Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Gemerlap dolar dari cilegon

Pabrik kimia pt asahimas subentra chemical indutries, diresmikan presiden soeharto. secara simbolis meresmikan 12 industri kimia di pelbagai daerah. akan diresmikan 267 pabrik hingga november 1989.

2 September 1989 | 00.00 WIB

Gemerlap dolar dari cilegon
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SETELAH minyak, lalu udang, dan kemudian disusul oleh komoditi rotan, kelak kedudukan primadona ekspor mungkin akan digantikan oleh barang-barang kimia. Tanda-tanda itu terlihat setelah Presiden Soeharto secara simbolis meresmikan 12 industri kimia -- yang tersebar di Sumatera Selatan, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur -- di Cilegon, Sabtu pekan lalu. Dengan didirikannya banyak pabrik kimia, kata Presiden pada peresmian PT Asahimas Subentra Chemical Industries, selangkah demi selangkah kita bergerak memperbaiki struktur ekonomi kita. Terutama di sektor industri, yang tahun lalu mengalami perkembangan di atas 10%. Kenapa harus sektor ini? "Pengalaman negara-negara lain menunjukkan, industri petrokimia mampu memberikan sumbangan yang besar pada peningkatan perekonomian nasional" tutur Presiden lagi. Alasan lain iaiah karena industri hilir, yang selama ini mengimpor bahan baku dari pabrik-pabrik sejenis, tak perlu lagi susah-susah mencari ke luar. Lebih dari itu, masih ada sisa produk yang bisa diekspor. Denan berproduksinya ke-12 pabrik itu, diperkirakan kita bisa menghemat devisa US$ 73,29 juta (Rp 130,4 milyar setiap tahun. Di samping itu, dari ekspor kita akan dapat pemasukan sekitar US$ 47,60 juta setahun. Untuk mendapatkan angka-angka di atas, investasi yang ditanamkan pada ke-12 pabrik itu bukan kecil. Sekitar Rp 452,9 milyar. PT Asahimas, yang menanamkan dana US$ 197 juta untuk memproduksi bahan-bahan kimia bagi kertas, tekstil, pipapralon, dan sabun, misalnya, dibiayai oleh tiga investor raksasa -- Mitsubishi dan Asahi Glass Co. Finance (Jepang), serta PPG Industries Corp. (Amerika Serikat). Ketiga perusahaan itu menguasai 55o saham Asahimas. Sisanya dipegang oleh mitra lokal, seperti Sudwikatmono (15%), Tan Siong Kie (15%), dan PT Asahimas Flat Glass (10%). Mengapa mitra lokal mengambil bagian yang kecil? "Kami takut mislek, walaupun industri kimia paling ideal saat ini," kata Sudwikatmono. Padahal, dalam tempo singkat, Asahimas, yang baru melakukan produksi uji coba sejak Juni lalu, sudah meogekspor produknya senilai US$ 15 juta ke Taiwan. Terakhir mereka dapat pesanan bahan kimia untuk pembuatan pipa pralon dari Jepang senilai US$ 8 juta. Barangkali yang membuat mitra lokal Asahimas berhati-hati karena bahan baku untuk pabrik masih perlu diimpor. Etelin, hasil konsentrasi antara gas dan minyak bumi, misalnya, masih dibeli dari Qatar dan Arab Saudi. Garam industri masih harus diimpor dari Australia. Sebagian bahan baku itu, seperti garam industri, sebetulnya ada di Timor Timur bagian selatan. "Tapi potensi itu masih belum digarap," ujar Sudwikatmono. Impor bahan baku juga persoalan PT Nalco Perkasa, perusahaan patungan antara Nalco Corp., AS (51%), dan PT Astenia milik Ibrahim Risjad (49%) -- salah seorang partner Liem Sioe Liong dan Sudwikatmono. Nalco, yang dibangun dengan modal US$ 11 juta, akan memproduksi bahan kimia pembersih. Sebagian besar hasil produksi Nalco (75O) direncanakan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sisanya diekspor. Nalco melihat pasar dalam negeri untuk produknya masih sangat luas. Itu, kata Ibrahim Risjad, terlihat dari kebiasaan masyarakat industri di Indonesia, yang sangat mementingkan produksi, tanpa memikirkan perawatan. Investor lain yang menginvestasikan dana dalam industri kimia adalah Bimantara Group. Mereka menanamkan modal Rp 11 milyar di PT Polychem Lindo Inc. yang memproduksi polystyrene (bahan baku plastik). Perusahaan PMDN ini akan memusatkan pasarnya di dalam negeri karena pabrik yang memproduksi bahan baku sejenis di luar negeri cukup banyak. Di lingkup negara-negara anggota ASEAN saja, pesaing Polychem ada di Malaysia, Muangthai, dan Singapura. Sebaliknya PT Gema Polytama Kimia, yang akan memproduksi poliol (bahan baku karet sintetis). Gema, yang mena namkan US$ 34,5 juta, akan berorientasi ke pasar ekspor. Soalnya, kata Dirut Gema Fadel Muhammad, di Asia Tenggara belum ada pabrik poliol. "Sebelumnya kebutuhan poliol Asia Tenggara disuplai Amerika. kini kami yang akan memasoknya," uja Fadel. Industri kini memang lagi jadi perhatian investor. Buktinya: Presiden Soeharto masih akan meresmikan 267 pabrik lagi hingga November depan. Kalau semua pabril yang memakan investasi Rp 2,877 trilyun itu selesai, Indonesia diharapkan bisa menghemat devisa US$ 282,79 juta, dan pemasukan dari ekspor US$ 866,33 juta pel tahun . Budi Kusumah, Sidartha Pratidina. Moebanoe Moera, Tri Budianto Soekarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus