Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sejahtera setelah Terbuka

Blitar dan Sleman lebih maju dengan manajemen keuangan transparan terbuka. Diuji coba Bank Dunia.

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari 30 ribu pohon belimbing kini berbaris tertib di pekarangan penduduk Kota Blitar, Jawa Timur. Hampir 700 keluarga di kota itu punya pohon belimbing, 200 di antaranya masih tergolong baru. Dalam beberapa tahun terakhir, Wali Kota Blitar, Djarot Saiful Hidayat, memang sibuk berbelimbing-ria.

Penduduk Karangsari, satu kelurahan di Kecamatan Sukorejo, Blitar, sudah membuktikan betapa mustahaknya menanam belimbing. Sejak akhir 1970-an warga Karangsari getol menanam belimbing. Ketela pohon, yang semula banyak ditanam di sana, diganti belimbing.

”Saya memiliki lima pohon,” kata Sutriyadi, penduduk Karangsari. Setiap tahun, kata guru sebuah sekolah menengah pertama di Blitar itu, dia bisa panen sampai tiga kali, masing-masing lima kuintal. Jika harga sedang bagus, Sutriyadi bisa menangguk sekitar Rp 6 juta per tahun. Sukses Karangsari inilah yang hendak ditularkan ke kelurahan lain.

Tak puas dengan belimbing, Djarot mulai melirik durian. Pemerintah Kota Blitar bahkan sedang menyelesaikan master plan proyek durianisasi. ”Kami masih melakukan konsultasi ke Institut Pertanian Bogor,” kata Pak Wali, yang mantan dosen ini. Dia berharap kondisi tanah dan iklim Kota Blitar cocok untuk budi daya durian.

Djarot mendedahkan ihwal belimbing dan durian ini usai berbicara dalam lokakarya tentang metode pengukuran kinerja pemerintah daerah dalam manajemen keuangan publik, yang diselenggarakan Bank Dunia bersama Departemen Dalam Negeri, dua pekan lalu, di Denpasar, Bali. Bersama Kabupaten Sleman, Blitar dianggap sebagai pelopor penerapan manajemen keuangan yang transparan dan terbuka.

Hampir bersamaan dengan yang dilakukan Djarot di Blitar, Bupati Sleman Ibnu Subiyanto sibuk membagi-bagikan kambing kepada 1.400-an kelompok tani di daerahnya. Setiap kelompok mendapat kredit lunak berupa lima kambing, satu jantan empat betina. Dalam dua tahun, mereka harus mengembalikan pinjaman itu, juga dalam wujud kambing.

Tahun lalu, 4.000 kambing dibagikan dengan dana sekitar Rp 500 juta. Pada 2005, Sleman kembali membagikan 20 ribu kambing dengan anggaran Rp 4 miliar. Sebagian dibantu Bank Pembangunan Asia (ADB), sebagian lagi dibiayai APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah). ”Hasilnya lumayan,” kata Ibnu.

Targetnya, dalam lima tahun jumlah kambing di Sleman akan sama dengan jumlah penduduknya yang kini hampir 900 ribu orang. Jika terwujud, nilai kambing di Sleman akan mencapai sekitar Rp 130 miliar, berlipat-lipat lebih besar dari modal yang dikeluarkan.

Yang dilakukan Djarot dan Ibnu hanya sebagian kecil upaya mereka menggali potensi daerah yang terbatas. Kedua daerah ini tak memiliki sumber daya alam andalan. Hasilnya, pendapatan asli daerah (PAD) Sleman naik empat kali dalam empat tahun. Sementara pada 2001 masih sekitar Rp 15 miliar, tahun lalu sudah Rp 60 miliar.

Blitar lebih mencengangkan. PAD Blitar naik enam kali, dari Rp 3 miliar (2001) menjadi Rp 18 miliar pada tahun lalu. Menurut Djarot, selain meningkatkan pendapatan masyarakat, dia juga mendorong transparansi dan keterbukaan anggaran.

Anggaran disusun dari bawah. Masyarakat diminta mengusulkan proyek di wilayahnya masing-masing. Setelah digodok bersama DPRD, keluarlah APBD. Setelah itu, anggaran didesentralisasi ke kecamatan, puskesmas, dan sekolah. Setiap kecamatan di Blitar, misalnya, memperoleh dana Rp 3 miliar, separuhnya merupakan anggaran pembangunan.

Sleman pun melakukan hal yang sama. Kata Ibnu, Pemerintah Kabupaten Sleman membagikan dana gotong-royong ke 1.200 dusun untuk memancing partisipasi masyarakat. Pada 2001, jatah itu masih sekitar Rp 1 juta. Tahun ini naik jadi Rp 2,5 juta. ”Mereka kita minta bikin proposal, berapa besar yang diminta dan untuk apa,” kata Ibnu.

Dia menceritakan, ada satu dusun yang berhasil membangun pos keamanan lingkungan dengan biaya Rp 14 juta. Padahal dana dari Pemda Sleman hanya Rp 2 juta. Model yang sama berlangsung di hampir semua dusun. Dengan pola seperti itu, masyarakat tergerak mengawasi pengumpulan dan penggunaan dana.

Dalam soal transparansi, Sleman bahkan lebih maju. Pada akhir Juni tahun lalu, Pemerintah Kabupaten Sleman memasang laporan keuangan di dua koran nasional dan satu koran lokal. ”Kami ingin segala sesuatu mengenai keuangan daerah diketahui masyarakat, baik penduduk Sleman sendiri maupun para investor,” kata Ibnu.

Tak mengherankan jika Bank Dunia menjadikan Kota Blitar dan Kabupaten Sleman dua daerah uji coba proyek pengukuran manajemen finansial pemerintahan lokal. Jessica Ludwig dari Bank Dunia mengungkapkan, kedua daerah dipilih karena dinilai progresif melakukan reformasi pengelolaan keuangan sejak 2000. ”Dua daerah itu dipilih dari 100 daerah yang kita survei,” kata Rajiv Sondi, spesialis manajemen keuangan senior Bank Dunia di Jakarta.

Dalam suratnya kepada Ibnu, pertengahan Agustus lalu, Rajiv menyebut Sleman sebagai tolok ukur (benchmarking) pencapaian praktek terbaik dalam bidang pengelolaan keuangan daerah. Bank Dunia juga mensyaratkan kedua daerah yang dijadikan proyek percontohan itu punya komitmen untuk terus menjalankan reformasi.

Keterbukaan yang dikembangkan dua daerah itu tak bisa dilepaskan dari sosok Djarot dan Ibnu. Sebelum menjadi Wali Kota Blitar, Djarot dosen di Universitas 17 Agustus Surabaya, juga anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PDI Perjuangan. Saat ini, lulusan Fakultas Administrasi Universitas Brawijaya itu sedang menyelesaikan program S-3 di universitas yang sama.

”Alasan utama saya jadi Wali Kota Blitar adalah karena saya sangat berambisi menjadikan Blitar satu-satunya laboratorium otonomi daerah,” katanya. Dengan kuatnya sistem sentralistis, katanya, daerah menjadi tidak punya daya kreativitas dan hal itu memicu terjadinya banyak korupsi.

Hal yang sama dikemukakan Ibnu. Akuntan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini yakin, dengan keterbukaan, korupsi lebih mudah diperangi.

M. Taufiqurohman, Rinny Srihartini, Syaiful Amin (Sleman), Dwijo Maksum (Blitar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus