SEMAKIN lebar sayap seekor burung konon, semakin lamban gerak terbangnya. Tidak terkecuali burung-burung milik Garuda. Itulah sebabnya direktur utama Garuda Indonesia yang baru, Mochamad Soeparno, membantah berita-berita belakangan yang menyatakan bahwa perusahaan akan menambah armadanya dengan membeli dua unit pesawat baru, Boeing 747 dan Fokker 28. "Sampai saat ini kami belum punya niat untuk membeli pesawat baru," katanya, sebulan setelah memegang kemudi. Direktur utama yang baru digantikannya, Lumenta, sebelumnya memang merencanakan membeli secara bertahap - sampai 1992 - 11 unit Fokker 28 untuk penerbangan lokal dan 12 Boeing 737 untuk penerbangan internasional. Tapi Soeparno, rupanya, "menganulir" rencana tersebut. "Sebelum investasi, kita harus melihat dulu, apakah yang ada sudah digunakan secara optimal atau belum," katanya. Armada yang ada, 67 pesawat, katanya masih bisa ditingkatkan eksplolasinya. Kursi-kursi di penerbangan lokal, misalnya, rata-rata baru mencapai 55%-60%. Sedangkan pada penerbangan internasional baru mencapai sekitar 65%. Jadi, ujar Soeparno, "Sebaiknya Garuda lebih mengefektifkan pesawat yang sudah ada dulu." Untuk itu, Garuda kini membentuk tim khusus, yang memantau kegiatan operasional. Selama ini deras keluhan mengenai pelayanan awak darat. Tiket yang sudah di-"OK" melalui biro perjalanan, misalnya, dibilang belum oleh petugas di terminal. Setelah ribut, akhirnya penumpang bisa ikut terbang, dan di atas mereka jadi terheran-heran: masih banyak tempat duduk yang kosong. "Hal-hal seperti itulah yang akan kami atasi," kata Soeparno. Dalam beberapa hal, memang, Soeparno harus melanjutkan langkah Lumenta yang ternyata, tak hanya bisa menekan kerugian bahkan membuat Garuda untung hampir Rp 300 juta. Soeparno belum menjanjikan akan membuat laba berapa tahun ini. Tapi, melihat meningkatnya kegiatan ekonomi, "Yang pasti situasinya tidak terlalu merisaukan," ujarnya. Memang, buat Soeparno, start-nya sudah lumayan. Utang Garuda sudah menyusut "tinggal" Rp 897,3 milyar, pendapatan dari operasi setiap tahunnya, sejak 1984, tumbuh rata-rata 12% sehingga tahun lalu terkumpul sekitar Rp 1,3 trilyun. Salah seorang pejabat Garuda mengungkapkan, naiknya pendapatan itu sebagian besar, sekitar 65%, diperoleh dari operasi penerbangan internasional. Kusutnya nilai dolar terhadap yen, rupanya, ada hikmahnya juga buat Garuda. Membaiknya tingkat pengisian kursi di jalur internasional itu menggoda Garuda untuk menambah frekuensi penerbangannya ke luar negeri, seperti ke Tokyo, dari 7 menjadi 14 kali seminggu, atau dari 13 menjadi 16 kali seminggu ke Eropa. Apakah untuk menambah frekuensi itu tidak perlu menambah pesawat? "Sebenarnya perlu," ujar pejabat tadi. Tapi, mungkin 'kan tak harus beli, cukup menyewa seperti yang dilakukan Garuda di setiap musim haji. Budi Kusumah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini