SEKARANG ini memang musim penghujan. Tapi buat para pengusaha
alatalat pemadam kebakaran itu tak jadi soal. Belakangan ini,
terutama setelah timbulnya rentetan kebakaran besar yang melalap
berbagai pasar di Indonesia, dagangan mereka mulai laris uga.
Bagi Wormald International Indonesia, pabrik alat-alat pemadam
api Australia di Surabaya, saat itulah yang memang
ditunggu-tunggu. Bukan karena Pasar Turi dan Pasar Blauran,
keduanya di Surabaya, tahun lalu habis dilanda api. Tapi,
seperti kata direktur Wormald Bayu Santoso, ada perhatian yang
lebih besar dari pemerintah. "Di Indonesia ini setelah terjadi
kebakaran biasanya orang baru sadar," katanya.
Di Surabaya, pihak pemda kini aktif mengadakan latihan pemadaman
kebakaran, mulai dari RT-RW, pemilik kios sampai tempat hiburan
dan kelab malam. Kegiatan pemda itu dengan sendirinya merupakan
reklame baik buat Wormald. Timbul harapan penjualan yang tadinya
rata-rata. cuma l.OO0 buah setahun ak?n naik. Pabrik alat-alat
pemadam api standar satu-satunya di Indonesia itu mulai
beroperasi sejak 1974. Tapi setelah mengeluarkan jutaan dollar,
toh pabriknya yang berkapasitas 150.000/tahun itu berjalan
seret. Meskipun, untuk mensuplai pasaran di Asia, Wormald
Indonesia mendapat porsi ekspor 1.000 buah alat pemadam
kebakaran, setiap bulan.
Bisa dimengerti bila induknya di Australia measa kecewa. Mereka
tadinya mengira, dengan membuka pabrik di sini, biaya produksi
bisa ditekan dan harga jual pun bisa lebih bersaing. Tapi
nyatanya, teori itu tak berlaku di Indonesia. Alat pemadam
kebakaran impor seperti Hatsuta, Graviner, American Lafrance
ternyata memaksa Wormald untuk membagi pasarnya di Indonesia.
Tapi yang paling besar merebut pasaran adalah Yamato dari
Jepang. Menurut Ade Nasution, pengusaha muda alat-alat itu di
Jakarta, merek Yamato menguasai 60% dari pasaran. Harganya pun,
seperti diakui Bayu Santoso, bisa Rp 2.500 lebih murah dari
Wormald.
Demikian serunya persaingan alatalat pemadam kebakaran itu,
sehingga selain harga, soal hubungan baik itulah yang ikut
menentukan pasaran. Kalau Wormald mungkin beken di Surabaya
maka banyak lembaga pemerintah di Jakarta yang memakai American
Lafrance, salah satu produk sejenis yang dipasarkan perusahaan
di mana Ade duduk sebagai pimpinannya.
Selain soal kebakaran yang membawa bekah itu, adalah Kenop-15
yang seakan memberi darah baru buat Wormald. Sampai sekarang 60%
komponen produksinya masih tergantung dari impor. Tapi adanya
Kenop-15 itu membuat Bayu Santoso merasa punya harapan bisa
bersaing melawan Yamato yang 100% impor.
Apakah buatan Australia-Surabaya itu akan mampu menyaingi
Yamato, itu tergantung pula dari kepintaran dagang. Tapi
pelan-pelan Wormald tampaknya mulai merayu kembali Pertamina.
Sebelum mendirikan pabrik di Surabaya, Wormald rupanya berharap
bisa memperoleh jatah di Pertamina yang memang butuh banyak
alat-alat pemadam kebakaran yang berstandar internasional.
Harapan itu ternyataan gagal. Menurut sebuah sumber Pertamina
itu disebabkan mereka lebih menyukai merek Unsula (AS), yang
dimasukkan lewat perusahaan Unsulindo, masih milik orang-orang
Pertamina juga.
Alkisah, setelah krisis Pertamina, hubungan dengan Unsula pun
terputus. Maka masuklah Wormald -- yang di Australia menguasai
90% dari pasaran -- melamar sebagai gantinya. Lamaran memang
belum diterima. Sekalipun saat ini adalah Wormald itulah yang
dipercaya untuk mereparasi Unsula, yang waktu itu konon
didatangkan dalam jumlah besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini