Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kuda-kuda sebelum Naik

Ada tiga skema kenaikan harga BBM. Agar tak dilakukan menjelang Ramadan.

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH paket kebijakan ekonomi yang mengecewakan (Tempo, 5 September), pemerintah mulai terlihat mengancang kenaikan harga bahan bakar minyak. Hitungan dan skema kenaikan mulai dibuka di DPR RI.

Menteri Keuangan Jusuf Anwar membeberkan, harga BBM diperkirakan naik bulan depan. ”Oktober, beban (subsidi anggaran) bisa berkurang,” kata Jusuf.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, dalamrapat dengan Komisi Energi DPR memaparkan tiga skema kenaikan harga yang mungkin ditempuh pemerintah. Opsi pertama, kenaikan harga dilakukan bertahap hingga mencapai tingkat harga minyak di pasar internasional. Kedua, penyesuaian harga dilakukan segera, mengikuti harga minyak dunia. Ketiga, penyesuaian harga dilakukan langsung terhadap harga pasar internasional, yang dibagi penahapannya berdasarkan jenis-jenis BBM.

Kenaikan harga secara bertahap, menurut Purnomo, diterapkan untuk tiga jenis BBM: minyak tanah, premium, dan solar. Untuk minyak tanah, bisa dilakukan setiap bulan, selama dua atau tiga tahun. Premium dan minyak solar bisa dinaikkan bertahap tiap bulan selama setahun.

Ekonom Morgan Stanley untuk kawasan Asia Tenggara, Daniel Lian, dalam risetnya menyatakan pencabutan subsidi BBM memang tak bisa ditawar. Meroketnya harga minyak dunia membuat beban subsidi BBM yang harus ditanggung pemerintah untuk tahun ini diperkirakan Rp 140 triliun.

Dengan beban sebesar itu, defisit fiskal bakal membengkak menjadi sekitar 2 persen dari produk domestik bruto. Padahal, pemerintah hanya mematok target 1 persen.

Berbeda dengan pemerintah, Lian menyodorkan solusi lebih radikal. Menurut dia, setengah dari beban subsidi itu harus dipangkas tahun ini juga: 25 persen sekarang, dan 25 persen sisanya setelah Ramadan.

Sisanya, 50 persen, harus dipangkas tahun depan. Hanya ini satu-satunya cara, kata Lian, untuk menyelamatkan anggaran negara dan meredam gejolak rupiah. “Pengetatan moneter tidak akan menjawab akar permasalahan,” ujarnya.

Persiapan yang dilakukan pemerintah tak sebatas masalah teknis. Pada pekan lalu, pemerintah seakan ”mengampanyekan” dampak buruk subsidi BBM. Dalam buku teks ekonomi, penyelundupan kerap disebut sebagai anak haram kebijakan subsidi.

Kebijakan subsidi BBM di Indonesia selama ini juga tak steril dari penyelundupan. Seusai rapat kabinet, Kamis kemarin, Presiden menyatakan negara berpotensi merugi hingga Rp 8,8 triliun per tahun akibat penyelundupan BBM.

Polisi telah menahan 58 tersangka penyelundup BBM. Yang memalukan, sebagian tersangka adalah pegawai Pertamina (18 orang) dan aparat keamanan—entah itu anggota TNI atau kepolisian. Di antara para tersangka pencoleng minyak itu, ada lima warga negara asing.

Modus penyelundupan paling spektakuler yang diungkap oleh Presiden adalah memotong pipa minyak bawah laut. Pembobolan minyak cara ini terjadi di perairan Kalimantan Timur. Di provinsi itu, tepatnya di Balikpapan, terdapat satu dari dua kilang pengolahan minyak milik Pertamina.

”Setiap tetes BBM tidak boleh dibiarkan menguap dan jatuh begitu saja ke tangan yang tidak bertanggung jawab,” ujar Presiden. Presiden langsung meminta direksi Pertamina supaya mempertanggungjawabkan ulah anak buahnya.

Selama ini, banyak kalangan meragukan subsidi BBM yang ditanggung oleh anggaran benar-benar dinikmati rakyat. Tim Indonesia Bangkit, misalnya, beberapa kali mendesak pemerintah menyapu lebih dulu kegiatan impor, produksi, dan distribusi BBM sebelum menaikkan harga.

Harapan itu sedikit banyak terpenuhi dengan pengumuman tentang penindakan hukum atas para penyelundup. Ada lagikah syarat yang harus dipenuhi pemerintah sebelum menaikkan harga BBM?

Direktur International Center for Applied Finance and Economics, Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema, meminta agar kenaikan harga BBM tak dilakukan menjelang Ramadan dan Idul Fitri. ”Itu akan memicu inflasi,” kata Iman.

Yura Syahrul, Bagja Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus