PERUM Listrik Negara, karena tenaganya sudah jauh meningkat,
kini menghadapi persoalan menjual. Terutama untuk industri,
tampaknya PLN masih perlu banyak menjelaskan bahwa tenaganya
lebih murah. Jika ditanya pada kaum pengusaha, umumnya menjawab
bahwa tarif PLN mahal.
Persoalan dimulai 10 tahun yang lalu, ketika PMA dan PMDN mulai
berdatangan mendirikan pabrik, sedang PLN masih lemah dengan
dayanya yang terpasang cuma 65 MW. Maka akibatnya ialah kaum
pengusaha terpaksa memasang diesel, satuan pembangkit listrik
sendiri, yang disebut captive power. Daya non-PLN ini, walaupun
kecil-kecil, keseluruhannya (per 1 April 1977) sudah mencapai
1837 MW. Sementara itu, dengan adanya Repelita, PLN pun memiliki
daya terpasang sebesar 1376 MW pada waktu ini, dan jangkauannya
juga makin luas. Jangkauan PLN ini sudah mencapai banyak
perusahaan dan pusat industri yang tadinya telah memiliki satuan
pembangkit listrik sendiri.
Masih hanyak di antara mereka yang belum berlangganal PLN
walaupun sudah dijangkau oleh PLN. Hal demikian bagi PLN secara
komersiil tidak menggembirakan. Untuk wilayah distribusi Jakarta
& Tangerang, misalnya, daya terpasang PLN yang belum terjual
adalah sebanyak 200 MW.
Surplus daya sebesar itu oleh PLN diharapkan untuk dijual, tentu
saja, terutama kepada industri, hotel besar dan bangunan
pencakar langit yang bertumbuhan di DKI dan sekitarnya. Untuk
itu, SK Gubernur DKI Jaya no 329/1977 sudah membantu PLN SK itu
melarang pemakaian captive power - karena alasan "keserasian
lingkungan" -bila PLN sudah menjangkau tempat tersebut, tapi
kelonggaran masih diberikan kepada pemakainya, jika diperlukan
betul, dengan izin khusus maksimal 5 tahun.
PLN sendiri tanpa disangsikan lagi memang sudah siap melayani
langganan. Pelayanannya tak akan berbelit-belit seperti dulu.
Sejak 2 tahun lalu, demikian Dir-Ut Prof. ir. Suryono, PLN
"sudan memasukkan persnelling kedua." Ini berarti PLN mulai
berjalan agak cepat.
Direktur Pengusahaan PLN, ir. Bambang Sarah, mengatakan akan
manal buat pengusaha bila memakai diesel jika diimpor dengan
bea masuk 40%, sedang biaya perawatannya pun tinggi. Tapi banyak
pengusaha yang memperoleh fasilitas PMDN dan PMA bisa mengimpor
diesel itu tanpa bea masuk. Diesel itu bisa pula dijadikan
mereka sebagai agunan untuk mendapat kredit bank.
Bila Kena Petir
Guna menarik langganan, PLN menawarkan BP (biaya penyambungan)
yang boleh dicicil. Tarifnya untuk dunia usaha ialah antara Rp
19 dan Rp 21 per kWh (dibandingkan untuk rumahtangga di kota
besar sekitar Rp 26 dan Rp 30). Namun kaum pengusaha, menurut
Dir-Ut Djamsu Papan dari PT Pupar (Kelompok Putera), hanya
membayar Rp 10 per kWh dengan diesel. Jadi, tarif PLN
dianggapnya terlalu mahal.
Di Singapura, demikian 11 Soehindrijo dari PT Philips Ralin
Electronics, tarif listrik untuk industri setelah dirupiahkan
cuma Rp 9 per kWh. "Bagaimana produk kita bisa bersaing di luar
negeri," tanyanya. Pihak PLN cuma bisa menjelaskan bahwa
Singapura (daya terpasang 2000 MW) lebih beruntung karena unit
pemb angkitnya terpusat di suatu pulau kecil sedang unit PLN
terpencar dan tersebar luas dari Aceh sampai Irian Jaya. alam
situasi terpencar itu, dengan sendirinya PLN terkena biaya lebih
tinggi. Tambahan pula, daya terpasang PLN sejumlah 1376 MW
adalah relatif rendah.
Dibandingkan dengan Lropa, tarif PLN lebih mahal lagi sampai 4 -
5 kali, kata Dir-Ut Sudardjo yang memimpin PT Irosteel dan PT
Baja Indonesia Utama. "Kalkulasi pabrik kita jadi tinggi,"
katanya.
Direktur Hamizar Hamid dari PT Talang Tirta yang mengh asilkan
pipa di Jakarta berpendapat bahwa keuntungan memakai PLN ialah
"kita tidak pusing-pusing" memelihara diesel sendiri. Tapi
dianggapnya pabrik masih perlu memakai diesel cadangan walaupun
berlangganan PLN. Kenapa? Jawabannya dari Rudolf Danuasmolo,
ketua Asosiasi Industri Roti Biskuit & Mie (Robim): "Aliran PLN
sering terganggu. Bila ada petir, listriknya mati." Meskipun
begitu, Danuasmolo berpendapat bhnwa "lucu sekali" kalau masih
ada pabrik memakai diesel sendiri dalam satu kota Metropolitan.
Selain tarif tinggi, kaum pengusana juga keberatan dengan
persyaratan PLN supaya biaya pembangunan gardu listrik dipikul
oleh pihak langganan. Untuk gardu itu, langgaran PLN terpaksa
menyediakan tanah pula. Antara lain 15 perusanaan minuman ringan
yang tergabung dalam ASRIM, menurut ketua Eddy Yusuf, mengeluh
sekali karenanya.
PT Djaya Beverages Bottling Co. yang membotolkan Coca-Cola,
Fanta dan Sprite menaksir gardunya akan dibebani Rp 84,7 juta
untuk 1730 kva yang kemudian menjadi milik PLN. Ditambah pula
dengan ongkos untuk gardu milik perusahaan lebih kurang Rp 35
juta. Keduanya berjumlah Rp 119,7 juta akan merupakan investasi
berat bagi perusahaan, kata H. Handoyo, direktur PT Djaya
Bevlrages itu. "Di samping itu, perusahaan harus membayar
kepada PLN kurang lebih Rp 10 juta perbulan lebih mahal daripada
ongkos memakai diesel sendiri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini