Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat melancong ke Arab Saudi, entah itu haji atau umrah, tak lengkap rasanya jika tidak mencicipi ayam goreng Albaik. Secara kasat mata, ayam gorengnya mirip dengan ayam goreng tepung khas Amerika, namun Albaik berbeda. Di balik lapisan kulit dan tepung yang renyah, terdapat bumbu dan rempah yang meresap. Saat daging berwarna kemerahan terlihat, seketika aroma rempah menyeruak.
Karena sensasi itu, Albaik menjadi salah satu restoran ayam goreng paling terkenal di Arab Saudi. Cita rasa khas dan harganya yang terjangkau membuat Albaik menjadi favorit warga Saudi dan para jamaah haji serta umrah. Namun, tak banyak yang tahu bahwa di balik kesuksesan Albaik, ada sosok Shakour Abu Ghazalah, seorang pria Palestina yang merintis bisnis ini dari nol. Perjalanannya mendirikan AlBaik penuh dengan tantangan, namun dedikasi dan inovasinya membuat restoran ini menjadi ikon kuliner di Timur Tengah.
Dilansir dari laman Family Business History dan Arab Founders, berikut kisah di balik suksesnya restoran AlBaik.
Awal Mula Perjalanan Shakour Abu Ghazalah
Shakour Abu Ghazalah adalah seorang pengusaha keturunan Palestina yang menetap di Arab Saudi. Shakour Abu Ghazalah lahir pada 1928 di kota Ramleh, Palestina. Namun, kehidupannya berubah drastis pada 1948 ketika ia bersama ribuan warga Arab lainnya terusir dari rumah mereka akibat Operasi Lydda dan Ramle selama nakba. Setelah kehilangan tanah kelahirannya, Shakour pindah ke Arab Saudi dan mulai membangun kembali hidupnya. Pada 1949, ia bergabung dengan perusahaan minyak Aramco, tempat ia bekerja selama 15 tahun. Statusnya sebagai pengungsi tidak resmi, seperti banyak warga Palestina di Arab Saudi, membantunya mendapatkan kewarganegaraan di kerajaan tersebut.
Demi memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, pada 1963, Shakour dan istrinya pindah ke Lebanon. Di sana, ia mencoba berbagai usaha dan berhasil mengumpulkan modal yang cukup besar. Namun pada 1965, cobaan besar datang ketika bank tempat ia menyimpan tabungannya bangkrut. Kehilangan seluruh simpanannya, ia kembali ke Arab Saudi dan mulai merintis bisnis baru. Saat jaringan makanan cepat saji seperti McDonald’s dan KFC mulai merambah Arab Saudi, ia melihat pola konsumsi masyarakat berubah. Baik warga lokal maupun ekspatriat semakin sering makan di luar, terutama saat jam kerja. Tren ini mencerminkan popularitas makanan cepat saji yang tengah berkembang pesat di berbagai belahan dunia.
Shakour pun bertanya pada dirinya sendiri: Mengapa saya tidak bisa melakukan hal yang sama? Mengapa tidak membuka restoran yang mampu bersaing dengan merek global? Dengan tekad itu, ia mulai meneliti kemungkinan mendirikan restoran cepat saji di Arab Saudi, khususnya yang menyajikan ayam goreng seperti KFC.
Setelah melakukan riset mendalam, Shakour memutuskan untuk membeli hak waralaba asing. Didukung penuh oleh sang istri, ia membuka restoran kecil dan menjalin kerja sama dengan perusahaan Prancis, Broasted, yang memberinya akses ke bumbu dan peralatan khusus untuk ayam goreng. Ia melihat Jeddah sebagai lokasi strategis untuk bisnisnya, mengingat meningkatnya permintaan akan layanan makanan dan minuman di kota tersebut.
Semua persiapan telah matang dan. Shakour hanya perlu menunggu pelanggan berdatangan. Namun, tantangan besar menghadang ketika lokasi yang ia pilih belum mendapatkan pasokan listrik. Tak menyerah, ia mengubah sebuah gudang tua di Jalan Bandara, Distrik Sharafiyah, menjadi restoran ayam broasted pertama di Jeddah. Pada September 1974, restorannya resmi dibuka dengan nama Broast.
Shakour Meninggal, Bisnis Mengalami Krisis
Dua tahun setelah membuka restoran pertamanya, Shakour Abu Ghazalah meresmikan cabang kedua Broast di Gedung Al Dakheel, Jeddah lokasi yang awalnya ia incar untuk mengembangkan jaringan usahanya. Namun, pada 1976, Shakour didiagnosis kanker dan meninggal dunia di usia 48 tahun. Sepeninggalnya, dua putranya, Ihsan dan Rami, mengambil alih bisnis keluarga yang baru saja berkembang.
Kepergian Shakour membawa tantangan besar bagi keluarga Abu Ghazalah. Mereka kehilangan hak waralaba dengan Broasted dan harus memulai usaha dari nol. Saat itu, Ihsan baru saja lulus dari King Fahd University di Dhahran dengan gelar teknik sipil. Ia juga seorang atlet basket yang mendapat tawaran bermain secara profesional. Namun, menyadari kondisi bisnis keluarga yang terancam gulung tikar, Ihsan memilih kembali ke Jeddah untuk menyelamatkan usaha ayahnya. Bersama adiknya, Rami, yang saat itu masih berusia awal 20-an, mereka menghadapi utang bank sebesar 7 juta riyal.
Dalam kondisi terdesak, Ihsan dan Rami menjual sejumlah aset untuk melunasi utang. Ihsan kemudian mengambil alih manajemen bisnis, menerapkan efisiensi operasional, dan memangkas biaya. Saat itu, lanskap makanan cepat saji di Jeddah sudah berubah drastis dengan lebih dari 400 restoran sejenis beroperasi di kota tersebut. Untuk tetap bersaing, mereka menyadari perlunya menciptakan keunggulan dari sisi kualitas dan resep yang khas.
Pada awal 1980-an, Rami Abu Ghazaleh menyelesaikan studinya di Tennessee Tech University dengan gelar teknik sipil. Ia langsung kembali ke Jeddah dan bergabung dalam bisnis keluarga. Berbekal latar belakang teknik, keduanya harus belajar industri makanan dari nol. Rami turun langsung ke dapur, memasak, melayani pelanggan, hingga membersihkan restoran, sementara Ihsan pergi ke Paris untuk mendalami teknologi pangan. Sekembalinya dari Prancis pada 1984, Ihsan merancang formula rahasia yang kini menjadi ikon Albaik, yaknu campuran 18 rempah dan bumbu spesial. Selama tiga tahun berikutnya, mereka menghabiskan waktu setiap malam untuk meracik bumbu di lokasi yang dirahasiakan, sebelum dikirim ke dapur pusat untuk diproses.
Perubahan Nama Menjadi Albaik
Untuk membedakan diri dari pesaing, Ihsan dan istrinya, Laila (Monique), mendesain ulang logo bisnis mereka. Keluarga pun berkumpul untuk mencari nama baru yang lebih kuat dan khas. Akhirnya, mereka memilih Albaik, kata dalam bahasa Turki yang berarti seseorang yang dihormati, nama ini mirip dengan gelar “sir” atau “pasha.” Pada 1986, merek Albaik resmi diperkenalkan ke publik.
Dalam dekade berikutnya, bisnis terus berkembang pesat. Pada 1988, Albaik mulai melayani jamaah haji di Mina, lalu membuka gerai pertama di Makkah pada 1990. Pada tahun 2000, didirikanlah pabrik Aqwat untuk memasok kebutuhan operasional Albaik. Ekspansi berlanjut dengan peresmian cabang di Madinah pada 2001. Tak hanya di Arab Saudi, Albaik mulai merambah pasar regional dengan membuka dua gerai di Bahrain pada 2020, diikuti cabang pertama mereka di Uni Emirat Arab pada Juni 2021.
Kini, Ihsan menjabat sebagai ketua dewan direksi grup perusahaan sistem pangan Albaik, dan Rami menjabat sebagai CEO. Restoran ini berhasil memiliki lebih dari 120 kantor cabang. Kantor-kantor tersebut mencakup lebih dari 40 kantor cabang di Jeddah, 10 kantor cabang di Mekkah, dan delapan kantor cabang di Madinah. Dari bisnis keluarga yang nyaris bangkrut, Albaik kini menjadi salah satu jaringan restoran cepat saji paling sukses di Timur Tengah.
Pilihan Editor: Anak-anak Palestina Berdesak-desakan untuk Dapatkan Makanan Berbuka Puasa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini