, pada akhir Maret yang lalu ternyata hanya tercapai AS$ 650 juta. Tak mengherankan bila dalam penjelasan Pemerintah berkali-kali tentang "Kebijaksanaan 15 Nopember" itu, masalah dorongan ekspor ditandaskan penuh. Gagasannya nampaknya sudah diolah beberapa waktu dalam kepala para perencana ekonomi. Ketika IGGI bersidang April yang lalu di Amsterdam untuk membicarakan pinjaman baru yang diperlukan Indonesia, gagasan ini sudah dibicarakan rentunya. Laporan rahunan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang ekonomi Indonesia yang dibacakan di sidang itu misalnya menyebut: "Kalau sektor non-minyak harus kuat dalam jangka panjang, ia harus punya daya saing di pasar internasional." Kalimat itu memang hanya bersifat umum -- dan siapapun mudah mengucapkannya. Tapi nampaknya IMF sadar, bahwa jalan lain buat meningkatkan ekspor Indonesia -- selain devaluasi rupiah -- sudah terbatas pilihannya. Penurunan pajak ekspor, misalnya, tak bisa terus-terusan. Maka kesimpulan yang bisa diambil dari laporan itu ialah, suatu tindakan devaluasi rupiah bisa merupakan pilihan paling repat saat ini, walaupun sakit rasanya. Beberapa waktu lamanya, para penelaah ekonomi di dalam negeri sendiri juga banyak bicara tentang "rupiah yang nilainya terhadap dollar terlalu tinggi." Dan bahkan desas-desus tentang devaluasi serta dilepaskannya kaitan rupiah dari dollar sudah terdengar santer di sekitar Maret dan April rahun ini. Namun saat itu, pemerintah dengan tandas membantah. Dalam wawancara khusus dengan TEMPO, misalnya, Menteri Keuangan Ali Wardhana menyebutkan alasan kenapa tindakan seperti itu tak akan diambilnya. "Keadaan kita sekarang jauh lebih baik dalam hal cadangan devisa" (TEMPO, 22 April 1978). Agak menarik, mungkin mengherankan, bahwa justru dengan faktor kuatnya cadangan devisa sebagai salah satu alasan, kini Widjojo Nitisastro menjelaskan "Kebijaksanaan 15 Nopember". Cadangan devisa akhir September ini menjadi sekitar AS$ 2,5 milyar -- atau bertambah dengan AS$ 290 juta dari April yang silam. Bantahan tandas Pemerintah di bulan April yang bertentangan dengan kebijaksanaan yang diambil di bulan Nopember barangkali bisa berakibat kurangnya kepercayaan orang kepada kata-kata para ahli ekonomi Pemerintah. Tapi toh banyak para penelaah ekonomi yang pada dasarnya senang dengan tindakan Nopember -- terutama mereka yang sejak semula bilang perlunya penyesuaian kurs rupiah dan dilepaskannya kaitan mata uang kita dari dollar. Ada pula yang menganggap bahwa tindakan memang baru dapat diambil kali ini, karena inilah saat paling aman menjelang masuknya Indonesia ke Repelita III. Paling aman bisa dilihat dari segi politik kritik dan protes kepada kebijaksanaan pembangunan dan lain-lain sudah mereda. Apalagi Pemerintah merasa dapat dukungan luas. Sebab kali ini menanggung beban yang cukup berat, Pemerintah melangkah ke Repelita III seraya memperhatikan kritik-kritik sebelumnya, yakni dengan menekan masalah "pemerataan" secara serius. Paling aman juga dilihat dari segi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kini suda dicapai dengan tingkat rata-rata 7% setahun. Di pihak lain, sesudah mengalami gejolak inflasi sebesar 40% tahun 174, kini stabilitas nampaknya sudah dicapai tingkat inflasi menurun secara menyolok, khususnya tahun ini. Oktober kemarin, indeks biaya hidup hanya naik dengan 0,7%. Dengan kata lain, seperti dikemukakan Widjojo dalam keterangannya di DPR, inflasi selama 1978 sampai Oktober ini cuma mencapai 3%, jauh di bawah 9,2% dalam periode yang sama tahun lalu (lihat keterangan Widjojo). Bagaimana pun juga, kebijaksanaan Nopember adalah suatu tindakan yang dianggap "berani" oleh kalangan asing. Harian The Asian Wall Street Journal dalam berita utamanya akhir pekan lalu misalnya menyebut devaluasi rupiah kini menunjukkan kemauan para perencana ekonomi Indonesia untuk "membuat keputusan yang berat tapi vital." Seorang diplomat asing dikutip menyatakan tindakan kali ini menunjukkan tekad untuk "menggigit si peluru". Tapi tak semua kalangan asing gcmbira. Terutama dari kalangan bisnis Jepang. Keiichi Oguro dari JETRO (organisasi perdagangan luar negeri Jepang) di Jakarta misalnya kepada TEMPO menyatakan bahwa "devaluasi rupiah sebanyak 50% itu terlalu banyak." Ia berkata pula bahwa tindakan itu seharusnya ditempuh beberapa tahun sebelumnya. Maksudnya, agar efek pukulannya tak sesakit sekarang. Ini dibenarkan oleh S. Saito, Direktur PT Bank Perdana, kongsi Jepanglndonesia. "Para investor Jepang merasa terkena dua kali," katanya. "Sebelum devaluasi rupiah, yen memang sudah naik nilainya. Kini orang Jepang harus menambah dana rupiahnya dengan 50% buat membayar hutang-hutangnya." Memang kalangan perusahaan Jepang yang merupakan penanam modal terbesar di Indonesia (sekitar 40% dari semuanya, sebanyak 220 investasi dalam nilai uang AS$ 2,1 milyar, cukup tak enak. Bahan-bahan konstruksi dan peralatan yang harus diimpor akan melonjak ongkosnya dalam rupiah, sementara laba dari operasinya di sini akan berkurang bila dialihkan ke dalam yen menurut kurs sekarang. Khususnya, secara pasti bidang perakitan mobil dan motor yang umumnya modal Jepang akan kena paling telak, di samping perusahaan tekstil. Tak kurang dari 101.000 mobil, truk dan bus dalam bentuk CKD (pretelan) dirakit di Indonesia selama 1977. Dulu itu karena perkiraan bahwa pasaran mereka akan cerah di Indonesia. Selain lebih murah dibandingkan dengan mobil keluaran AS dan Eropa, kendaraan asal Jepang itu juga mudah suku cadangnya. Tapi zaman manis itu kini bisa berubah. Dua hari setelah pengumuman Nopember itu, para penyalur mobil Jepang menyetop penjualan. "Untuk sementara, sampai ada harga baru," kata agen mobil Datsun di Jl. Pecenongan, Jakarta. Tapi harga baru, yang berarti jauh lebih mahal, bisa berakibat kurangnya pembeli. Lain halnya bila CKD itu bisa ditafsirkan sebagai bahan baku. Perembugan tentang itu kabarnya sedang gencar dilakukan pihak Jepang dengan para pemimpin ekonomi di sini. Tapi sasaran pemerintah kini sudah jelas. Yang pertama ingin dicapai dengan peraturan 15 Nopember adalah membikin ekspor Indonesia lebih kuat bersaing di pasaran dunia. Selama ini barang-barang Indonesia dikenal mahal di luar negeri, hingga kalah bersaing. Praktek pungutan liar yang masih berlangsung, tingginya biaya transpor ke pelabuhan akibat masih kurangnya prasarana, merupakan hal yang antara lain membuat ekspor kita sulit. Kini para eksportir seakan mendapat bonanza. Karena untuk setiap dollar yang dikeluarkan seorang eksportir mendapat Rp 625. Meski begitu ada saja yang tidak segera mcrasa beruntung. Sjamsir Rachman, eksportir karet terkenal di Jakarta, tak melihat peraturan Nopember itu akan cepat membawa buah buat kaumnya. "Sama saja," katanya pekan lalu. "Bahan baku yang dibeli eksportir sudah ikut naik." Menurut Sjamsir, yang langsung beruntung adalah petani karet dan pemilik perkebunan. Sebab, harga karet slabs, yang merupakan bahan baku untuk pengolahan karet bongkah (crumb rubber), kini naik harganya. Kalangan eksportir kayu yang tergabung dalam Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI) tampaknya masih ingin lihat-lihat dulu. Mereka tampaknya masih sangsi, apakah prosedur ekspor dan berbagai pungutan liar -- dua hal pengganjel ekspor -- bisa disederhanakan oleh pemerintah. Tapi mereka gembira karena ekspor kayu lapis kini punya harapan lebih baik. sahan baku seperti lem dan bahan pengawet untuk membuat plywood dan tripleks misalnya, mendapat keringanan bea masuk. Tapi seorang bankir besar di Kota, tak begitu yakin ekspor bakal ramai. Dia teringat akan devaluasi rupiah di tahun 1971. Alasan utamanya ketika itu adalah merangsang ekspor. Tapi ternyata kini masih perlu dirangsang lagi. Dia baru percaya peraturan Nopember itu bisa berhasil, kalau produksi ditingkatkan secara berarti. Adapun meningkatnya hasil ekspor tahun lalu, seperti diakui juga oleh pemerintah, terutama bukan disebabkan karena produksi meningkat. Tapi karena harga memang sedang baik di pasaran internasional. Para bankir memang termasuk yang paling merasa sakit dengan peraturan baru ini. Mereka kini terancam kesulitan likwiditas. Modal kerja mereka, seperti kata Dir-Ut Overseas Express Bank, I Nyoman Muna, berupa pinjaman dari luar. Kini, dengan tindakan devaluasi rupiah, bank swasta harus membayar hutangnya dengan lebih mahal. "Sisa keuntungan selama dua-tiga tahun habis untuk membayar hutang," katanya. Yang menarik dan boleh dianggap berani dari pemerintah adalah sasaran kedua dari peraturan itu Membuat produksi dalam negeri bisa bersaing dengan barang impor. Barang impor memang akan jatuh lebih mahal so% Berbeda dengan bahan baku dan penolong, impor bahan jadi tak diberi keringanan bea masuk dan keringanan pajak penjualan impor. Sulitnya, selama ini apa saja sebenarnya yang tak masuk dari luar negeri? Bukan cuma barang elektronik. Juga buah-buahan, seperti pisang, jeruk dan pepaya diimpor dari Taiwan. Telur juga masuk dari Singapura. Melihat kenyataan itu, suatu suasana baru akan terjadi barangkali. Kini para produsen di dalam negeri mendapat angin. Terlalu pagi untuk meramalkan bahwa suasana serta angin baru itu menimbulkan perubahan penting dalam pilihan barang konsumen, dalam jenis industri dan hal-hal lain yang menyangkut struktur perekonomian. Namun setidaknya suatu momentum telah terjadi. Pemerintah diperkirakan akan melakukan langkah seterusnya, sebelum Repelita III yang penuh tantangan berat itu. Di hari-hari mendatang, menarik untuk menyaksikan perubahan yang terjadi, terutama di sektor modern perekonomian kita. Tekad pemerintah juga suatu bekal harapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus