Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tren pemutusan hubungan kerja atau PHK pada 2024 terus meningkat. Sampai Agustus ini, jumlah orang yang kehilangan pekerjaan sudah 46 ribu lebih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tapi mudah-mudahan angkanya tidak lebih tinggi dari tahun 2023," kata Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah ketika ditemui usai rapat di DPR RI, Senin, 2 September 2024. Adapun pada tahun lalu, Kemnaker mencatat PHK 64 ribu kasus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari 46 ribu kasus tersebut, Ida menyebut, sektor manufaktur, seperti tekstil, garmen, dan alas kaki banyak yang melakukan PHK. Sementara industri lain, seperti industri rokok, hanya melakukan ekspansi atau relokasi pabrik.
Tingginya PHK ini, menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha Rachbini, mengharuskan pemerintah mengambil langkah cepat dan tepat.
Direktur Program Indef itu, mengatakan dalam jangka pendek pemerintah harus fokus pada upaya menjaga daya beli masyarakat. Beberapa langkah yang bisa diambil, antara lain pemberian subsidi kepada korban PHK, menyediakan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka agar bisa bekerja di sektor lain, dan menghubungkan mereka dengan peluang kerja baru.
“Jadi masa tunggu untuk mencari pekerjaan bisa dipercepat,” ujarnya dalam sebuah diskusi, 27 Agustus lalu..
Sementara itu, untuk mengatasi masalah PHK secara mendasar, Eisha menyebut pemerintah perlu melakukan transformasi ekonomi jangka panjang.
Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan, antara lain reindustrialisasi, peningkatan iklim usaha, optimalisasi hilirisasi sumber daya alam, dan mendatangkan investasi yang dapat membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), sejak Januari hingga Mei 2024, terdapat 20-30 pabrik telah gulung tikar, mengakibatkan 10.800 karyawan kehilangan pekerjaan.
Kementerian Perindustrian juga melaporkan enam pabrik besar telah tutup hingga Juni 2024, yakni PT Dupantex, PT Kusumahadi Santosa, PT Kusuma Putra Santosa, PT Pamor Spinning Mills, PT Sai Aparel di Jawa Tengah, serta PT Alenatex di Jawa Barat, dengan total 11.000 buruh terkena PHK.
Eisha lebih lanjut menjelaskan, fenomena PHK ini erat kaitannya dengan perlambatan sektor industri manufaktur, yang menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.
Industri manufaktur, terutama sektor tekstil, tengah mengalami penurunan daya saing yang signifikan. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perlambatan permintaan global, ketergantungan terhadap bahan baku impor, dan kenaikan biaya produksi.
“Bahan baku, logistik, dan gejolak geopolitik sudah membuat struktur biaya meningkat. Mungkin mereka sudah mencoba memperkecil margin penjualannya, tetapi ketika tidak bisa menanggung kenaikan biaya, mereka harus mem-PHK beberapa pekerjanya,” ujar Eisha.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka tamatan sekolah menengah kejuruan (SMK) masih merupakan yang paling tinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 8,62 persen. Lalu, tingkat pengangguran tamatan SMA sebesar 6,73 persen.
Sementara itu, tingkat pengangguran pada lulusan Diploma IV, S1, S2, dan S3 meningkat dari 5,52 persen pada Februari 2023, menjadi 5,63 persen pada Februari 2024.
Jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun) di Indonesia mencapai 214 juta orang. Dari jumlah itu, hanya sekitar 69,8 persen atau 149,38 juta orang yang bekerja. Masih ada sekitar 7,2 juta orang yang belum mendapatkan pekerjaan.
Menaker Ida mengklaim kementeriannya terus melakukan mitigasi. Salah satunya dengan membuka lowongan kerja dan menggelar Job Fair Nasional. Menurutnya, peluang kerja dalam event ini mencapai 178 ribu lowongan, sehingga diharapkan bisa menutup kasus PHK yang jumlahnya tercatat 46 ribu per Agustus.
"Mudah-mudahan yang keluar dan masuk ini sama, ya, balance (seimbang)" ujar Ida.
RIRI RAHAYU | ANTARA