TAMAN rekreasi Sengkaling, di pinggir Kota Malang, tampak luar biasa meriah. Ada tumpeng besar, diiringi dayang-dayang jelita yang menyeberangi danau buatan dengan perahu. Puncaknya, ratusan kembang api mewarnai langit malam, Minggu dua pekan silam. Itulah pesta ulang tahun ke-60 rokok Bentoel. Banyak orang penting menyempatkan hadir. Ada Direktur Bank Rakyat Indonesia Kamardy Arief, di samping Shigeyosi Akaike, Direktur Bank of Tokyo, dari Jepang. Buat pabrik rokok Bentoel, ulang tahun ini memang layak dipestakan besarbesaran. Tapi Budhiwidjaya Kusumanegara lebih suka merendah. "Mereka yang minta supaya kami bikin acara meriah," tutur Presiden Direktur Bentoel ini, sambil menunjuk para undangan VIP itu. Meskipun belum menjadi pabrik rokok terbesar di Indonesia, Bentoel sekarang nomor tiga terbesar, dengan produksi 14 milyar batang setahun. Itu merupakan 17 persen dari seluruh pangsa pasar. "Sayang, padahal Bentoel pernah menjadi yang paling kencang larinya," kata Ir. Yani, salah seorang direkturnya. Terpenting dari sejarahnya yang 60 tahun itu adalah kepeloporan Bentoel dalam penggunaan mesin. Inilah yang dimaksud Yani dengan lari paling kencang. Jauh mendahului yang lain, Bentoel pada 1956 sudah menggunakan mesin untuk mencampur bahan bakunya. Penanaman modal pada mesin modern ini semakin ditingkatkan, dua belas tahun kemudian. Proses pelintingan juga dilakukan oleh mesin. Produksi pun melejit. Pada 1968, produksi Bentoel sudah mencapai 1,6 milyar batang setahun, sementara Gudang Garam ketika itu baru 618 juta batang. Tapi penggunaan mesin itu ternyata menjadi bumerang. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan 2-1 (tahun 1978), Bentoel terpukul hebat. Lewat kebijaksanaan itu, pemerintah mengharuskan pabrik rokok agar memproduksi sigaret bikinan tangan dua kali lipat lebih banyak dibanding sigaret mesin. Maksudnya jelas, untuk melindungi buruh, agar mereka tak kehilangan pekerjaan. Justru waktu itu, Bentoel hampir meninggalkan proses kerja tangan itu. Mesin harus menganggur dan Bentoel harus megap-megap. Pelan-pelan Bentoel merosot dari posisinya sebagai market leader. Kesulitan datang silih berganti. Dan itu semua gara gara mesin yang "dipaksa" mubazir. "Kalau tak mikir nasib karyawan, rasanya ingin menutup pabrik saja saat itu," kata Yani lagi, mengenang kepahitan masa lampau. Tapi Bentoel tidak ditutup. Bahkan jadi lebih kuat sesudah mengalami cobaan berat. Didirikan oleh Ong Hok Liong pada 1930, cikal bakal Bentoel lebih pantas disebut industri rumahan. "Karyawannya cuma puluhan," kata Budhiwidjaya, yang sekarang sudah berusia 67 tahun. Ong, seorang pedagang tembakau asal Bojonegoro, memulainya dengan bermacam-macam merk. Dari Kelabang sampai Jeruk Manis. Dan pabrik yang cuma menghasilkan rokok klobot itu kembang kempis. Sekarang, sisa-sisa penderitaan masih berbekas, tapi Bentoel sudah menemukan kekuatannya kembali. Perusahaan itu berdiri kukuh. Karyawannya 18 ribu, dengan pabrik seluas 25 ha di kawasan Klojen, Malang. Bentoel kian jaya, sejak dia berhasil mengantungi lisensi Phillip Morris untuk rokok Marlboro (1982). Bentoel bisa memproduksi rokok putih dengan gaya koboi Amerika ini, sampai 1,2 milyar batang setahun. Ekspor pun bisa digenjot -- saat ini mencapai US$ 2 juta setahun. Dan Bentoel tetap setia pada industri rokok dengan sektor-sektor lain yang langsung terkait. Misalnya kertas dan kotak alias kemasan. Terakhir, 1984, Bentoel mendirikan pabrik kertas industri dengan kapasitas 30 ribu ton sebulan. "Soalnya, kami belum ingin jadi konglomerat," kata Yani. Jalil Hakim (Surabaya), YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini