Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rame-rame ke fm

Persaingan pemancar radio di jalur AM semakin padat. Belasan pemancar mulai masuk ke FM dengan harapan permintaan iklan meningkat. Misalnya: Remaco di Jakarta, Radio Jatayu di Semarang.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISA dipastikan, siaran radio swasta mempertahankan hidupnya dengan berniaga iklan. Sekitar 400 pemancar di seluruh Indonesia bersaing, berlomba merebut kuping pendengar agar betah mendengarkan pesan sponsor, dengan menyuguhkan berbagai acara di sela-sela kewajiban merilei warta berita RRI. Keras bersaing di gelombang AM (Amplitude Modulation), satu-satu mengudara di FM (Frequeny Modulation), agar variasi acara dan iklan lebih merdu ditangkap telinga. Kini ada 10 pemancar FM tersebar di Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, dan Batam. Suara Irama Indah, dipancarkan dari Hotel Sahid di Jakarta, yang pertama memakai jalur elite itu di 101,25 pada 1974. Belakangan Prambors, dari stasiunnya di Jalan Borobudur, Jakarta, berada di jalur itu, 102,3 mHz, dalam "masa percobaan" bersama 16 pemancar lainnya yang sedang diproses izinnya untuk menempati rentang 100--108 mHz. Radio Jatayu di Semarang, yang selama ini mapan di gelombang AM, sejak Desember mulai coba-coba di FM. Pimpinan Jatayu, Soeharsoyo, menjanjikan kepada pendengarnya bahwa Maret nanti siarannya sudah bisa merdu dimonitor di gelombang FM. Radio Oz, Bandung, bulan depan juga akan mengudara penuh di FM. Menurut pimpinannya, Ganjar Suwargani, untuk ke FM lumayan juga biayanya: sekitar 170 juta untuk perangkat kerasnya saja. Tapi hasilnya dari iklan diharapkan juga akan bertambah. Tarif iklan Oz sekarang Rp 60,00 per detik atau Rp 5.000,00 per spot. Apakah berada di jalur FM, selain tampak lebih gagah, juga merupakan jaminan akan dibanjiri iklan dan boleh memasang tarif lebih mahal? Dengan tarif tinggi, Rp 15.000,00 per menit, Suara Irama Indah menyatakan bahwa siaran komersialnya rata-rata menghasilkan Rp 45 juta per bulan. Tapi radio Bahana, yang sejak mengudara, 1983, sudah di frekuensi 101,9 mHz, merasa belum berhasil menjual seluruh jam siaran komersialnya dengan tarif kurang lebih Rp 250,00 per detik. Kendati kemarin-kemarin ini saingannya baru dua, Irama Indah dan Ramaco, penanggung jawab siaran Bahana, Yoes Ariawan Azis, menyatakan bahwa jam siarannya yang terjual baru 6-8%. Sedang Elshinta, yang sejak 1969 betah di frekuensi 1368 kHz, berhasil mengisi 60% dari jam siaran komersialnya. Tarifnya Rp 175,00 sampai Rp 250,00 per detik. Semula, ia memang tergoda untuk ikut naik ke jalur megah stereo, tapi belakangan tekad dibulatkan untuk tetap tinggal di jalur lamanya setelah permintaan untuk pindah ke FM ditolak. "Bukan FM atau AM yang menentukan radio itu disukai pendengar atau tidak," kata Pingkan Warouw, GM Elshinta, akhirnya. "Yang penting, mutu siarannya," katanya lagi. Dengan menjanjikan mutu siaran itu pula beberapa pemancar merasa mantap di AM. Radio Unisi, yang didirikan mahasiswa Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, misalnya, merasa cukup puas di jalur yang sekarang. Tarif iklannya cuma Rp 50,00 per detik atau Rp 3.000,00 per spot. Penghasilan per bulan mereka yang di AM rata-rata Rp 15 juta. Dengan semakin serunya persaingan di jalur AM, yang kurang sigap mengatur dan membuat acara baru pasti akan tergeser atau keluar jalur sama sekali. Sedangkan untuk keluar dari sana, ke medan persaingan yang lebih sempit di FM, mahal biayanya dan njelimet liku-liku mengurus izinnya. Lima tahun yang lalu O.H. Siahaan pernah mencoba memindahkan gelombang radionya, Mersidonia, ke FM. Tapi segera mundur teratur setelah kebentur biaya. Retjo Buntung di Yogya tak mau buru-buru pindah gelombang. Esti Priatno, yang mengurus siaran di situ, menyatakan bahwa lebih banyak pendengar radionya yang menyarankan agar tetap di jalur AM. "Malah ada pendengar kami yang tidak tahu apa itu FM," ujar Esti, tertawa, sambil menyimpulkan bahwa telinga masyarakat Yogyakarta belum siap mendengarkan siaran melalui FM yang stereo itu. Atau karena belum pernah mendengar saja bahwa suara gending atau mocopatan lebih nyamleng dinikmati melalui gelombang FM?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus