APA yang disebut Islam Wetu Telu atau Islam W3 di Lombok, sampai
sekarang masih menarik. Departemen Agama di Jakarta misalnya
memerlukan mengirim seoran pejabatnya ke sana buat
menjernihkannya. Bulan Pebruari 194, selama 2 hari Sulaiman BA
--sang petugas--dengan ditemani Haji Jamiluddin dari Perwakilan
Departemen Agama NTB, mengadakan dialog dengan Raden Singaderia
dan Raden Kertapati. Kedua-duanya adalah tokoh masyarakat Islam
W3 di Bayan, kota Kecamatan yang hingga sekarang merupakan
pusat kegiatannya. Hal itu dilakukan karena datangnya serentetan
surat dari mereka yang mengadukan "tindakan-tindakan
sewenang-wenang pemerintah dan perwakilan Departemen Agama
setempat". Menurut surat itu, mereka "mau merusak adat istiadat
kami". Bagaimanakah kejadian sebenarnya?
"Sebetulnya tak ada yang disebut tindakan sewenang-wenang itu",
tukas Sulaiman kepada DS Karma dari TEMPO bulan Desember kemarin
di Jakarta. "Tapi Moechsin, Kepala KUA Kecamatan Bayan, meman
menginginkan orang Islam "W3" itu menjadi orang Islam seperti
dia sendiri". Moechsin sendiri, menurut Sulaiman, dulunya
penganut Islam W3 juga. Tapi lantas mengalami peningkatan
pengetahuan dan faham Islamnya. Sedang Islam W3 meskipun beriman
kepada Allah dan Muhammad dan hari kiamat, tapi mereka
bersembahyang cuma 3 waktu.
Yaitu hari Jum'at sembahyang mayat dan Idul Fithri. Juga puasa
Ramadan hanya 3 hari: permulaan, tengah dan penghabisan
upacara-upacara agama lainnya bercampur aduk dengan animisme dan
dinamisme. Moechsin berusaha merobah hal-hal itu. "Dia belum
bisa berfikir seperti saya", kata Sulaiman lagi. "Saya biasa
menghadapi orang-orang yang biasanya tidak disebut santri, jadi
bisa menghadapi orang Islam W3". Bagi Sulaiman, bila mereka
sudah menyatakan sebagai pemeluk Islam, cukup. Bagaimana
meningkatkan keislaman mereka adalah soal nanti. Bila misalnya
mereka mau menanggalkan ikat kepala yang putih saja, yang jadi
simbol agama dan adat, sudah bagus.
Telu & Tele
Sulaiman dan Jamiluddin merasa cukup puas tatkala melihat
kenyataan bahwa mereka tegas-tegas dan spontan menyatakan: "tak
ada pilihan lain selain Islam". "Pernyataan ini cukup bagi kami
untuk menegaskan baik kepada umat Islam maupun umat agama lain
bahwa mereka itu meman umat Islam dan karena itu harus dihadapi
sebagai umat yang sudah beragama, yakni Islam". Penegasan itu
5ecara resmi dicantumkan dalam surat pernyataan yang dibuat
Sulaiman dan Jamiluddin yang kemudian ditandatangani oleh Raden
Singaderia dan Raden Kertapati, juga Moechsin. Sehubunan dengan
itu, terhadap istilah yang dilekatkan pada diri mereka, mereka
sendiri sebenarnya sudah lan-a menyatakan rasa gusar. "Istilah
itu bukan atas kemauan kami. Itu datang dari luar".
Lagi pula menurut mereka istilah itu nula-mula hukan waktu telu
melainkan uetu tele alias "orang-orang nakal". Dan karena
mereka berkeberatan, mereka ganti dengan wetu telu, yang buat
mereka sendiri katanya tak jelas artinya. Lalu ada tafsiran
"waktu telu" adalal lawan "waktu lima". Inipun mereka tolak.
Dalam satu rapat besar di tahun 1940 antara pemuka kaum Islam W3
pemuka Islam lain dan pemerintah setempat di Tanjung, Lombok
Barat, secara resmi mereka menolak tafsiran tersebut. Mereka
minta agar disebut sebagai Muslim sedang saudara-saudara lainnya
disebut Mukmin. Sudah tentu usul inipun tak disepakati, karena
terasa dicari-cari.
Orang-orang "W3" itu sendiri berkeyakinan bahwa Islam merekalah
yang sempurna. Menurut mereka, Islam datang ke Lombok mula-mula
ke daerah Bayan, yang waktu itu jadi pusat pemerintahan
kerajaan. Dari Bayanlah Islam menyebar ke seluruh Lombok. Sebab
itu mereka, di samping meminta istilah "W3" dihapuskan, juga
sebutan "suku terasing" yang konon pernah dilontarkan Pemda NTB
diminta jangan dilekatkan pada mereka. Dapat difahami.
Agama & Adat
Tapi lain halnya dengan Moechsin. "Kami mempunyai program
meng-clear-kan adat dan agama di Bayan", katanya kepada M. Ali
BD pembantu TEMPO. "Orang-orang W3 itu tak dapat membedakan mana
ajaran agama dan mana adat". Dan ia optimis, karena selama ini
berkat upayanya, kabarnya 35% dari 20 ribu jiwa kaum tersebut di
Kecamatan Bayan telah jadi Islam "yang wajar". "Sisanya akan
beres dalam wahtu 5 tahun", tambahnya, seraya menyebutkan
caranya. Yakni dengan mengadakan pengajian-pengajian dan
penerangan umum.
Tentunya Moechsin menghadapi ladang yang cukup luas. Sebab
menurut sebuah laporan berbahasa Peranis, Reserches Sur Les
Deux Seces Mulsumanes 'Waktoe Teloe' Et'Waktoe Lima' De
Lombok, tahun 1934, terdapat kaum ini sebanyak 52.000 di Lombok
Barat (termasuk Kecamatan Bayan), 7000 di Lombok Tengah dan
17.000 di Lambok Timur. Padahal menurut Sulaiman, buat 20 ribu
jiwa di Bayan cuma tersedia seorang GAH alias Guru Agam
Honorer. Dan tempat pemukiman kaum tersebut sulit didatangi
karena terletak di lereng gunung Rinjani yang banyak jurangnya
yang mengerikan dan hutan belukar yang belum diolah manusia,
serta banyak batu kali yang belum dijamah DPU. Jaraknya dari
Mataram kl. 90 Km dan cuma bisa ditempuh dengan naik truk, jalan
kaki atau naik kuda.
Namun Moechsin, sang Kepala KUA bekas anggota DPRD Lombok Barat
dan pegawai KUA satu-satunya di Bayan itu, tak kurang akal. Ia
mengangkat petugas NTR (Nikah Talak Rujuk) di setiap desa yang
juga ada yang merangkap sebagai guru agama, bahkan mendirikan
madrasah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini