LAPANGAN terbang kecil (airstrip) di Arun, Aceh Utara sudah
selesai. Dikerjakan oleh kontraktor AS, Bechtel Internasional
dan dibiayai oleh Pertamina, landasan di desa Arun itu memang
dimaksudkan untuk memudahkan mobilitas para kontraktor LNG, yang
bersama keluarganya nanti akan tinggal di sebuah kompleks villa
di sana. Tapi juga bisa dilandasi oleh pesawat lainnya. Maka di
awal Desember lalu pesawat Twin Otter punya MNA yang juga
beroperasi sebagai lin perintis di seantero Aceh sudah singgah
di lapangan itu. Begitu pula pelabuhan gas alam, yang oleh
Pertamina dipasrahkan pengerjaannya pada kontraktor Bechtel,
sudah selesai. Hingga kapal-kapal yang mengangkut bahan bangunan
untuk kebutuhan proyek pabrik dan kompleks perumahan LNG, sejak
beberapa waktu lalu telah berlabuh di sana.
Buaya Bengong
Namun cerita belum berakhir di situ. Kontraktor Bechtel yang
memerlukan sekitar 7,5 juta m3 batu pecah dan 2,5 juta m3 pasir
bangunan kabarnya.banyak diprotes para leveransir setempat.
Bisnis leveransir memang terasa subur setelah munculnya proyek
LNG, hingga tidak sedikit pengusaha Aceh yang beralih pekerjaan
jadi leveransir bahan bangunan. Tapi belum lama berselang para
leveransir lokal itu merasa kena tekan harga oleh kontraktor
Bechtel. "Pesanan Bechtel agar bahan bangunan diangkut sampai di
proyek sudah kami penuhi" kata seorang leveransir. "Malah untuk
itu ada yang sampai membeli truk sendiri". Tapi begitu pesanan
pasir dan batu pecah itu tiba, kabarnya Bechtel menetapkan harga
untuk tanah urukan Rp 1000 per m3. Dan untuk kerikil Rp 6.000
per m3. Harga yang disodorkan Bechtel itu dipandang terlalu
rendah. "Selain harga yang biasanya mereka beli itu lebih
inggi, kini biaya produksi juga sudah meningkat", keluh
leveransir itu. Kabarnya sesuai dengan perjanjian semula fihak
Bechtel sudah bersedia untuk membeli kerikil Rp 12.000 per m3.
Kalau memang benar demikian, lalu mengapa fihak Bechtel tidak
memenuhi perjanjian? Dari fihak leveransir, mereka mengatakan
Bechtel balik haluan karena mutu bahan bangunan yang dilever itu
tidak sesuai dengan permintaan. Tapi para leveransir protes
karena kebolehan kiriman mereka itu katanya sudah dicek oleh
laboratorium di Lho' Seumawe. Tapi beberapa leveransir
beranggapan fihak Bechtel bersikap begitu karena mereka
belakangan ini rupanya sudah memsukkan kebutuhan mereka dari
pulau Karimun (Riau). Di Karimun itu selain harganya konon lebih
murah juga dikerjakan oleh orang-orang Bechtel yang ada di pulau
itu. Jadi pendek cerita, mereka kini mencari batu pecah dan
pasir lewat jaring-jaringnya sendiri. Nah, cara memenuhi
kebutuhan bahan bangunan seperti ini memang lebih efisien. Namun
tidak sedikit para leveransir yang merasa ditutup rejekinya.
Kepada pembantu TEMPO yang kebetulan lagi singgah di Lho
Seumawe, beberapa leveransir teringat akan itu pepatah Aceh
lama: "Biaya gampong teu dong-doflg, bzl va tamong meureusel
ki " (Buaya kam pung berdiri bengong, buaya pendatang dapat
rejeki).
Jalan Perwira
Nah, untuk mengerem ulah pendatang itu, apa yang kemudian
dilakukan "buaya-buaya" lokal? "Kini kami sudah membentuk sebuah
asosiasi bernama Pati Grup", kata mereka. Grup inti yang punya
anggota sekitar 10 perusahaan leveransir di Aceh itu berusaha
untuk terus menembus benteng Bechtel di Arun. Tapi adakah
mereka mendapat sambutan kongkrit dari para penguasa di daerah?
Dari jalan Perwira, Jakarta sebuah sumber Pertamina mencoba
menjelaskan duduk perkara. "Setiap transaksi antara kontraktor
Pertamina dengan pengusaha setempat merupakan tanggungjawab
Pertamina", kata sumber itu. Dengan berkata begitu, orang
Pertamina itu tentu bermaksud tak ingin menyalahkan Bechtel,
sekalipun setiap kontraktor Pertamina terbilang sah untuk
mengatasnamakall Peltamina dalam setiap transaksinya. Sekalipun
begitu menurut sang sumber -- tak dengan sendirinya Pertamina
bisa disalahkan.
Agaknya debat mutu yang dipersoalkan fihak Bechtel merupakan
suatu alasan saja. Sebab, menurut orang Pertaluina itu, soalnya
terpulang pada harga juga. Harga yang diajukan oleh para
levcransir itu, menurut sumber tersebut. bisa jatuh sama dengan
harga dari Kal-imun, kalau saja para leveransir itu tidak banyak
dibebani dengan pungutan daerah. "Ya dari gubernur, bupati
sampai ke bawah", katanya. "Bupati Aceh Utara masih menetapkan
retribusi sebesar 50 rupiah untuk setiap meter kubik pasir dan
batu pecah yang akan dilever". Dipandang dari segi keuangan
Pertamina yang masih murung, cara untuk mencari bahan semurah
mungkin seperti via Karimun memang masuk akal. Juga tak ada
salahnya jika para leveransir yang kecipratan rejeki harta karun
di desa Arun itu sedikit dilonggarkan dari heban retribusi dan
berbagai pungutan. Tapi yang agaknya terasa janggal dalaln
hubungan kontraktor Bechtel dengan para leveransir adalah ini:
kontrak harga yang tiba-tiba dilanggar Bechtel sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini