Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Nunukan - Pembudidaya rumput laut di Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara mengeluhkan pencemaran air laut yang membuat produksi anjlok sejak awal tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Kamaruddin, salah seorang pembudidaya rumput laut, belum ada tindakan tegas dari aparat hukum terkait dugaan pencemaran air laut karena limbah bahan bakar minyak (BBM) jenis oli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Padahal kejadian ini telah berlangsung sejak Januari 2019 hingga saat ini yang menyebabkan rumput laut berubah warna sehingga rusak dan cepat patah dari talinya," kata dia seperti yang dilansir dari Antara, Kamis 3 Oktober 2019.
Kamaruddin tidak menuding limbah atau tumpahan oli berasal dari perusahaan terdekat atau ada kesengajaan dari oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Dia meminta kesadaran oknum atau perusahaan agar membuang limbah pada tempatnya agar tidak merusak rumput laut yang bertebaran di laut.
Akibat limbah BBM inilah, kata dia, rumput laut banyak yang berubah warna menjadi putih dan hitam mirip terbajar dan dicat.
Kondisi ini membuat petani rumput laut mengurangi jumlah bentangan tali agar tidak rugi besar.
"Pengurangan bentangan tali tersebut dipastikan menurunkan produksi setiap masa panen," ujar dia.
Ia berharap perusahaan atau nelayan lainnya agar tidak membuang bekas BBM di laut.
Kamarudin memperkirakan produksi rumput laut di Kabupaten Nunukan turun 40 persen dari total produksi 3.000 ton tiap bulan sejak adanya tumpahan BBM bekas.