Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Koneksi pulau karimun

Bechtel internasional yang membangun kompleks peru mahan, airstrip & pelabuhan gas alam di arun, ricuh dengan leveransir aceh. bechtel melanggar perjanjian harga & mendatangkan bahan dari p. karimun.(eb)

10 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAPANGAN terbang kecil (airstrip) di Arun, Aceh Utara sudah selesai. Dikerjakan oleh kontraktor AS, Bechtel Internasional dan dibiayai oleh Pertamina, landasan di desa Arun itu memang dimaksudkan untuk memudahkan mobilitas para kontraktor LNG, yang bersama keluarganya nanti akan tinggal di sebuah kompleks villa di sana. Tapi juga bisa dilandasi oleh pesawat lainnya. Maka di awal Desember lalu pesawat Twin Otter punya MNA yang juga beroperasi sebagai lin perintis di seantero Aceh sudah singgah di lapangan itu. Begitu pula pelabuhan gas alam, yang oleh Pertamina dipasrahkan pengerjaannya pada kontraktor Bechtel, sudah selesai. Hingga kapal-kapal yang mengangkut bahan bangunan untuk kebutuhan proyek pabrik dan kompleks perumahan LNG, sejak beberapa waktu lalu telah berlabuh di sana. Buaya Bengong Namun cerita belum berakhir di situ. Kontraktor Bechtel yang memerlukan sekitar 7,5 juta m3 batu pecah dan 2,5 juta m3 pasir bangunan kabarnya.banyak diprotes para leveransir setempat. Bisnis leveransir memang terasa subur setelah munculnya proyek LNG, hingga tidak sedikit pengusaha Aceh yang beralih pekerjaan jadi leveransir bahan bangunan. Tapi belum lama berselang para leveransir lokal itu merasa kena tekan harga oleh kontraktor Bechtel. "Pesanan Bechtel agar bahan bangunan diangkut sampai di proyek sudah kami penuhi" kata seorang leveransir. "Malah untuk itu ada yang sampai membeli truk sendiri". Tapi begitu pesanan pasir dan batu pecah itu tiba, kabarnya Bechtel menetapkan harga untuk tanah urukan Rp 1000 per m3. Dan untuk kerikil Rp 6.000 per m3. Harga yang disodorkan Bechtel itu dipandang terlalu rendah. "Selain harga yang biasanya mereka beli itu lebih inggi, kini biaya produksi juga sudah meningkat", keluh leveransir itu. Kabarnya sesuai dengan perjanjian semula fihak Bechtel sudah bersedia untuk membeli kerikil Rp 12.000 per m3. Kalau memang benar demikian, lalu mengapa fihak Bechtel tidak memenuhi perjanjian? Dari fihak leveransir, mereka mengatakan Bechtel balik haluan karena mutu bahan bangunan yang dilever itu tidak sesuai dengan permintaan. Tapi para leveransir protes karena kebolehan kiriman mereka itu katanya sudah dicek oleh laboratorium di Lho' Seumawe. Tapi beberapa leveransir beranggapan fihak Bechtel bersikap begitu karena mereka belakangan ini rupanya sudah memsukkan kebutuhan mereka dari pulau Karimun (Riau). Di Karimun itu selain harganya konon lebih murah juga dikerjakan oleh orang-orang Bechtel yang ada di pulau itu. Jadi pendek cerita, mereka kini mencari batu pecah dan pasir lewat jaring-jaringnya sendiri. Nah, cara memenuhi kebutuhan bahan bangunan seperti ini memang lebih efisien. Namun tidak sedikit para leveransir yang merasa ditutup rejekinya. Kepada pembantu TEMPO yang kebetulan lagi singgah di Lho Seumawe, beberapa leveransir teringat akan itu pepatah Aceh lama: "Biaya gampong teu dong-doflg, bzl va tamong meureusel ki " (Buaya kam pung berdiri bengong, buaya pendatang dapat rejeki). Jalan Perwira Nah, untuk mengerem ulah pendatang itu, apa yang kemudian dilakukan "buaya-buaya" lokal? "Kini kami sudah membentuk sebuah asosiasi bernama Pati Grup", kata mereka. Grup inti yang punya anggota sekitar 10 perusahaan leveransir di Aceh itu berusaha untuk terus menembus benteng Bechtel di Arun. Tapi adakah mereka mendapat sambutan kongkrit dari para penguasa di daerah? Dari jalan Perwira, Jakarta sebuah sumber Pertamina mencoba menjelaskan duduk perkara. "Setiap transaksi antara kontraktor Pertamina dengan pengusaha setempat merupakan tanggungjawab Pertamina", kata sumber itu. Dengan berkata begitu, orang Pertamina itu tentu bermaksud tak ingin menyalahkan Bechtel, sekalipun setiap kontraktor Pertamina terbilang sah untuk mengatasnamakall Peltamina dalam setiap transaksinya. Sekalipun begitu menurut sang sumber -- tak dengan sendirinya Pertamina bisa disalahkan. Agaknya debat mutu yang dipersoalkan fihak Bechtel merupakan suatu alasan saja. Sebab, menurut orang Pertaluina itu, soalnya terpulang pada harga juga. Harga yang diajukan oleh para levcransir itu, menurut sumber tersebut. bisa jatuh sama dengan harga dari Kal-imun, kalau saja para leveransir itu tidak banyak dibebani dengan pungutan daerah. "Ya dari gubernur, bupati sampai ke bawah", katanya. "Bupati Aceh Utara masih menetapkan retribusi sebesar 50 rupiah untuk setiap meter kubik pasir dan batu pecah yang akan dilever". Dipandang dari segi keuangan Pertamina yang masih murung, cara untuk mencari bahan semurah mungkin seperti via Karimun memang masuk akal. Juga tak ada salahnya jika para leveransir yang kecipratan rejeki harta karun di desa Arun itu sedikit dilonggarkan dari heban retribusi dan berbagai pungutan. Tapi yang agaknya terasa janggal dalaln hubungan kontraktor Bechtel dengan para leveransir adalah ini: kontrak harga yang tiba-tiba dilanggar Bechtel sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus