Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kini Tarifnya Jadi Soal

Guna menarik langganan, pln menawarkan biaya penyambungan yang boleh dicicil. tetapi para pengusaha menganggap tarif pln terlalu mahal dibandingkan dengan memakai disel. listrik pln juga sering mati. (eb)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERUM Listrik Negara, karena tenaganya sudah jauh meningkat, kini menghadapi persoalan menjual. Terutama untuk industri, tampaknya PLN masih perlu banyak menjelaskan bahwa tenaganya lebih murah. Jika ditanya pada kaum pengusaha, umumnya menjawab bahwa tarif PLN mahal. Persoalan dimulai 10 tahun yang lalu, ketika PMA dan PMDN mulai berdatangan mendirikan pabrik, sedang PLN masih lemah dengan dayanya yang terpasang cuma 65 MW. Maka akibatnya ialah kaum pengusaha terpaksa memasang diesel, satuan pembangkit listrik sendiri, yang disebut captive power. Daya non-PLN ini, walaupun kecil-kecil, keseluruhannya (per 1 April 1977) sudah mencapai 1837 MW. Sementara itu, dengan adanya Repelita, PLN pun memiliki daya terpasang sebesar 1376 MW pada waktu ini, dan jangkauannya juga makin luas. Jangkauan PLN ini sudah mencapai banyak perusahaan dan pusat industri yang tadinya telah memiliki satuan pembangkit listrik sendiri. Masih hanyak di antara mereka yang belum berlangganal PLN walaupun sudah dijangkau oleh PLN. Hal demikian bagi PLN secara komersiil tidak menggembirakan. Untuk wilayah distribusi Jakarta & Tangerang, misalnya, daya terpasang PLN yang belum terjual adalah sebanyak 200 MW. Surplus daya sebesar itu oleh PLN diharapkan untuk dijual, tentu saja, terutama kepada industri, hotel besar dan bangunan pencakar langit yang bertumbuhan di DKI dan sekitarnya. Untuk itu, SK Gubernur DKI Jaya no 329/1977 sudah membantu PLN SK itu melarang pemakaian captive power - karena alasan "keserasian lingkungan" -bila PLN sudah menjangkau tempat tersebut, tapi kelonggaran masih diberikan kepada pemakainya, jika diperlukan betul, dengan izin khusus maksimal 5 tahun. PLN sendiri tanpa disangsikan lagi memang sudah siap melayani langganan. Pelayanannya tak akan berbelit-belit seperti dulu. Sejak 2 tahun lalu, demikian Dir-Ut Prof. ir. Suryono, PLN "sudan memasukkan persnelling kedua." Ini berarti PLN mulai berjalan agak cepat. Direktur Pengusahaan PLN, ir. Bambang Sarah, mengatakan akan manal buat pengusaha bila memakai diesel jika diimpor dengan bea masuk 40%, sedang biaya perawatannya pun tinggi. Tapi banyak pengusaha yang memperoleh fasilitas PMDN dan PMA bisa mengimpor diesel itu tanpa bea masuk. Diesel itu bisa pula dijadikan mereka sebagai agunan untuk mendapat kredit bank. Bila Kena Petir Guna menarik langganan, PLN menawarkan BP (biaya penyambungan) yang boleh dicicil. Tarifnya untuk dunia usaha ialah antara Rp 19 dan Rp 21 per kWh (dibandingkan untuk rumahtangga di kota besar sekitar Rp 26 dan Rp 30). Namun kaum pengusaha, menurut Dir-Ut Djamsu Papan dari PT Pupar (Kelompok Putera), hanya membayar Rp 10 per kWh dengan diesel. Jadi, tarif PLN dianggapnya terlalu mahal. Di Singapura, demikian 11 Soehindrijo dari PT Philips Ralin Electronics, tarif listrik untuk industri setelah dirupiahkan cuma Rp 9 per kWh. "Bagaimana produk kita bisa bersaing di luar negeri," tanyanya. Pihak PLN cuma bisa menjelaskan bahwa Singapura (daya terpasang 2000 MW) lebih beruntung karena unit pemb angkitnya terpusat di suatu pulau kecil sedang unit PLN terpencar dan tersebar luas dari Aceh sampai Irian Jaya. alam situasi terpencar itu, dengan sendirinya PLN terkena biaya lebih tinggi. Tambahan pula, daya terpasang PLN sejumlah 1376 MW adalah relatif rendah. Dibandingkan dengan Lropa, tarif PLN lebih mahal lagi sampai 4 - 5 kali, kata Dir-Ut Sudardjo yang memimpin PT Irosteel dan PT Baja Indonesia Utama. "Kalkulasi pabrik kita jadi tinggi," katanya. Direktur Hamizar Hamid dari PT Talang Tirta yang mengh asilkan pipa di Jakarta berpendapat bahwa keuntungan memakai PLN ialah "kita tidak pusing-pusing" memelihara diesel sendiri. Tapi dianggapnya pabrik masih perlu memakai diesel cadangan walaupun berlangganan PLN. Kenapa? Jawabannya dari Rudolf Danuasmolo, ketua Asosiasi Industri Roti Biskuit & Mie (Robim): "Aliran PLN sering terganggu. Bila ada petir, listriknya mati." Meskipun begitu, Danuasmolo berpendapat bhnwa "lucu sekali" kalau masih ada pabrik memakai diesel sendiri dalam satu kota Metropolitan. Selain tarif tinggi, kaum pengusana juga keberatan dengan persyaratan PLN supaya biaya pembangunan gardu listrik dipikul oleh pihak langganan. Untuk gardu itu, langgaran PLN terpaksa menyediakan tanah pula. Antara lain 15 perusanaan minuman ringan yang tergabung dalam ASRIM, menurut ketua Eddy Yusuf, mengeluh sekali karenanya. PT Djaya Beverages Bottling Co. yang membotolkan Coca-Cola, Fanta dan Sprite menaksir gardunya akan dibebani Rp 84,7 juta untuk 1730 kva yang kemudian menjadi milik PLN. Ditambah pula dengan ongkos untuk gardu milik perusahaan lebih kurang Rp 35 juta. Keduanya berjumlah Rp 119,7 juta akan merupakan investasi berat bagi perusahaan, kata H. Handoyo, direktur PT Djaya Bevlrages itu. "Di samping itu, perusahaan harus membayar kepada PLN kurang lebih Rp 10 juta perbulan lebih mahal daripada ongkos memakai diesel sendiri."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus