Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara ratusan orang yang menjejali Gedung BNI, Kamis pekan lalu, seorang perempuan paruh baya berteriak histeris, ”Kami ditipu!” Dia menuding BNI Securities tidak profesional. Duit Rp 2 miliar yang ditanamnya di reksadana milik sekuritas itu tergerus hampir 18 persen karena harga obligasi turun (lihat, Baca Dulu, Baru Beli).
Suasana memanas, teriakan berubah jadi tuntutan. Mereka meminta modal dikembalikan utuh. Tentu muskil bagi petinggi BNI Securities karena nilai investasi mereka, yang ditanamkan di obligasi, sudah melorot.
Presiden Direktur BNI Securities, Sudirman, menawarkan opsi lain. Mereka akan mengembalikan duit dari kas perusahaan dan membagikan obligasi. Pilihan lain adalah mengkonversi duit ke reksadana terproteksi, yang risikonya jauh lebih kecil. ”Nilai pokok akan terjaga hingga waktu jatuh tempo obligasi,” katanya.
Gonjang-ganjing penarikan besar-besaran melanda semua perusahaan pengelola dana, terutama yang investasinya ditanamkan pada obligasi. Gebrakan Bank Indonesia menaikkan SBI dan giro wajib minimum untuk menjaga rupiah membuat harga obligasi turun dan pasar kering.
”Dua minggu ini sangat kelabu,” kata Direktur Utama Trimegah Securities, Avi Dwipayana. Data Badan Pengawas Pasar Modal menunjukkan, dalam tiga hari di awal September, jumlah reksadana yang dicairkan investor mencapai Rp 9,3 triliun. Duit yang ditanam kembali di instrumen investasi yang tergolong masih baru bagi Indonesia ini hanya Rp 939,9 miliar. Dana total yang dikelola industri ini turun dari Rp 110 triliun menjadi hanya Rp 64 triliun.
Para manajer kelabakan. Aksi penjualan itu, atau sering disebut redemption, membuat mereka ngos-ngosan. Direktur Trimegah Sekuritas, Yulian Kusuma, mengatakan hanya punya duit cash lima persen dari total dana yang mereka kelola. Bisa dibayangkan kalau seluruh nasabah menarik dananya.
Dari mana harus mengais duit segar? Menjual obligasi yang menjadi aset investasi juga tak menjanjikan. Harganya melorot tajam dan likuiditas pasar juga kering karena duit banyak ditarik masuk ke perbankan untuk menambah giro wajib minimum. ”Sulit sekali menjual obligasi. Kalaupun ada, harganya diobral,” kata Yulian.
Trimegah menawarkan solusi persis BNI Securities. ”Daripada dijual murah, lebih baik obligasi itu dikandangin,” kata Yulian. Investor diminta tak menjual unit penyertaannya, dan menunggu sampai obligasi itu jatuh tempo. Hasilnya, kata Yulian, lumayan. Sekitar 70 persen nasabahnya setuju skenario ”penyelamatan” itu.
Kepala Biro Pengelolaan Investasi dan Riset Bapepam, Freddy Saragih, mengatakan Bapepam tak bisa berbuat apa-apa karena penyebabnya faktor eksternal dan makroekonomi yang tak bersahabat. Untungnya, kata dia, Bapepam sudah menetapkan mark to market atau penilaian nilai aktiva bersih atau nilai investasi berdasarkan harga pasar sejak awal tahun. ”Kalau tidak, mungkin jatuh lebih parah lagi karena tidak ada acuan,” katanya.
Gelombang pencairan reksadana sebenarnya sudah terjadi sejak April 2005. Ketika itu sebagian besar manajer investasi mulai menerapkan harga berdasarkan pasar, yang membuat nilai aktiva bersih, terutama yang ditanam pada obligasi, turun. Investor yang tak mengerti apa yang sedang terjadi panik dan ramai-ramai meminta duitnya kembali.
Kini, riak pencairan kembali menderas karena suku bunga naik dan pasar tak likuid. Direktur Mandiri Manajemen Investasi, Abiprayadi Riyanto, mengatakan pemerintah harus membantu karena sinyalnya sudah merah. Bank Indonesia sudah menunjukkan niat baiknya dengan membeli surat utang negara hampir Rp 3 triliun. Upaya itu cukup mendinginkan pasar obligasi, meski tak terlalu menolong.
Wakil Presiden Mandiri Investama, Denny Thaher, mengatakan aksi jual itu belum akan berakhir sampai fundamental ekonomi lebih stabil. Investor juga tak mengalihkan dananya ke reksadana saham yang relatif stabil dan menguntungkan. ”Kemungkinan, dana itu lari ke luar negeri atau capital flight,” katanya.
Mandiri Investasi juga tergerus. Sekitar 200-300 nasabah telah menarik duit mereka. Dana yang mereka kelola kini tinggal Rp 630 miliar, dari Rp 23 triliun pada Januari 2005. Abiprayadi memperkirakan pasar obligasi masih buruk sampai akhir tahun ini.
Menurut dia, badai yang bisa membuat industri ini ambruk belum berlalu, bahkan makin dekat jika tak ditangani dengan baik. Katanya, kalau rupiah terus melemah, yang membuat Bank Indonesia harus menaikkan sertifikat Bank Indonesia, reksadana terancam ambruk jika tak ditangani serius.
Leanika Tanjung, Yura Syahrul, Suliyanti Hutapea (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo