Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Khalayak ramai: apa artinya ini ?

Akibat keputusan pemerintah mendevaluasikan rupiah, berbagai barang kebutuhan harian naik. bagi petani, kenaikan harga gabah hanya sekedar pelipur lara karena harga kebutuhan pokok naik lebih tinggi. (eb)

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LALULINTAS perdagangan di kota Medan praktis macet. Sebelumnya, dua hari setelah Menko Ekuin Widjojo Nitisastro mengumumkan perceraian rupiah dari dollar, keadaan masih biasa. Yang hangat hanya pergunjingan mengenai dipasangnya harga-harga baru -- akibatnya nilai rupiah terhadap dollar dam beberapa mata uang asing lainnya. Sekitar jam 15.30 tanggal 17 November toko-toko di hampir semua pusat perbelanjaan kota itu, termasuk di Belawan, rutup serentak. Tindakan tutup toko itu, seperti di laporkan koresponden Zakaria M. Passe, menimbulkan berbagai tafsiran. Ada yang menganggap itu ulah para pedagang saja agar bisa mengambil nafas untuk menyesuaikan herga jualannya. Ada pula yang berspekulasi "kok seperti ada yang mengomando." Dan tiba-tiba timbul desas desus siang itu ada toko yang mau diserang. Suara demikian juga terdengar santer di Surabaya dan Jakarta, meski cuma lewat telepon. Dengan segera di Jakarta dan di Medan pihak yang berwajib mengerahkan penjagaan. Suasana pun terasa aman sampai sekarang. Kantor berita Reuter kemudian mengabarkan ada toko-toko di Medan diserbu -- tapi itu rupanya kabar kosong yang ditelan mentah-mentah oleh koran Singapura The Straits Times. Yang belum aman adalah sang harga. Bukan cuma yang impor atau yang asembling sini naik. serbagai barang kebutuhan sehari-hari, termasuk yang tak punya kaitan apapun dengan impor, ikut pasang harga baru. Di Jakarta, telor ayam negeri yang sebekm pengumuman devaluasi berharga Rp 500 sekilo, menjadi Rp 800. Artinya naik 60%. Gula pasir yang dilarang naik, ternyata ikut menyesuaikan diri dari Rp 225 menjadi sampai Rp 300 sekilo. Bahkan beras pun yang gencar didrop oleh Bulog di pasaran, ikut-ikutan minta tambahan Rp 5 sampai Rp 20 sekilo eceran. Tapi itu terbatas pada tiga dari 11 jenis beras yang diperdagangkan di Pasar Induk Cipinang. Di Medan terjadi hal serupa. Barang-barang eks impor rata-rata meningkat antara 30 sampai 50%. Tapi yang sampai akhir pekan lalu terasa menggila adalah harga emas. Sehari sebelum pengumuman, logam mulia itu di Medan masih Rp 2.925 per gram (24 karat). Kamis lalu melonjak Rp 4.300, dan sehari kemudian naik menjadi Rp 4.400. Toko-toko emas di Jakarta banyak yang buka tapi tanpa barang. Pedagang beras eceran dan grosir juga ikut kumat di Medan. Meskipun gudang Dolog dinyatakan terbuka 24 jam, dan harga beras medium dipertahankan, tapi misalnya harga beras Arias no. 1 dari Rp 197 sudah ada yang menjualnya Rp 210 per kg. Di beberapa tempat bahkan ada juga yang menghantam setinggi Rp 300 per kg. Kakanwil Departemen Perdagangan Sumatera Utara, A. Jalil Matondang, mengakui "harga bahan-bahan pokok mengalami kenaikan." Di kota yang tidak begitu besar dan boleh disebut jauh dari "pusat", seperti Purwokerto, kenaikan harga sudah terjadi Kamis. Namun ini terbatas pada barang-barang yang tergolong "kentara dari luar negeri." Misalnya harga barang elektronik radio, film dan TV, ratarata naik 50%. "Itu patokan sementara sesuai dengan pesan dari Jakarra," kata seorang pedagang. "Kalau memang serius bisa naik lagi." Tapi ada juga pedaang yang hari itu tetap menjual TV-nya dengan harga lama, Rp 47.200 untuk 12 inci. Di Yogya, toko-toko juga banyak yang tutup sehari sesudah pengumuman yang mengejutkan itu. Terutama toko emas. Toko Sami Jaya, yang terbesar dan dikenal sebagai toko-serba-ada di keramaian Malioboro masih tutup sampai Jum'at pekan lalu. Petugas parkir di depannya mengatakan, karyawan di dalam masih sibuk. "Kerja lembur terus merubah harga," kata seorang yang mengetahui. Berapa naiknya? "Semuanya naik antara 30 sampai 50%," begitu perkiraannya. Naiknya harga barang dan ramainya pembicaraan rentang ini, menyebabkan orang perlu memberi penenang. Dr Soediyono, Direktur Pusat Penelitian Ekonomi FE UGM, beranggapan, kenaikan harga yang 50% itu hanyalah "goncangan psikologis" para pedagang. "Tapi kalau daya beli konsumen relatif tidak meningkat, toh barang tidak terbeli. Padahal pedagang terikat keinginan barang cepat laku agar uang tidak berhenti," kata Soediyono pada Kedaulatan Rakyat Yogya. Dia berharap sebental lagi akan tercapai harga baru yang kenaikannya tak sampai 50%, tapi "sekedarnya" saja. Berapa kenaikan harga yang "sekedarnya" itu? Atau "dalam batas-batas kewajaran," seperti kata Menteri Widjojo? Masih harus dilihat. Tapi yang pasti kalau harga-harga baru nanti mencapai bentuknya -- katakanlah rata-rata naik 30% -- golongan yang berpenghasilan tetap akan merasa tersedot dompetnya. Untunglah bisa diharapkan harga beras kurang lebih akan tetap bisa dikendalikan. Beberapa saat sebelum dilansirnya pengumuman baru itu, seluruh gudang beras Bulog di Indonesia sudah dipenuhi dengan kebutuhan yang paling pokok itu. Kalaupun terjadi kenaikan itu akan kembali dibanting, setelah Bulog melakukan droping. Namun para pegawai negeri harus siap kembali "prihatin". Seperti diakui seorang pejabat eselon satu sebuah departemen, "pasti mereka harus ikat pinggang untuk waktu yang agak lama." Gaji mereka dengan sendirinya tak ikut naik. Kalaupun itu terjadi, mungkin sekali harus menunggu beberapa bulan lagi. "Mungkin juga baru April tahun depan, bersamaan dengan dimulainya Pelita III," kata pejabat tadi. Kemungkinan naik tidaknya gaji memang masih menjadi tanda tanya. Pemerintah, seperti kata seorang pejabat lain, tak ingin melihat adanya pengeluaran ekstra yang bisa ikut menyulut tingkat inflasi. Tapi jangan putus asa: para pegawai negeri mungkin masih ada harapan untuk ditambah gajinya. Bagaimana dengan jumlah terbesar yang menghuni negeri ini petani? Mereka memang baru saja senang, karena pemerintah sudah memutuskan menaikkan harga pembelian gabah keringnya pada tingkat KUD dengan Rp 10 sekilo. Suatu kenaikan yang cukup besar, mengingat tahun lalu cuma naik Rp 4 sekilo. Tapi tidakkah pelipur lara buat petani, yang kebanyakan tinggal di Jawa yang padat itu, cuma sebentar? Tambahan penghasilan mereka itu bisa saja dengan sendirinya ditelan arus naiknya kebutuhan sehari-hari. Tentu saja lumayan bahwa harga pembelian gabah kering naik. Tapi, seperti diakui seorang ahli ekonomi yang dekat dengan kalangan pemerintah, "lapisan orang kecil selalu terkena 'kan?" Itu tak berarti yang lapisan menengah dan atas -- mereka yang menyimpan kelebihan uangnya dalam tupiah yang suka beli barang impor, yang senang belanja ke luar negeri -- tidak terpukul. Bahkan seorang ahli ekonomi dari Universitas Indonesia menyatakan: "Yang paling terkena adalah cuma 10 penduduk -- mereka yang berpenghasilan tinggi." Bisa jadi. Mereka yang punya simpanan, dan tidak sempat ditukarkan dalan uang asing, pasti akan merasa duitnya susut separoh. Dan kalau yang "10%, itu ingin melanjutkan gaya hidup impor mereka harus membayar paling sedikit dua kali lipat. Tapi bagaimana dengan lapisan menengah ke bawah? Atau golongan yang memiliki simpanan Rp 1 sampai Rp 10 juta, misalnya? Kedudukan mereka memang serba sulit. Dipakai untuk berdagang miliknya terasa kecil. Tapi dibiarkan disimpan dalam bank, takut kalau makin susut saja. Ada anggapan simpanan yang kecil-kecilan itu ditukarkan dalam dollar saja. Itu, antara lain, yang menimbulkan adanya semacam "rush" hingga banyak bank kewalahan. Untung sikap yang begitu sudah tenang kembali mulai Senin kemarin. Barangkali yang paling baik, menurut sebagian kalangan bisnis, adalah membiarkan sebagian dari simpanan itu dalam bentuk rupiah. Sekalipun sang rupiah sudah "disumbangkan", tapi tidak dilepaskan begitu saja pada pasaran. "Managed floating," kata Widjojo. Dengan kata lain, kurs Rp 625 per satu US$ itu akan berlaku untuk waktu yang cukup lama. Kalau tak berubah, "itu hanya kecil saja, tak melewati batas 10 point, " kata seorang bankir. "Toh pemerintah tak ingin mempertajam devaluasi ini, hingga membuat orang makin tak percaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus