Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah terus tertekan sejak penutupan perdagangan Jumat kemarin, 28 Februari 2025 kemarin yang telah mencapai Rp 16.520 per dolar AS. Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi memperingatkan jika tren ini terus berlanjut, nilai rupiah berpotensi menyentuh level Rp 17.000 per dolar AS dalam waktu dekat. Setidaknya dalam bulan Maret ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ibrahim, pelemahan rupiah ini di antaranya karena sejumlah masalah internal turut membebani. Ia menyoroti kasus dugaan pengoplosan BBM oleh Pertamina yang sedang diusut Kejaksaan Agung dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun untuk satu tahun saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus korupsi tata kelola minyak mentah yang dilakukan sejak 2018 hingga 2023 disebut-sebut menimbulkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah. Skandal ini, kata Ibrahim, dinilai berdampak buruk terhadap kepercayaan investor.
Selain itu, sektor industri nasional juga menghadapi tantangan besar. Banyak perusahaan tekstil dan infrastruktur berguguran, sementara sektor otomotif pun mengalami perlambatan dengan banyaknya PHK karyawan. Kondisi ini menggerus daya beli masyarakat dan memperlemah konsumsi domestik.
“Banyak kelas menengah yang kini hanya mengandalkan tabungan untuk biaya hidup, karena lapangan pekerjaan semakin sempit,” kata Ibrahim saat dihubungi, Sabtu, 1 Maret 2025.
Selain faktor internal, Ibrahim mengatakan pelemahan rupiah saat ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang akan mengenakan tarif impor tambahan sebesar 10 persen ke Cina, Eropa, Kanada, dan Meksiko pada 4 Maret 2025, membuat indeks dolar terus menguat.
Selain itu, inflasi yang masih tinggi di Amerika Serikat serta kemungkinan Bank Sentral AS mempertahankan suku bunga tinggi dalam jangka panjang turut memberi tekanan terhadap mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah.
“Jika Trump terpilih kembali dan perang dagang terus didengungkan, maka ada kemungkinan besar suku bunga AS tetap tinggi selama empat tahun ke depan,” ujar Ibrahim.
Dari sisi geopolitik, tensi yang meningkat di Timur Tengah juga menjadi faktor pelemahan rupiah. Ibrahim menyoroti konflik antara Israel dan Palestina, di mana ada rencana Israel untuk menduduki Gaza selama 7–8 tahun sebelum dikembalikan ke Palestina. Ketegangan ini berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi global, termasuk Indonesia.