BAGAIMANA mengekspor ke Indonesia? Pertanyaan itu merupakan
suatu topik dalam ceramah "meja bundar.' di Hotel
Intercontinental, Paris, minggu ini. Sebagai imbangan, para
pejabat, bankir dan pengusaha di situ membicarakan pula: Impor
dari Indonesia. Peristiwa itu yang diselang-seling dengan
business lunch dan koktil, dijuluki sebagai memperingati Hari
Perancis-Indonesia (8 Pebruari) yang sesungguhnya bersifat
menggalakkan dagang kedua negara. Paris, tentu saja, sesudah
membelanjakan--sekitar US$7 juta untuk Pameran Teknik Perancis
di Jakarta (26 Maret - 3 April 1977), memikirkan tindak lanjut.
Ekspor Perancis ke Indonesia sudah jelas menggebu, terutama
sejak 5 tahun terakhir ini. Ekspornya itu naik ke US$ 209,1 juta
pada tahun 1976 dari cuma US$24, jula pada 1972. Indonesia yang
rnasih sedikit surplus pada tahun 1972 (hampir US$4 juta)
kemudian mengalami defisit besar (US$ 114,9 juta) pada tahun
1976 dalam berdagang dengan Perancis ini. Bukan hanya jasa dan
barang modal yang dijual Perancis kepada Indonesia, melainkan
juga wangi-wangian. Kini Aerospatiale, industri pesawat terbang
Perancis, sedang menjajagi pula kemungkinan kerjasama dengan PT
Nurtanio di Bandung. Nurtanio sudah merakit pesawat ringan dan
heli dengan lisensi industri Berlan Barat dan Spanyol. Jika
sampai dimasuki Aerospatiale pula, Nurtanio diduga akan lebih
cepat bertumbuh dengan tujuan mengisi pasaran Asia Tenggara.
Kebetulan kalangan industri Perancis cenderung mencari tempat
berpijak di Indonesia dalam rangka - usaha pengluasan dagangnya
di wilayah ini.
Pasar Loak
Sebaliknya Indonesia terasa makin tercecer dalam usaha menjual
ke Perancis. Wartawan TEMPO Yusril Djalinus melaporkan bahwa di
negeri itu tidak kelihatan, jika ada, promosi impor dari
Indonesia. Dalam daftar impor Perancis, letak Indonesia memang
jauh di bawah. Meskipun begitu, demikian dutabesar RI di Paris,
Moh. Noer, bekas Gubernur Jawa Timur, ekspor Indonesia ke
Perancis yang bernilai US$ 94,1 juta tahun 1976 masih bisa
ditingkatkan. Indonesia antara lain mengekspor ke sana menurut
data 1976, kayu (US$ 30,2 juta), timah (US$ 15,3 juta), minyak
bumi (US$ 10,6 juta), kopi (US$ 10 juta) dan karet alam (US$ 9,7
juta). Selain itu menyusul komoditi lainnya yang kecil-kecilan
seperti kodok (US$ 3,5 juta) minyak akarwangi (US$ 1,7 juta),
tembakau (US$ 1,4 juta), minyak atsiri (US$ 1,4 juta), lada (US$
1,3 juta) dan bahan sandang termasuk batik serta barang
kerajinan rakyat.
Khusus tentang batik. dubes Noer memberi nasehat supaya
eksportir Indonesia jangan memilih jenis yang terlalu mahal
saja. "Orang Perancis itu tidak semuanya kaya," katanya. "Di
Perancis pun ada pasar loak. Paling laku saat ini justru batik
dari bahan blacu."
Jika mau berdagang dengan Perancis, para ekspor Indonesia
dianjurkan mengingat kota pelabuhan Marseilles. Dari sana Yusril
Djalinus menulis: "Tidak ada petugas duane di pelabuhan ini yang
terletak di bagian selatan Perancis. Duane memeriksa barang
setelah keluar daerah pelabuhan. Tidak ada hiruk-pikuk buruh
seperti Tg. Priok. Yang terdengar hanya bunyi mesin crane yang
mengangkat peti kenlas. Dari dan ke pelabuhan disediakan jalan
khusus. Kongesti hampir tak pernah terjadi. Fasilitas dok,
gudang dan bongkar-muatnya sudah tergolong maju di Eropa."
Tapi untuk ekspor bertujuan Eropa Indonesia selama ini kurang
memperhatikannya. Padahal Marseilles melalui Terusan Suez
berjarak lebih dekat bagi kapal dari Indonesia. Sudah pernah
dubes toer mengusulkan supaya Konsulat Perdagangan Rl dibuka di
Marseilles, tapi Jakarta belum tertarik.
"Janganlah kita selalu berpikiran tradisionil," kata dubes Noer.
Maksudnya, dari dulu Indonesia, jika ke Eropa, selalu pergi ke
pelabuhan Belanda dan Jerman, tapi kenapa tidak dicoba pula
Marseilles?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini