Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
India dan Thailand menghentikan ekspor beras di tengah El Niño.
Pemerintah mengklaim cadangan beras masih mencukupi.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia memberi sinyal tanda bahaya.
TANDA-TANDA akan datangnya sebuah krisis kian terlihat di pasar beras dunia. Biang keladinya apa lagi kalau bukan musim kering ekstrem karena munculnya fenomena El Niño. Ancaman ini membuat pemerintah India mengambil kebijakan ekstrem pula. Sejak akhir Juli lalu, India menyetop ekspor beras, kecuali varian basmati yang tergolong kelas premium, demi memprioritaskan kebutuhan dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
India adalah eksportir beras terbesar di dunia. Terhentinya pasokan beras dari sana tentu berdampak luas. Di Thailand misalnya, per akhir Agustus lalu, harga beras domestik sudah melonjak 20 persen, menjadi US$ 597 per ton, hanya dalam tempo dua minggu. Sejauh ini, pemerintah Thailand belum berencana ikut-ikutan melarang ekspor beras karena masih punya surplus produksi yang besar. Tak ada masalah dalam pemenuhan kebutuhan domestik. Bahkan sebetulnya Thailand dapat memanfaatkan peluang bisnis, mengisi kekosongan pasokan beras India di pasar global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun dampak El Niño tentu juga menurunkan jumlah produksi beras Thailand sehingga surplusnya berkurang. Pemerintah Thailand memperkirakan jumlah produksi beras 2023 akan merosot sekitar 5,6 persen dibanding pada tahun lalu menjadi 32,5 juta ton. Baik pedagang maupun petani Thailand kini cenderung menimbun beras untuk mengantisipasi penurunan jumlah produksi dan menunggu kenaikan harga agar untung lebih besar. Itulah yang membuat harga beras di Thailand bergejolak karena pasokan beras ke pasar sangat ketat.
Seretnya pasokan di pasar domestik tentu saja berdampak pada pasar ekspor karena Thailand adalah eksportir beras terbesar kedua di dunia. Asosiasi eksportir beras Thailand memperkirakan total ekspor mereka tahun ini tak akan bertambah, tetap sekitar 8 juta ton. Thailand tak akan mampu menambal lubang pasokan yang dibuat India.
Konsekuensi berikutnya mudah ditebak, harga beras di pasar internasional ikut melambung. Saat ini harganya sudah mencapai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir. Sebagai negara yang masih harus mengimpor beras, Indonesia ikut menanggung beban kenaikan harga itu. Seperti biasa, kenaikan harga tentu langsung menyetrum ke konsumen di pasar lokal.
Lonjakan harga beras di pasar domestik yang makin tajam memicu Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) melemparkan sinyal bahaya, melalui pesan yang mereka sebarkan ke media, Kamis, 31 Agustus lalu. Inti pesannya: situasi Indonesia memang belum darurat beras, tapi ada potensi ke arah sana. Kenaikan harga beras saat ini merupakan yang terburuk dalam sejarah.
Sinyal bahaya dari Ikappi ini patut mendapat perhatian serius. Harga beras medium yang menjadi patokan pemerintah terus menanjak, cukup jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Badan Pangan Nasional. Di pekan terakhir Agustus lalu, harga beras medium sudah berkisar Rp 12.600 per kilogram. Padahal HET-nya hanya Rp 10.900 untuk Pulau Jawa.
Satu soal lagi yang lebih berat, dampak kekeringan sebetulnya baru mulai terasa pada Agustus lalu. Puncaknya baru akan datang pada September dan Oktober nanti. Stok beras hasil panen raya Maret-April lalu sudah menipis untuk konsumsi masyarakat, sementara kekeringan membuat jumlah produksi beras menurun. Estimasinya, ada potensi produksi sebesar 1,2 juta ton yang hilang. Itu perkiraan paling konservatif dari pemerintah. Berbagai lembaga bahkan menaruh estimasi lebih besar, hingga 1,5 juta ton.
Pemerintah mengaku mempunyai cadangan 1,6 juta ton untuk menambal kebutuhan. Mungkin, di atas kertas, stok ini cukup untuk membawa kita melampaui musim paceklik. Namun, pertanyaannya, apakah laporan tentang cadangan yang cukup itu sesuai dengan kondisi pasar?
Ekonom selalu bilang, harga tak pernah berbohong. Jika harga terus merambat naik tak tertahan, tentu ada sesuatu tentang pasokan beras yang sesungguhnya. Kembali lagi pada kisah awal krisis di atas, di pasar internasional pun pasokan beras ketat. Walhasil, tak mudah bagi pemerintah mencari beras untuk digerojokkan ke pasar agar harganya segera turun. Indonesia benar-benar berada di ambang krisis beras.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Indonesia di Ambang Krisis Beras"