Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dilema Amerika

Defisit neraca perdagangan AS mulai bisa ditekan. Para spekulan mulai memborong saham dibursa. Neraca perdagangan as ditekan untuk menolong negara berkembang. Jepang & eropa hanya mau menjual barang.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU lonceng berbunyi, bursa-=bursa saham di New York, Paris, London, dan Tokyo hiruk-pikuk. Pusat-pusat keuangan internasional kembali panik, Senin pekan lalu itu, meski suasananya berbeda dengan "Senin Hitam 19 Oktober". Tempo hari, orang berlomba-lomba menjual saham, sampai-sampai berbagai kertas berharga terbanting nilainya. Kali ini sebaliknya: mereka memperebutkan "benda spekulatif" yang selama tiga bulan terakhir ini terkapar di ubin bursa. Semua itu berpangkal dari pengumuman dari Washington, Jumat sebelumnya, yang menyatakan bahwa defisit neraca perdagangan untuk November 1987 "hanya" 13 milyar dolar. Memang, ekspor berbagai komoditi menghasilkan devisa 23,8 milyar dolar, atau naik 9,4% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan nilai impornya tercatat 37,2 milyar dolar, pada bulan yang sama, atau turun 6% dari bulan sebelumnya. Industri manufaktur, yang pernah menjerit kejepit barang-barang impor, memang mulai bangkit dan bahkan mampu bersaing di pasar luar negeri. Sebagian besar, 16,2 milyar dolar (68%), dari nilai ekspor di bulan November lalu itu diperoleh dari penjualan produk-produk industri manufaktur. Sehingga, defisit perdagangan dengan Jepang, misalnya, turun 18%, dari 5,9 milyar dolar menjadi 4,8 milyar dolar, sedangkan dengan negara-negara Eropa Barat secara global menciut 20%, dari 3 milyar dolar menjadi 2,4 milyar dolar. Pesaing barang-barang AS, jelas, produk dari negara-negara yang terkena ekonomi biaya tinggi, karena menguatnya mata uang mereka sendiri. Jepang terang nomor satu. Apalagi di pasar dalam negeri. Ada gejala, pusat-pusat belanja murah meriah muncul, terutama di beberapa kota di pantai barat. Pembelinya . . . orang Asia. Orang Jepang dan Taiwan, yang mata, uangnya sangat bernilai di mata dolar, kini suka berbelanja ke San Francisco. Salah seorang pimpinan Neiman-Marcus di San Francisco, mewakili pengusaha toko di sana, menyatakan keheranannya - sekaligus gembira, tentunya - menangkap gejala baru itu. "Tak lazim orang Asia memborong kosmetik - sampai ada yang menghabiskan dua ribu dolar hanya untuk membeli lipstik," katanya. Kendati barang-barang AS sudah mulai bisa bersaing dengan produk Jepang dan Eropa, sebagian pengamat ekonomi internasional belum yakin benar, kepincangan perdagangan negara itu akan pulih dalam waktu dekat. Pemerintah tujuh negara-negara terkemuka, G-7, organisasi 20 negara industri terkemuka, OECD sampai dengan Dana Moneter Internasional serasa kehabisan akal bagaimana menyehatkan perdagangan negeri maju itu. Masalahnya, defisit sudah mencapai 160 milyar dolar lebih, dan sesungguhnya hal itu bukan tanggung jawab orang Amerika sepenuhnya. Taruh kata. pemerintah punya target menekan defisit selama lima tahun, setidaknya harus mengurangi Impor senilai tak kurang dari 30 milyar dolar setahun. Berapa negara akan solot karena kehilangan pasar? Sebaliknya, bila ekspor digenjot sampai harus menghasilkan devisa 30 milyar dolar setahun, perang harga pasti akan merusakkan suasana pasar. Dilema Amerika itu, tentunya, belum berakhir dengan sedikit membaiknya defisit di bulan November lalu. Tapi, rupanya, para spekulan punya perhitungan lain. Neraca perdagangan November itu dianggap titik mulai kesanggupan pemerintah sedikit demi sedikit menekan defisit. Artinya, nilai dolar dan berbagai kertas berharga pun point demi point diharapkan naik juga. Nah, kapan lagi saatnya memborong, kalau bukan sekarang - mumpung harga masih di titik terendah ? Jelas masih spekulatif sifatnya. Tapi, nyatanya, dolar di mata mata-uang asing mulai naik kursnya. Senin pekan silam, misalnya, naik 4% terhadap yen (per satu dolar menjadi 130 yen), dan menguat 3,5% terhadap DM (menjadi 1,6875). Saham di berbagai bursa internasional juga laris. Harganya Juga mulal terkerek ke atas. Apalagi orang Amerika sendiri tampaknya juga tak terlalu ambil pusing dengan neraca perdagangannya yang timpang. Apa sih artinya defisit, yang diperkirakan mencapai 170 milyar dolar sampai akhir Desember, untuk negara yang "omset" ekonominya sekitar 4 trilyun dolar? Presiden Reagan sendiri mengatakan, awal bulan, bahwa neraca perdagangan negaranya itu dikorbankan untuk menolong negara-negara berkembang. Yang bikin runyam, katanya, lemahnya pertumbuhan ekonomi Jepang dan negara-negara Eropa dibanding AS. Pendapat itu dibenarkan oleh sebagian ahli ekonomi internasional. Dikatakan, negara-negara yang disebut Reagan itu tidak mampu memompa pasar di dalam negeri, sehingga kemungkinan besar pemasaran hasil mdustri mereka akan mandek. Lihat saja dua tahun yang akan datang, bila keadaan demikian dibiarkan terus, dan melulu menjagakan pasar ekspor. Para pejabat di OECD juga berpendapat begitu. Hanya Jepang yang dilihatnya cukup berupaya menggerakkan pasar di dalam negeri. Diperkirakan, dua tahun mendatang permintaan pasar dalam negeri Jepang akan tumbuh 3-4%, sedangkan di Eropa Barat kemungkinan hanya 2%. Indonesia, yang sedang galak-galaknya mengekspor komoditi nonmigas, tidak disinggung-singgung. Tampaknya, selagi rupiah masih dikaitkan pada dolar, para pengusaha boleh berharap bahwa pasar komoditi primer dan semiindustri masih akan mendapatkan tempat di pasar mana-mana. Tinggal memilih mana yang terbaik: AS, atau Jepang, yang masih akan mengalami pertumbuhan permintaan 3-4%, atau Eropa Barat yang terancam masuk pintu resesi. Max Wangkar (laporan kantor berita internasional)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus