PRESIDEN Soeharto tiba-tiba mensekors sidang Dewan Stabilisasi
Politik dan Keamanan yang dipimpinnya, siang 15 November.
Kepada para pembantu dekatnya, Kepala Negara tak bicara banyak.
Ia hanya menerangkan, "Pemerintah akan mengumumkan
kebijaksanaan baru dalam menghadapi Repelita III.
Siang itu juga para menteri di bidang Ekonomi dan juga
Kesejahteraan Rakyat diminta hadir. Kabinet menjadi lengkap.
Untuk memperoleh tempat cukup, sidang dilanjutkan di lantai I
Bina Graha. Lalu "kebijaksanaan yang disebut Presiden pun
diuraikan. Segera sesudah itu, setelah Kabinet makan siang
bersama, sekitar jam 15.30 empat orang Menteri menemui pers.
Didampingi oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo, Menteri
Keuangan Ali Wardhana dan Menteri Perdagangan, & Kooperasi
Radius Prawiro, Menko Ekuin Widjojo Nitisastro berbicara.
Suaranya, seperti biasa perlahan tidak berkoar. Tapi yang
diucapkannya mengejutkan banyak orang. Mula-mula wartawan di
Bina Graha itu. Kemudian beberapa belas menit kemudian hampir
seluruh kalangan bisnis di masyarakat, juga di luar negeri.
Maklumlah Kebijaksanaan yang dimaklumkan itu oleh kalangan luas
disebut sebagai "devaluasi" rupiah, walaupun penjelasan
pemerintah selalu menghindari kata yang mungkin tak nyaman ini.
Garis pokok kebijaksanaan itu sudah tersebar ke mana-mana kini.
Mata uang rupiah tak lagi dikairkan dengan dollar AS dalam
bentuk kurs yang tetap. Rupiah sejak hari itu dikaitkan dengan
sejumlah mata uang dari berbagai negara. "Untuk meningkatkan
daya saing barang-barang hasil produksi Indonesia" di pasaran
dalam dan luar negeri, Bank Indonesia akan membeli dan menjual
dollar AS dengan kurs baru. Tadinya Rp 415 tiap dollar, kini Rp
625. Di hari pertama setelah pengumuman itu, kurs di beberapa
bank terpasang Rp 623,50 (membeli) dan Rp 627 (menjual).
Beberapa keputusan penting lain dicantumkan pula, antara lain
keringanan bea masuk dan pajak penjualan impor sebesar 50% bagi
bahan baku dari luar negeri. Tapi bagi khalayak ramai yang
memukau mereka adalah kenyataan baru ini bahwa nilai rupiah
turut 50% berhadapan dengan dollar AS. Dan bahwa kurs dollar
terhadap rupiah tak lagi terus-menerus tetap seperti sedia kala,
melainkan dapat menunjukkan perubahan sebagaimana halnya dengan
mata uang yang lain.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan ekonomi kita? Suatu krisis?
Nampaknya tidak. Menurut Widjojo di depan para koresponden asing
dalam serangkaian penjelasan yang dilakukan Pemerintah, tindakan
itu diambil justru "dari posisi yang kuat". Banyak angka memang
menunjukkan itu. Cadangan devisa misalnya, membaik. Meskipun
demikian, "dari posisi yang kuat" sekarang, tak berarti
Indonesia akan melangkah masuk ke tahun-tahun madu dan bunga
mawar.
Neraca perdagangan tak menampakkan prospek yang cerah seperti
masa lalu. sahkan dengan dikaitkannya rupiah dengan dollar
menyebabkan pendapatan nyata dari ekspor berkurang, akibat
merosotnya nilai dollar terhadap beberapa mata uang asing lain.
Tandatanda menaiknya harga dollar beberapa hari terakhir ini
belum meyakinkan benar rupanya.
Berbareng dengan itu, bahkan sebelumnya, sudah terasa perlunya
keprihatinan dari sektor minyak sebagai penghasil devisa. Dalam
tahun anggaran ini, ekspor minyak diperkirakan hanya naik AS$
300 juta suatu kenaikan paling kecil sejak beberapa tahun
terakhir. Maka kian santerlah suara Pemerintah untuk
meningkatkan ekspor hasil yang bukan (non-) minyak. Intinya
penghasilan devisa kita suram.
Itu misalnya disuarakan oleh Moh. Sadli, sehari sesudah serah
terima jabatan sebagai Menteri Pertambangan awal April yang
lalu. Ia menganjurkan agar tindakan penghematan devisa harus
segera dilakukan. Dia bahkan mengusulkan agar valuta asing yang
boleh dibawa turis Indonesia ke luar negeri dibatasi. Begitu
pula impor barang mewah.
Rencana peningkatan ekspor yang tak cuma mempertaruhkan minyak
misalnya pernah mendengar dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri,
Suhadi Mangkusuwondo "Suatu kebijaksanaan ekspor yang menyeluruh
dan terpadu sedang digodok." Gerak mendesak untuk merangsang
ekspor iru menunjukkan sekali lagi, bahwa Pemerintah prihatin
karena surplus neraca pembayarannya tak akan sebaik dulu. Bagi
suatu negara yang mengalami surplus AS$ 1 milyar dalam neraca
pembayarannya dua tahun yang silam, dan kini mengharapkan
surplus yang hanya sekitar AS$ 358 jura-itu pun belum tentu
tercapai --keadaan memang seperti titik yang berat. Lebih berat
lagi karena surplus yang diharapkan dari APBN 1977/1978 sebesar
AS$ 835 juta, pada akhir Maret yang lalu ternyata hanya tercapai
AS$ 650 juta.
Tak mengherankan bila dalam penjelasan Pemerintah berkali-kali
tentang "Kebijaksanaan 15 Nopember" itu, masalah dorongan ekspor
ditandaskan penuh. Gagasannya nampaknya sudah diolah beberapa
waktu dalam kepala para perencana ekonomi. Ketika IGGI bersidang
April yang lalu di Amsterdam untuk membicarakan pinjaman baru
yang diperlukan Indonesia, gagasan ini sudah dibicarakan
rentunya. Laporan rahunan Dana Moneter Internasional (IMF)
tentang ekonomi Indonesia yang dibacakan di sidang itu misalnya
menyebut: "Kalau sektor non-minyak harus kuat dalam jangka
panjang, ia harus punya daya saing di pasar internasional."
Kalimat itu memang hanya bersifat umum -- dan siapapun mudah
mengucapkannya. Tapi nampaknya IMF sadar, bahwa jalan lain buat
meningkatkan ekspor Indonesia -- selain devaluasi rupiah --
sudah terbatas pilihannya. Penurunan pajak ekspor, misalnya, tak
bisa terus-terusan. Maka kesimpulan yang bisa diambil dari
laporan itu ialah, suatu tindakan devaluasi rupiah bisa
merupakan pilihan paling repat saat ini, walaupun sakit rasanya.
Beberapa waktu lamanya, para penelaah ekonomi di dalam negeri
sendiri juga banyak bicara tentang "rupiah yang nilainya
terhadap dollar terlalu tinggi." Dan bahkan desas-desus tentang
devaluasi serta dilepaskannya kaitan rupiah dari dollar sudah
terdengar santer di sekitar Maret dan April rahun ini.
Namun saat itu, pemerintah dengan tandas membantah. Dalam
wawancara khusus dengan TEMPO, misalnya, Menteri Keuangan Ali
Wardhana menyebutkan alasan kenapa tindakan seperti itu tak akan
diambilnya. "Keadaan kita sekarang jauh lebih baik dalam hal
cadangan devisa" (TEMPO, 22 April 1978).
Agak menarik, mungkin mengherankan, bahwa justru dengan faktor
kuatnya cadangan devisa sebagai salah satu alasan, kini Widjojo
Nitisastro menjelaskan "Kebijaksanaan 15 Nopember". Cadangan
devisa akhir September ini menjadi sekitar AS$ 2,5 milyar --
atau bertambah dengan AS$ 290 juta dari April yang silam.
Bantahan tandas Pemerintah di bulan April yang bertentangan
dengan kebijaksanaan yang diambil di bulan Nopember barangkali
bisa berakibat kurangnya kepercayaan orang kepada kata-kata para
ahli ekonomi Pemerintah. Tapi toh banyak para penelaah ekonomi
yang pada dasarnya senang dengan tindakan Nopember -- terutama
mereka yang sejak semula bilang perlunya penyesuaian kurs rupiah
dan dilepaskannya kaitan mata uang kita dari dollar. Ada pula
yang menganggap bahwa tindakan memang baru dapat diambil kali
ini, karena inilah saat paling aman menjelang masuknya
Indonesia ke Repelita III.
Paling aman bisa dilihat dari segi politik kritik dan protes
kepada kebijaksanaan pembangunan dan lain-lain sudah mereda.
Apalagi Pemerintah merasa dapat dukungan luas. Sebab kali ini
menanggung beban yang cukup berat, Pemerintah melangkah ke
Repelita III seraya memperhatikan kritik-kritik sebelumnya,
yakni dengan menekan masalah "pemerataan" secara serius.
Paling aman juga dilihat dari segi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
kini suda dicapai dengan tingkat rata-rata 7% setahun. Di pihak
lain, sesudah mengalami gejolak inflasi sebesar 40% tahun
174, kini stabilitas nampaknya sudah dicapai tingkat inflasi
menurun secara menyolok, khususnya tahun ini. Oktober kemarin,
indeks biaya hidup hanya naik dengan 0,7%. Dengan kata lain,
seperti dikemukakan Widjojo dalam keterangannya di DPR, inflasi
selama 1978 sampai Oktober ini cuma mencapai 3%, jauh di bawah
9,2% dalam periode yang sama tahun lalu (lihat keterangan
Widjojo).
Bagaimana pun juga, kebijaksanaan Nopember adalah suatu tindakan
yang dianggap "berani" oleh kalangan asing. Harian The Asian
Wall Street Journal dalam berita utamanya akhir pekan lalu
misalnya menyebut devaluasi rupiah kini menunjukkan kemauan para
perencana ekonomi Indonesia untuk "membuat keputusan yang berat
tapi vital." Seorang diplomat asing dikutip menyatakan tindakan
kali ini menunjukkan tekad untuk "menggigit si peluru".
Tapi tak semua kalangan asing gcmbira. Terutama dari kalangan
bisnis Jepang. Keiichi Oguro dari JETRO (organisasi perdagangan
luar negeri Jepang) di Jakarta misalnya kepada TEMPO menyatakan
bahwa "devaluasi rupiah sebanyak 50% itu terlalu banyak." Ia
berkata pula bahwa tindakan itu seharusnya ditempuh beberapa
tahun sebelumnya. Maksudnya, agar efek pukulannya tak sesakit
sekarang.
Ini dibenarkan oleh S. Saito, Direktur PT Bank Perdana, kongsi
Jepanglndonesia. "Para investor Jepang merasa terkena dua kali,"
katanya. "Sebelum devaluasi rupiah, yen memang sudah naik
nilainya. Kini orang Jepang harus menambah dana rupiahnya dengan
50% buat membayar hutang-hutangnya."
Memang kalangan perusahaan Jepang yang merupakan penanam modal
terbesar di Indonesia (sekitar 40% dari semuanya, sebanyak 220
investasi dalam nilai uang AS$ 2,1 milyar, cukup tak enak.
Bahan-bahan konstruksi dan peralatan yang harus diimpor akan
melonjak ongkosnya dalam rupiah, sementara laba dari operasinya
di sini akan berkurang bila dialihkan ke dalam yen menurut kurs
sekarang.
Khususnya, secara pasti bidang perakitan mobil dan motor yang
umumnya modal Jepang akan kena paling telak, di samping
perusahaan tekstil. Tak kurang dari 101.000 mobil, truk dan bus
dalam bentuk CKD (pretelan) dirakit di Indonesia selama 1977.
Dulu itu karena perkiraan bahwa pasaran mereka akan cerah di
Indonesia. Selain lebih murah dibandingkan dengan mobil keluaran
AS dan Eropa, kendaraan asal Jepang itu juga mudah suku
cadangnya.
Tapi zaman manis itu kini bisa berubah. Dua hari setelah
pengumuman Nopember itu, para penyalur mobil Jepang menyetop
penjualan. "Untuk sementara, sampai ada harga baru," kata agen
mobil Datsun di Jl. Pecenongan, Jakarta. Tapi harga baru, yang
berarti jauh lebih mahal, bisa berakibat kurangnya pembeli. Lain
halnya bila CKD itu bisa ditafsirkan sebagai bahan baku.
Perembugan tentang itu kabarnya sedang gencar dilakukan pihak
Jepang dengan para pemimpin ekonomi di sini.
Tapi sasaran pemerintah kini sudah jelas. Yang pertama ingin
dicapai dengan peraturan 15 Nopember adalah membikin ekspor
Indonesia lebih kuat bersaing di pasaran dunia. Selama ini
barang-barang Indonesia dikenal mahal di luar negeri, hingga
kalah bersaing. Praktek pungutan liar yang masih berlangsung,
tingginya biaya transpor ke pelabuhan akibat masih kurangnya
prasarana, merupakan hal yang antara lain membuat ekspor kita
sulit.
Kini para eksportir seakan mendapat bonanza. Karena untuk setiap
dollar yang dikeluarkan seorang eksportir mendapat Rp 625. Meski
begitu ada saja yang tidak segera mcrasa beruntung. Sjamsir
Rachman, eksportir karet terkenal di Jakarta, tak melihat
peraturan Nopember itu akan cepat membawa buah buat kaumnya.
"Sama saja," katanya pekan lalu. "Bahan baku yang dibeli
eksportir sudah ikut naik." Menurut Sjamsir, yang langsung
beruntung adalah petani karet dan pemilik perkebunan. Sebab,
harga karet slabs, yang merupakan bahan baku untuk pengolahan
karet bongkah (crumb rubber), kini naik harganya.
Kalangan eksportir kayu yang tergabung dalam Masyarakat
Perkayuan Indonesia (MPI) tampaknya masih ingin lihat-lihat
dulu. Mereka tampaknya masih sangsi, apakah prosedur ekspor dan
berbagai pungutan liar -- dua hal pengganjel ekspor -- bisa
disederhanakan oleh pemerintah. Tapi mereka gembira karena
ekspor kayu lapis kini punya harapan lebih baik. sahan baku
seperti lem dan bahan pengawet untuk membuat plywood dan
tripleks misalnya, mendapat keringanan bea masuk.
Tapi seorang bankir besar di Kota, tak begitu yakin ekspor bakal
ramai. Dia teringat akan devaluasi rupiah di tahun 1971. Alasan
utamanya ketika itu adalah merangsang ekspor. Tapi ternyata kini
masih perlu dirangsang lagi. Dia baru percaya peraturan Nopember
itu bisa berhasil, kalau produksi ditingkatkan secara berarti.
Adapun meningkatnya hasil ekspor tahun lalu, seperti diakui juga
oleh pemerintah, terutama bukan disebabkan karena produksi
meningkat. Tapi karena harga memang sedang baik di pasaran
internasional.
Para bankir memang termasuk yang paling merasa sakit dengan
peraturan baru ini. Mereka kini terancam kesulitan likwiditas.
Modal kerja mereka, seperti kata Dir-Ut Overseas Express Bank, I
Nyoman Muna, berupa pinjaman dari luar. Kini, dengan tindakan
devaluasi rupiah, bank swasta harus membayar hutangnya dengan
lebih mahal. "Sisa keuntungan selama dua-tiga tahun habis untuk
membayar hutang," katanya.
Yang menarik dan boleh dianggap berani dari pemerintah adalah
sasaran kedua dari peraturan itu Membuat produksi dalam negeri
bisa bersaing dengan barang impor. Barang impor memang akan
jatuh lebih mahal so% Berbeda dengan bahan baku dan penolong,
impor bahan jadi tak diberi keringanan bea masuk dan keringanan
pajak penjualan impor.
Sulitnya, selama ini apa saja sebenarnya yang tak masuk dari
luar negeri? Bukan cuma barang elektronik. Juga buah-buahan,
seperti pisang, jeruk dan pepaya diimpor dari Taiwan. Telur juga
masuk dari Singapura. Melihat kenyataan itu, suatu suasana baru
akan terjadi barangkali. Kini para produsen di dalam negeri
mendapat angin.
Terlalu pagi untuk meramalkan bahwa suasana serta angin baru itu
menimbulkan perubahan penting dalam pilihan barang konsumen,
dalam jenis industri dan hal-hal lain yang menyangkut struktur
perekonomian. Namun setidaknya suatu momentum telah terjadi.
Pemerintah diperkirakan akan melakukan langkah seterusnya,
sebelum Repelita III yang penuh tantangan berat itu.
Di hari-hari mendatang, menarik untuk menyaksikan perubahan yang
terjadi, terutama di sektor modern perekonomian kita. Tekad
pemerintah juga suatu bekal harapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini