"GALI lubang tutup lubang" bukan lagi semboyan milik perusahaan miskin. PT Jasa Marga, yang tahun ini punya tabunan sekitar Rp 31,7 milyar, ternyata juga mempraktekkannya. Perusahaan milik Departemen PU itu tahun ini harus "meminjam" dana lagi dari masyarakat, untuk membayar "utang" lamanya yang juga kepada masyarakat. Obligasi berjangka lima tahun perusahaan jalan tol itu memang tahun ini jatuh temponya. Direktur Keuangan dan Akuntansi PT Jasa Marga, Sriono, mengakui bahwa tabungan yang ada jelas tidak cukup untuk membayar obligasi seri I dan II yang bernilai Rp 63,7 milyar. Tetapi masyarakat pemegang obligasi, atau sertifikat pecahannya yang dikeluarkan Danareksa, tak perlu khawatir. Jasa Marga pasti masih ingin mempertahankan kepercayaan masyarakat. Jasa Marga memang akan menerbitkan obligasi baru senilai Rp 110 milyar. Sekarang ini izinnya sedang diurus di Departemen Keuangan. "Sebagian dari dana itu, Rp 32 milyar, akan dipergunakan untuk menutupi kekurangan menebus obligasi yang jatuh tempo," kata Sriono kepada TEMPO, Senin lalu. Selebihnya untuk membiayai proyek jalan tol baru Grogol-Semanggi, Jakarta-Cikampek, dan Padalarang-Bandung Cileunyi. Selain ketiga proyek itu, Jasa Marga masih merencanakan membangun jalan tol Tangerang-Merak, Cawang-Priok, Surabaya-Gresik, Cikampek-Cirebon Cikampek-Padalarang, dan Medan-Binjai. Semuanya akan dimulai tahun ini. Biayanya sekitar Rp 3 trilyun. Keenam jalan tol yang disebut terakhir itu nantinya akan dikelola swasta. Menurut Sriono, biaya pembangunannya akan ditanggung kontraktor asing dan nasional, masing-masing Rp 1,5 trilyun. Jasa Marga, yang bakal bertindak sebagai pengawas, akan ikut menyertakan modal - besarnya tergantung kesepakatan dengan pihak swasta. Untuk jalan Tangerang-Merak, misalnya, Jasa Marga akan menyertakan modal 40% dari - dari rencana investasi 35 juta dolar dalam usaha patungan antara Dywidag (Jerman Barat) dan Humpuss Hanurata (Indonesia). Dari mana lagi duitnya kalau bukan dengan menjual obligasi baru? Perusahaan raksasa itu kini memang terlilit utang cukup besar. Kekayaannya, yang tercatat sekitar Rp 800 milyar di akhir 1987, hampir separuhnya, Rp 393 milyar, merupakan obligasi. "Jadi, keuntungan yang dipungut Jasa Marga di pintu-pintu tol praktis sudah tergadaikan," gurau Sriono. Direktur yang suka bergurau itu mengakui bahwa posisi Jasa Marga kini lebih sulit dalam berunding dengan perusahaan-perusahaan penjamin emisi obligasi dan agen penjual. Sebab, semakin besar utang yang akan dibuat, tentu saja semakin memberatkan penjamin, under? eriter, yang harus membeli sisa obligasi bila tidak habis terjual. Sebaliknya, para penjamin bakal menerima komisi besar, sehinggaJasa Marga harus ulet menekan komisi yang selama ini berkisar 2%-2,5% dari nilai obligasi yang hendak dlkeluarkan. Perundingan yang alot itu menyebabkan, antara lain, proyek Tangerang-Merak yang sudah ditangani sejak awal 1987 sampai sekarang belum bisa dikeluarkan obligasinya. Pembiayaan proyek ini, bersama lima proyek yang bakal menelan investasi Rp 3 trilyun tersebut, akan dicari di bursa paralel. Direksi Jasa Marga, tentu saja, menyambut baik deregulasi pasar modal 24 Desember. Selain semuanya akan cepat beres, yang agak lumayan, akan terbebas dari biaya pendaftaran - sebelumnya Bapepam mengutip 0,5 permil dari nilai obligasi. Kalau boleh, direksi BUMN itu mengharapkan ketentuan yang lebih menarik, misalnya masa obligasi bisa lebih dari lima tahun. "Obligasi untuk membangun jalan, baiknya berkisar 20- 55 tahun, seperti di Jepang dan Amerika," kata Sriono. Kalau bisa begitu, memang, Jasa Marga tak perlu harus gali lubang tutup lubang seperti sekarang. Bahkan bisa rapi meratakan lubang dan gelombang di jalan tol. M.W. (Laporan Bachtiar Abdullah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini