Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CAPLOK-mencaplok stasiun televisi swasta tampaknya kini lagi musim. Setelah TV 7 milik Kelompok Kompas-Gramedia ”dilahap” Trans TV kepunyaan Chairul Tanjung pada Juli lalu, kabar serupa kini menerpa Indosiar milik Grup Salim. Stasiun ”cap ikan terbang” ini santer disebut-sebut bakal segera diakuisisi atau digabung dengan stasiun televisi swasta lainnya.
Di lantai bursa sudah beredar dua nama calon peminang: Trans TV dan SCTV. Gara-garanya, terbetik kabar PT Indosiar Karya Media Tbk., induk PT Indosiar Visual Mandiri, bakal segera melakukan rights issue alias menawarkan saham baru kepada para investor. Dana hasil penjualan saham itu akan dipakai melunasi utang obligasi Rp 696 miliar, yang jatuh tempo pada Agustus 2008.
Direktur Keuangan Indosiar, Phiong Phillipus Darma, membantah telah dilirik stasiun televisi lain. Namun tak berarti ia menutup pintu. ”Kalau memang ada yang tertarik, ujung-ujungnya kan valuasi.” Tinggal persoalannya, kata orang lama kepercayaan Grup Salim ini kepada Yuliawati dari Tempo, ”Sampai sejauh mana tawaran itu menarik.”
Pernyataannya yang dimuat Koran Tempo 13 November itu kian meruapkan spekulasi bahwa rencana akuisisi Indosiar tinggal sejengkal. Sadar ini bisa menjadi bola liar, keesokan harinya Phiong buru-buru memberikan klarifikasi kepada Bursa Efek Jakarta. Ditegaskannya kembali, manajemen Indosiar belum melakukan pembicaraan dengan pihak mana pun soal kemungkinan akuisisi.
Lagi pula, kata Phiong, dalam surat sepekan sebelumnya, rencana pelunasan obligasi lewat rights issue, pembiayaan dari bank (refinancing), ataupun kombinasi keduanya, baru sebatas opsi yang akan diusulkan jajaran direksi Indosiar kepada komisaris dan pemegang saham. Itu pun jika kondisi keuangan perusahaan sudah sangat payah.
Kabar penjualan Indosiar sesungguhnya bukan baru sekali ini. Sebelum menggaet TV 7, malah Trans TV sudah lebih dulu digosipkan bakal disandingkan dengan Indosiar. Kedua stasiun televisi ini konon sama-sama punya kaitan dengan Salim. Seorang bankir investasi membisikkan, Salim sesungguhnya punya saham di induk perusahaan Grup Para kepunyaan Chairul.
Dalam wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu, Chairul membantah kabar ini. Namun ia tak memungkiri punya kedekatan khusus dan bermitra bisnis dengan Grup Salim. Semua berawal dari uluran tangannya, ketika Bank Central Asia diserbu nasabah, sewindu silam.
Sayang, rencana sinergi ini kandas di tengah jalan. Menurut bankir tadi, salah satu ganjalannya soal valuasi saham kedua perusahaan saat dilakukan penggabungan atau merger. ”Indosiar keberatan karena sahamnya dinilai kelewat murah,” ujarnya. Apalagi sekarang, ketika Trans TV sudah menggandeng TV 7. ”Nilai saham kedua perusahaan bakal semakin jomplang.”
Bisa jadi itu pula sebabnya, seperti diungkap Direktur Utama Trans TV, Ishadi S.K., PT Televisi Transformasi Indonesia masih belum berniat mengakuisisi Indosiar ataupun berekspansi membeli perusahaan televisi lainnya. Kepada Budi Riza dari Tempo, ia menjelaskan perusahaannya masih terfokus pada upaya konsolidasi setelah mengakuisisi TV7.
Pernyataan bernada sama diungkapkan Sekretaris Perusahaan PT Surya Citra Media Tbk., Hardijanto Saroso. Meski diakuinya bahwa melirik peluang bergabung dengan stasiun televisi lainnya juga dilakukan induk SCTV ini, pihaknya belum pada ujung kesimpulan bahwa langkah itu harus segera dilakukan. ”Itu tidak mudah,” katanya. ”Sebab, kami bertarung di pasar yang hampir sama.”
Dalam kasus Indosiar, ia mencontohkan, segmen pasarnya tak jauh beda dengan SCTV, yang membidik pemirsa kelas B, C, dan D. Karena itu, ia tak terlalu yakin langkah konsolidasi akan langsung meluaskan pangsa pasarnya. ”Kuncinya lebih pada persoalan programming,” kata Hardijanto.
Buat Erwan Teguh, proses konsolidasi atau penciutan jumlah stasiun televisi swasta nasional di Indonesia sulit dihindari. Alasannya, kata Kepala Riset PT Danareksa Sekuritas ini, bisnis layar kaca tergolong rakus dana. Padahal, pertumbuhan kue iklan tak cukup pesat untuk bisa dibagi rata di antara 10 stasiun televisi itu.
Akibatnya, perang tarif iklan tak terhindarkan. Dan buntutnya, tingkat pertumbuhan industri televisi, yang selama 1999-2002 melesat mencapai 30 persen per tahun, mulai tahun berikutnya langsung drop hingga 15-20 persen. Dominasi pangsa pasar tiga stasiun televisi teratas (Indosiar, RCTI, dan SCTV) pun tergerus dari semula sekitar 67 persen menjadi tinggal 60 persen. ”Masalahnya, siapkah para pemilik televisi melepas gengsinya,” ujarnya.
Jika ditilik dari komposisi kepemilikan televisi swasta saat ini, tinggal tiga stasiun televisi yang masih berdiri sendiri: SCTV, Indosiar, dan Metro TV. Sisanya terbagi dalam tiga kelompok bisnis: Grup Bimantara di bawah bendera PT Media Nusantara Citra (RCTI, Global TV, dan TPI), Grup Bakrie (ANTV, Lativi), dan Grup Para (Trans TV, TV7).
Dari ketiga single fighter itu, menurut Mulya Chandra, analis Danareksa lainnya, SCTV dan Indosiar merupakan target akuisisi yang potensial. ”Berdiri sendiri dan melawan kelompok yang sudah terbentuk jelas bukan strategi yang tepat buat mereka,” ujarnya. Dan jika melihat kinerja keuangannya, SCTV tampaknya punya peluang lebih baik untuk dipinang, ketimbang Indosiar.
Menurut Mulya, konsolidasi bakal mendatangkan efisiensi. Nikmat inilah yang tampaknya kini direguk trio RCTI-Global-TPI. Dengan sinergi itu mereka bisa membangun studio bersama dan infrastruktur lainnya yang memang mahal, untuk membuat program sendiri (inhouse production).
Akibatnya, program impor di tiga televisi kelompok MNC ini pun susut. TPI dengan target pemirsa kelas bawah punya program lokal 90 persen. Sedangkan Global dengan pemirsa keluarga muda, anak-anak, dan remaja: 86 persen, dan RCTI dengan target kelas menengah atas: 67 persen.
Dari hasil survei, diketahui bahwa strategi ini cukup jitu. Program lokal justru lebih diminati penonton. Walhasil, RCTI kini di urutan teratas dalam penguasaan pangsa pasar pemirsa, sedangkan Indosiar, yang empat tahun lalu merajai, malah terpuruk di urutan ketiga—terus dikuntit Trans TV dan TPI.
Dalam laporan risetnya pada September lalu, Mulya mencatat sejumlah faktor yang membuat peringkat Indosiar terus merosot. Salah satunya, ya itu tadi, kedodoran dalam persaingan program. Fenomena ini terasa mulai pada semester kedua 2004, ketika Indosiar memilih tidak ikut-ikutan menyajikan tayangan hantu-hantuan—yang ternyata diminati penonton.
Tapi itu bukan satu-satunya alasan. Persoalan lain datang dari tayangan Indosiar yang tak prima di seluruh wilayah Jakarta, akibat keterbatasan menara transmisinya. Padahal, dalam survei AC Nielsen, 56 persen sampel pemirsa berasal dari Jakarta. Akibatnya, peringkat Indosiar langsung jeblok. Dilihat dari programnya pun, tayangan Indosiar masih mengandalkan program impor.
Penurunan ini jelas pukulan berat buat Indosiar. Kinerja keuangannya terus merosot. Laba bersihnya sejak 2005 sudah minus. Hingga kuartal ketiga tahun ini, rugi bersihnya mencapai Rp 183,2 miliar. Ini tak lain akibat pendapatan iklannya yang merosot 29 persen dibanding tahun lalu.
Meski begitu, tren menuju perbaikan tampaknya mulai terlihat, kata Mulya, dalam laporan riset terbarunya, 1 November lalu. Jika dilihat secara kuartalan, ada penurunan tingkat kerugian dari Rp 63,4 miliar pada kuartal kedua menjadi tinggal Rp 60,1 miliar pada kuartal ketiga lalu. Salah satu sebabnya, terjadi penurunan biaya operasional.
Mulya optimistis perbaikan itu bakal terus berlanjut. Apalagi, dengan dioperasikannya menara baru di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada kuartal ketiga lalu, bukan tak mungkin pangsa pasar Indosiar bakal kembali menggembung, yang membuat pendapatan iklannya terdongkrak. Namun ia tetap berpendapat, kalau mau langgeng, ”Lebih baik Indosiar tak lagi sendirian.”
Metta Dharmasaputra
Laba-Rugi Indosiar (Rp miliar) | |||||
---|---|---|---|---|---|
2004 | 2005 | 2006* | 2007* | 2008* | |
Laba operasi | 277 | 22 | (209) | (77) | 79 |
Laba bersih | 57 | (141) | (230) | (136) | 48 |
*)Perkiraan | |||||
Sumber: Danareksa Sekuritas |
Penguasa pasar:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo