Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengajuan kasasi PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Kasasi tersebut berkaitan dengan putusan dari Pengadilan Niaga Semarang yang menyatakan perusahaan tekstil terbesar tersebut pailit. Putusan itu sendiri dibacakan dalam sidang pada Rabu, 18 Desember 2024 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Amar Putusan: Tolak,” bunyi putusan tersebut seperti dikutip dari laman resmi MA, Kamis, 19 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan ini dengan sendirinya membuat status pailit terhadap raksasa tekstil tersebut sah secara hukum atau inkrah. Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang menyatakan Sritek pailit lewat putusan PN Semarang atas perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Kronologi Sritex Pailit
Kasus Sritex pailit berawal ketika perusahaan digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya, pada Januari 2022 lalu. Saat itu CV Prima Karya mengajukan gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang dilakukan oleh Sritex.
Sritex kemudian menuntaskan rapat kreditur di Pengadilan Niaga Semarang yang menyepakati rencana damai oleh semua kreditur separati. Dengan kesepakatan ini, voting mencapai kuorum sehingga Sritex dan tiga anak usahanya sukses mendapatkan restrukturisasi. Adapun, ketiga anak perusahaan tersebut adalah PT Sinar Pantja Djaja (SPD), PT Bitratex Industries (BI), dan PT Primayudha Mandirijaya (PM).
Sebelumnya, Sritex telah memperjuangkan langkah hukum sejak 19 April 2021 saat pertama kali PKPU diajukan. Permohonan itu dikabulkan pada 12 Mei 2021 dengan nomor Putusan 12/Pdt.SusPKPU/2021/PN.Niaga.Smg.
Bursa Efek Indonesia (BEI) juga telah menghentikan sementara perdagangan efek SRIL di seluruh pasar sejak 18 Mei 2021 sampai saat ini, karena adanya Penundaan Pembayaran Pokok dan Bunga MTN Sritex Tahap III Tahun 2018 ke-6.
Berdasarkan data Tim Pengurus PKPU Sritex, total tagihan Sritex mencapai Rp26 triliun. Keseluruhan tagihan ini berasal dari kreditur separatis senilai Rp 716,7 miliar dan tagihan kreditur konkuren Rp 25,3 triliun. Setelah kesepakatan tercapai, Sritex akan merestrukturisasi pokok utang bilateral dan utang sindikasi senilai US$ 344 juta menjadi fasilitas Unsecured Term Loan selama 12 tahun.
Sritex juga akan merestrukturisasi pokok terutang dari utang bilateral dan utang sindikasi senilai US$ 267,2 juta sebagai Secured Working Capital Revolver selama 5 tahun. Sementara itu, pokok utang bilateral dan utang sindikasi akan direstrukturisasi menjadi Secured Term Loan dengan jangka waktu 9 tahun.
Perusahaan tekstil itu pun mampu bangkit dan menangani perkara utangnya dengan baik. Direktur Utama PT Sritex, Iwan (Wawan) Kurniawan Lukminto, saat itu mengungkapkan utilitas Sritex berada pada 70-80 persen yang masih bisa mengekspor produk ke sejumlah negara melalui pasar mereka.
Ia juga menyebutkan, alasan industri tekstil pailit atau sedang terpuruk, yaitu faktor internal (dampak pandemi dan daya beli masyarakat menurun) serta eksternal (peperangan, perlambatan ekonomi global, barang masuk dari Cina atau impor, dan regulasi pemerintah).
Selain itu, Sritex juga sempat diisukan bangkrut pada pertengahan tahun 2024 lalu. Perusahaan tersebut kemudian menepis kabar tersebut, tetapi mengakui jika pendapatan perseroan menurun drastis.
Seiring dengan berjalannya waktu, Sritex kembali digugat oleh PT Indo Bharat Rayon karena dianggap tidak penuhi kewajiban pembayaran utang yang sudah disepakati. Pada akhirnya, Hakim Ketua Pengadilan Niaga Kota Semarang, Muhammad Anshar Majid mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur Sritex. Sritex pun dinyatakan pailit atau tidak mampu membayar utang-utangnya.
Raden Putri, Septia Ryanthie, Adil Al Hasan, dan Rachel Farahdiba berkontribusi dalam artikel ini.