Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Klaim keberhasilan pemerintah memulihkan 4 juta hektare ekosistem gambut menuai pertanyaan dari kalangan pegiat lingkungan hidup. Tertutupnya informasi tentang detail pelaksanaan program itu membuat data yang disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tersebut diragukan kebenarannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Komunikasi Auriga Nusantara, Syahrul Fitra, mengatakan lembaganya sejak akhir tahun lalu mengajukan permintaan data ke KLHK tentang perubahan rencana kerja perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang di antaranya berisi rencana restorasi. Namun hingga kini permintaan data tersebut tak pernah dipenuhi. "Padahal rencana kerja umum dan rencana kerja tahunan perusahaan pemegang konsesi adalah dokumen publik," kata Syahrul kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahrul mengatakan pengawasan publik diperlukan untuk memastikan perusahaan pemegang konsesi di atas lahan gambut melakukan pemulihan. Apalagi peta Kesatuan Hidrologi Gambut menunjukkan area lindung gambut seluas 1,2 juta hektare berada di dalam konsesi HTI yang memasok perusahaan bubur kertas. "Kapasitas pabrik mereka membutuhkan bahan baku sangat besar sehingga gambut di lahan itu akan terancam jika tak diawasi publik," ujar Syahrul.
Data realisasi pemulihan ekosistem gambut dirilis KLHK akhir bulan lalu seiring dengan peringatan tiga tahun dibentuknya Badan Restorasi Gambut (BRG). KLHK menyatakan telah memulihkan lahan 3,1 juta hektare lahan gambut di lahan HTI dan perkebunan. Adapun BRG merestorasi 679 ribu hektare lahan di luar area konsesi.
Bertanggung jawab kepada Presiden, BRG dibentuk pada Januari 2016 setelah kasus kebakaran hutan dan lahan mencapai level terparah beberapa bulan sebelumnya. Bank Dunia memperkirakan kerugian perekonomian Indonesia akibat kebakaran hutan dan lahan 2015 mencapai Rp 221 triliun. Angka itu belum termasuk dana yang dikucurkan pemerintah untuk mengatasi bencana tersebut.
Masalah data realisasi pemulihan gambut agaknya bukan hanya di mata pegiat lingkungan. BRG, yang masa tugasnya akan berakhir pada Desember 2020, menyatakan juga tak mengetahui detail pemulihan gambut di lahan konsesi yang ditangani KLHK. Kepada Tempo, Kepala BRG Nazir Foead menyatakan tak memiliki akses terhadap pemulihan gambut di lahan konsesi. Walhasil, BRG juga belum bisa memverifikasi ke lapangan. "Kami masih menunggu peraturan menteri untuk melakukan supervisi (di area konsesi)," kata Nazir.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Karliansyah, mengatakan BRG tak bisa mengawasi gambut di kawasan konsesi lantaran terbentur aturan. "Izin konsesi adanya di kami (KLHK). Dalam aturan main, yang boleh masuk ke perusahaan hanya pejabat KLHK," kata dia. Karliansyah pun mengakui tak bisa begitu saja berbagi data pemulihan. "Karena ini data perusahaan, kami tidak berani (mempublikasikan)."
Walau begitu, Karliansyah memastikan pengawasan terhadap restorasi gambut telah dilakukan dengan adanya kewajiban perusahaan melaporkan tinggi muka air tanah secara berkala. Pemerintah, kata dia, juga memverifikasi data tersebut melalui alat pemantau tinggi muka air tanah dan curah hujan di lapangan. "Kami punya data real time-nya," kata Karliansyah.
Syahrul mengkritik sikap KLHK yang tak terbuka. Dia mengingatkan, Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut jelas mengatur tugas BRG sebagai pengawas di area konsesi. Oleh sebab itu, KLHK tak semestinya membedakan pengawasan gambut di area konsesi dan non-konsesi. "Perpres sudah jelas menyatakan BRG dan KLHK untuk berkolaborasi," ujar Syahrul. VINDRY FLOREINTIN
Klaim Pemulihan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo