Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Lebih untung di negeri orang

Armada pelayaran nasional sangat terpukul paket kebijaksanaan 20 november 1988. persaingan menjadi lebih ketat. tarif angkutan menurun, karena kapal asing menyerbu perairan Indonesia & ada sindikat.

2 September 1989 | 00.00 WIB

Lebih untung di negeri orang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PAKET-paket deregulasi yang diluncurkan pemerintah tidak selalu membuat orang senyum ceria. Sebaliknya, ada juga yang kecut mengkerut. Lihatlah armada pelayaran nasional. Mereka sangat terpukul oleh Paket Kebijaksanaan 20 November 1988 (Paknov). Tapi, bagaimana hal itu bisa terjadi. Dengan Paknov, persaingan di laut menjadi lebih ketat. Bukan saja disebabkan persaingan antarpelayaran nasional semakin meruncing -- karena dihapusnya sistem trayek -- tapi kapal asing yang beroperasi di perairan Indonesia juga semakin banyak. Padahal, tarif yang ditawarkan kapal asing jauh lebih murah dibandingkan tarif pelayaran lokal. Duduk perkaranya begini. Para pelayar asing beroperasi di perairan Indonesia hanya sekadar untuk meningkatkan efisiensi. Buat mereka daripada pulang tanpa muatan, lebih baik memasang tarif obral. Apalagi kapal mereka kebanyakan berkapasitas besar (rata-rata 4.000 DWT). Kendati tarif diobral, toh mereka tetap untung. Dengan kapal berbobot mati 4.000 ton, misalnya, mereka mampu mengangkut muatan 7.000 ton. Tak heran bila mereka berani memasang tarif Jakarta-Medan Rp 10 ribu per ton. Dari obralan itu, sekali jalan mereka bisa meraup Rp 70 juta. Katakanlah ibarat uang penyejuk. Lain halnya pelayaran nasional. Nasib mereka tak sebaik itu, karena kapalnya rata-rata berbobot mati 1.000 ton. Tentu saja kalah bersaing. Ambil contoh, trayek Jakarta-Medan. Dengan kapal 1.000 DWT, barang yang bisa diangkut hanya 1.300 ton. Nah, kalau tarif yang dipasang sama dengan yang ditawarkan kapal asing, maka pendapatannya hanya Rp 13 juta. Sementara itu, biaya operasi yang dikeluarkan untuk bahan bakar, biaya pemeliharaan, ongkos pelabuhan, dan gaji awak kapal jatuhnya sekita Rp 12,3 juta. Dari perhitungan pendapatan dan biaya operasi itu, memang masih ada sisa Rp 700 ribu. "Tapi itu tak ada artinya," kata seorang pengusaha pelayaran. Soalnya, cicilan kapal yang harus dibayar tiap bulan jumlahnya jauh lebih besar dari pendapatan. "Kalau kami terus-terusan melayani pelayaran antarpulau, tak lama lagi pasti gulung tikar" katanya mengeluh. Maka, diambillah jalan pintas, yakni dengan mencarterkan kapal-kapal mereka ke luar negeri. Aneh memang. Di kandang sendiri tak berdaya, tapi malang melintang di negeri orang. Kabarnya, hingga saat ini sudah ada 50 unit kapal milik pelayaran nasional yang disewakan pada perusahaan asing. Tapi bagaimana bisa? Presdir Andhika Lines Hartoto Hadikusumo menyatakan, pelayaran nasional lemah karena tidak memiliki tangan-tangan pemasaran yang kuat. "Dengan mencarterkan, kami lebih aman, karena bisa memperoleh income yang pasti," kata Hartoto, yang juga menjabat sebagai Ketua Indonesian National Ship Association (INSA). Dia termasuk pengusaha yang menyewakan 20 kapalnya ke Amerika Selatan, Jepang, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura. Sebuah kapalnya yang berbobot mati 6.500 ton, misalnya, disewakan ke Amerika Selatan dengan tarif 5.500 dolar AS per hari. Itu sudah termasuk aman, mengingat dalam setiap bulannya Andhika harus menyediakan 500 ribu dolar untuk membayar cicilan. Jadi, kalau 20 kapal yang disewakan itu semuanya mempunyai DWT 6.500 ton, maka per bulan Andhika bisa memperoleh sekitar 3,3 juta dolar AS. Jelaslah, akan jauh lebih aman menggunakan sistem carter dengan pendapatan dolar, ketimbang mengoperasikan di dalam negeri dengan perolehan rupiah, yang tarifnya juga sangat rendah. "Utang kami kan dalam bentuk dolar juga," Hartoto mengingatkan. Lantas bagaimana kiatnya, supaya kapal nasional bisa jadi tuan di rumah sendi,ri? "Kita harus mengatur kembali supply dan demand," kata Hartoto. Maksudnya, tiap kapal diatur kembali berdasarkan trayek. Sepintas, tampaknya gagasan ini bertolak belakang dengan Paknov, yang membolehkan kapal beroperasi tanpa trayek. Bebas trayek, teorinya akan menciptakan persaingan. Dari sini akan timbul servis yang lebih baik dan harga yang lebih wajar. Itulah yang terjadi memang. Namun, yang mampu mengemban misi Paknov ternyata kapal-kapal asing. Dampak lain, menurut Hartoto, ialah munculnya sindikat-sindikat perusahaan pelayaran yang menguasai jalur-jalur gemuk. Bila ada perusahaan lain di luar sindikat yang akan masuk ke trayek itu, ia langsung ditawar dengan tarif murah. "Jadi, bukan hanya kapal asing yang menyebabkan tarif angkut menukik," begitu ulasan Hartoto.Budi Kusumah, Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum