Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA banyak kabar baik yang seharusnya mendongkrak nilai rupiah akhir-akhir ini. Tapi berbagai berita bagus itu seolah-olah tak berarti apa-apa. Nilai rupiah terhadap mata uang dunia, juga terhadap mata uang negara tetangga, pelan tapi pasti terus merosot.
Padahal cadangan devisa per akhir Juli sudah mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah, US$ 135,1 miliar. Inilah kabar baik pertama yang menunjukkan betapa melimpahnya pasokan devisa di dalam negeri. Salah satu penyebabnya adalah pemerintah berhasil menjual lima seri Samurai Bond, Juli lalu, dengan total nilai Rp 13,4 triliun.
Ada pula afirmasi lembaga pemeringkat Fitch bahwa peringkat utang Indonesia tetap kokoh tergolong layak investasi. Fitch yakin kebijakan pemerintah yang terpaksa menarik utang besar-besaran untuk mengatasi pandemi Covid-19 tahun ini tidak akan mengancam kemampuan Indonesia membayar utangnya. Pertimbangan ini membuat Fitch mempertahankan peringkat BBB dengan outlook stabil. Artinya, kecil kemungkinan ada penurunan peringkat dalam tempo dekat.
Di pasar obligasi, situasi juga tenang. Imbal hasil atau yield obligasi terbitan pemerintah untuk jangka waktu 10 tahun terus menurun, 6,77 persen per Jumat, 14 Agustus lalu. Imbal hasil jauh ini lebih rendah ketimbang posisi saat krisis memuncak pada 25 Maret lalu, yang mencapai 8,32 persen. Makin rendah yield, berarti risiko berinvestasi di Indonesia makin rendah.
Berbagai indikator positif itu biasanya menjadi pendorong sentimen positif, menguatkan kurs rupiah terhadap dolar. Namun itu tak terjadi kali ini. Selama lima hari terakhir hingga penutupan pasar Jakarta, 14 Agustus lalu, harga dolar justru merangkak naik mendekati Rp 14.800 per dolar. Nilai rupiah sudah merosot 6,5 persen dibanding awal Juni lalu yang sempat menyentuh 13.878 per dolar.
Apa yang membuat rupiah tetap loyo? Salah satu penyebabnya adalah sentimen negatif yang masih membayangi pasar negara berkembang karena krisis tengah bergolak di Turki. Selain itu, bank sentral negara-negara berkembang tengah terperangkap dilema: membantu pemerintah mendorong ekonomi atau menjaga kurs agar tak melemah.
Ketika ekonomi lesu, salah satu kiat untuk menggairahkannya adalah menurunkan bunga serendah mungkin. Urutannya, jika bunga patokan kebijakan bank sentral turun, biaya bunga perbankan ikut menurun, dan pada gilirannya korporasi dapat menikmati biaya modal yang lebih murah. Ekonomi pun bergairah.
Bank Indonesia pun melakukan hal yang sama. Sejak awal tahun, suku bunga patokan BI, yakni BI 7-Day Reverse Repurchase Rate, sudah turun bertahap hingga empat kali dari 5 persen menjadi 4 persen pada penurunan terakhir Juli lalu. Sepertinya tren ini belum berhenti. Investor mulai mengantisipasi BI akan kembali menurunkan suku bunga acuannya.
Di sinilah dilemanya. Suku bunga tinggi merupakan andalan Indonesia untuk menarik dana investasi portofolio asing. Itu solusi untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan yang membebani negeri ini dalam sepuluh tahun terakhir. Jika suku bunga turun, Indonesia menjadi kurang menarik sebagai tujuan investasi. Konsekuensinya, defisit neraca transaksi berjalan bisa bolong tak tertutupi. Kurs rupiah akan melemah.
Sesuai dengan jadwal, BI akan menetapkan lagi tingkat bunga rujukannya pada 19 Agustus 2020, Rabu pekan ini. Data terakhir menunjukkan inflasi tahunan per Juli sungguh amat rendah, hanya 1,54 persen. Inflasi serendah ini cukup mengkhawatirkan. Ini merupakan sinyal yang sangat tegas bahwa ekonomi Indonesia masih setengah pingsan. Inflasi serendah ini juga bukti nyata bahwa berbagai program stimulus pemerintah masih belum mampu mendorong pemulihan ekonomi. Agar ekonomi siuman, biarpun konsekuensinya dapat melemahkan kurs rupiah, BI memang harus menurunkan bunga lagi.
Tinggal satu soal: sampai seberapa jauh BI membiarkan rupiah merosot? Sebetulnya pelemahan rupiah sampai saat ini masih dalam batas aman. Setidaknya kurs rupiah belum menyentuh batas atas asumsi anggaran pemerintah, 15.500 per dolar. Namun investor juga harus waspada. Batas atas itu bukan hal sakral. Ia sudah biasa terlampaui ketika situasi pasar tengah menggelegak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo