DUA hari setelah Rupiah diambangkan, Menko Ekuin Widjojo
Nitisastro tampil di DPR ia tampak letih. Mungkin karena Prof.
Widjojo, seperti kata seorang yang mengetahui, harus kerja
lembur sampai subuh Jum'at malam lalu. Banyak hal diakui Widjojo
ketika membawakan keterangan Pemerintah tentang 'Kebijaksanaan
15 Nopember' itu. Beberapa petikanù Sejak 1971 sampai akhir
Oktober 1978 laju inflasi secara keseluruhan meningkat dengan
237%. Namun dalam 10 bulan terakhir ini -- sejak Januari sampai
dengan Oktober -- laju inflasi hanya 3%. Laju inflasi yang
tinggi selama 1971-1978 tadi membawa akibat sangat merosotnya
daya saing ekonomi Indonesia, baik di dalam maupun di luar
negeri.
Di dalam negeri produksi kita mengalami saingan berat dari
barang impor. Di luar negeri barang ekspor kita tidak mampu
bersaing dengan barang sejenis yang dilemparkan di pasaran dunia
oleh negan-negara lain. Barang produksi dalam negeri kalah
bersaing dengan barang serupa yang diimpor. karena nngkat
inflasi di negara dari mana kita mengimpor barang radi lebih
rendah jika dibandingkan dengan ting kat inflasi di sini.
Maka ekspor barang-barang kita di pasaran dunia -- seperti bahan
pertanian, bahan pertambangan dan sebagainya -- juga kalah
bersaing harga dengan barang sejenis yang dihasilkan negara
lain.
Keadaan ini jelas tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, sebab
akan mengakibatkan merosotnya produksi dengan segala rangkaian
akibat yang luas.
Adapun dewasa ini Pemerintah menilai keadaan ekonomi kita cukup
mempunyai daya tahan, hingga sanggup menghadapi perobahan baru
yang diperlukan. Beberapa petunjuk: Menurut perkiraan sementara
produksi beras tahun ini akan mencapai 17,5 juta ton, sedang
produksi beras dalam 1977 mencapai sekitar 15,9 juta ton.
Artinya, ada kenaikan produksi lebih dari 10% dalam jangka
setahun. Persentase kenaikan ini sungguh besar jika dibanding
dengan persentase kenaikan sekitar 0,5% yang terjadi tahun
sebelumnya. Kenaikan produksi 10% ini adalah kenaikan terbesar
yang pernah dialami dalam produksi pangan Indonesia selama ini.
Gambaran lain yang menunjukkan bertambah baiknya-ekonomi
Indonesia adalah cadangan devisa kita, yang dewasa ini mencapai
sekitar US$ 2,5 milyar. Keadaan ini cukup menggembirakan karena
di tahuntahun lampau, terutama akibat kesulitan keuangan
Pertamina, cadangan devisa kita yang pernah mencapai sekitar US$
1,8 milyar, pada waktu itu menurun sampai hanya sekitar US$ 500
juta saja.
Harapan terhadap ekspor minyak bumi tidaklah besar. Produksi dan
ekspor minyak bumi akan naik di tahun-tahun mendatang, namun
peningkatannya relatif sangat kecil.
Karena itu segala usaha harus dikerahkan untuk memperbesar
ekspor barang lain di luar minyak bumi. Kita bukan saja harus
memperbesar ekspor hasil pertanian dan hasil pertambangan, tapi
juga harus memperbesar ekspor hasil industri yang selama
Repelita II ini telah meningkat produksinya. Beberapa hasil
industri yang dewasa ini telah mampu kita ekspor antara lain
semen, pupuk, pipa besi dan berbagai macam barang hasil industri
lainnya.
Penelitian yang mendalam menunjukkan bahwa lemahnya daya saing
kita antara lain karena nilai tukar rupiah dewasa ini kurang
wajar terhadap mata uang lainnya.
Dengan kebijaksanaan baru ini, dikaitkan nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika. Sebagai gantinya nilai tukar rupiah
dikaitkan dengan kelompok mata uang dari berbagai negara. Unsur
penting berikut kebijaksanaan baru ini adalah tukar rupiah
terhadap kelompok mata uang asing itu dimungkinkan untuk
mengambang. Namun pengambangan itu tidak dibiarkan
melonjak-lonjak secara tajam karena keadaan pasar belaka. Dengan
demikian diharapkan dunia usaha akan tetap mempunyai kepastian
terhadap rencanarencana kegiatannya dalam jangka waktu yang
cukup panjang.
Kebebasan lalulintas devisa tetap dijamin seperti keadaannya
selama ini. Artinya Bank Indonesia senantiasa bersedia membeli
dan menjual kepada umum mata uang asing dalam jumlah yang tidak
dibatasi.
Salah satu persoalan yang penting adalah ketepatan memilih
waktu. Jika langkah baru tidak diambil sekarang, maka dalam
tahun-tahun mendatang kita tetap akan dipaksa oleh keadaan untuk
mengadakan perobahan dalam nilai tukar mata uang rupiah. Padahal
pada waktu itu -- jika tidak diambil langkah perobahan dari
sekarang -keadaan ekonomi kita akan makin lemah, terutama karena
cadangan devisa tidak sekuat dewasa ini. Seperti sudah
dijelaskan, ekspor tidak akan dapat meningkat seperti
diharapkan, sedang impor akan tetap besar.
Harga barang impor yang dengan sengaja ditinggikan akan
mendorong masyarakat untuk membeli barang produksi dalam negeri
yang harganya relatif lebih murah. Ini dimungkinkan karena
pemerintah tidak memberi keringanan bea masuk bagi impor barang
jadi, sebaliknya bea masuk impor berbagai jenis bahan baku dan
bahan penolong untuk industri dalam negeri akan makin
diringankan.
Kebijaksanaan baru ini sekaligus juga digunakan pemerintah untuk
mewujudkan pola hidup sederhana seperti ditunjukkan oleh GBHN
Dengan perobahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing,
harga barang mewah yang diimpor akan makin mahal. Ini jelas
tidak akan merugikan rakyat banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini