Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH tahun bekerja di Express Group membuat David Santoso sempat bimbang sebelum mengundurkan diri. Apalagi Express merupakan tempat bagi David menempa diri. Namun chief financial officer perusahaan operator taksi nomor dua terbesar di Indonesia ini harus segera membuat pilihan. Di tengah bisnis taksi yang sempoyongan, PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) tahun ini merugi.
Pada akhir November lalu, David akhirnya menyampaikan pengunduran diri. "Saya sudah tidak sanggup lagi karena keadaan sudah di luar kendali," kata David kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Pernyataan itu disampaikannya terbuka kepada atasannya, Direktur Utama Express Daniel Podiman. "Begitu saya putuskan (mundur), semua ikut mundur," ujarnya.
Pengunduran serentak direktur dan komisaris Express Group itu mengejutkan Bursa Efek Indonesia. Dalam keterbukaan informasi pada awal Desember lalu, Sekretaris Perusahaan Express Transindo Hendy Prawira menyatakan perseroan telah menerima surat pengunduran diri Direktur Utama Daniel Podiman dan Direktur Keuangan David Santoso.
Daniel Podiman menyebutkan pengunduran diri itu sudah dibicarakan dengan pemegang saham sejak Oktober lalu. Tapi baru terealisasi pada akhir November. "Saya sudah 65 tahun. Saatnya yang muda mengambil alih," kata Daniel pada Kamis pekan lalu. Ia memimpin Express sejak berdiri 28 tahun lalu.
Bukan cuma Daniel dan David, emiten bersandi TAXI itu juga menerima pengunduran diri Komisaris Utama Tan Tjoe Liang. Tiga komisaris lain, yakni Darjoto Setyawan, S.Y. Wenas, dan Paul Capelle, ikut pamit. Pengunduran diri tersebut berlaku efektif per 19 Januari 2017 atau setelah pelaksanaan rapat umum pemegang saham luar biasa.
Dalam rapat itulah manajemen baru, yang sebenarnya sudah terbentuk, akan disahkan. Benny Setiawan, yang saat ini menjabat chief operational officer, akan duduk sebagai direktur utama. Adapun Herwan Gozali sebagai wakilnya dan Hendy Prawira sebagai chief financial officer.
Bekas komisaris independen Express Group, Darjoto Setyawan, menolak berkomentar mengenai pengunduran diri tersebut. General Manager Investasi Rajawali Corpora Adam Jaya Putra juga memilih diam. "Saya tidak boleh bicara. Lihat keterbukaan informasi saja," kata Adam. Rajawali Corpora merupakan perusahaan yang menguasai 51 persen atau 1,94 miliar lembar saham Express. Sisanya dimiliki masyarakat.
Meski keterbukaan informasi tidak menjelaskan alasan resmi pengunduran diri, pengamat pasar modal menilai keputusan tersebut berkaitan dengan kinerja negatif perusahaan. "Kelihatannya ada persoalan di internal," kata analis saham BNI Sekuritas, Muhammad Alfatih, Kamis pekan lalu.
Kinerja perusahaan yang didirikan taipan Peter Frans Sondakh itu dalam tekanan. Berdasarkan laporan keuangan kuartal ketiga 2016, Express mencatatkan rugi bersih Rp 81,8 miliar. Kinerja ini terjun bebas dibanding periode sama tahun lalu, yang masih mencatat keuntungan bersih Rp 11,07 miliar.
Pemicu kerugian tak lain pendapatan perusahaan yang merosot 29 persen hingga menjadi Rp 512,57 miliar. Akibatnya, laba operasional turun 71,4 persen menjadi Rp 46 miliar. Perusahaan masih dibebani beban bunga obligasi yang harus dibayar Rp 122,5 miliar setiap tahun. Diterbitkan dua tahun lalu, obligasi itu bernilai Rp 1 triliun dengan tenor lima tahun.
David Santoso membenarkan kinerja perusahaan menurun setahun terakhir. Padahal, kata dia, empat tahun berturut-turut sejak melantai di bursa saham pada 2012, perusahaan selalu untung. "Baru tahun ini mengalami tekanan besar," ujarnya. Faktor utamanya adalah persaingan dengan jasa transportasi berbasis aplikasi, yakni Grab dan Uber.
Sebelum ingar-bingar taksi dan ojek online, pada pertengahan 2015 kinerja Express sebenarnya masih berkilau. Tahun sebelumnya mereka bahkan tetap melakukan ekspansi dengan menerbitkan obligasi untuk menambah 1.000 unit taksi Express reguler, 500 unit taksi Eagle, 150 unit bus pariwisata, dan 300 unit taksi premium. Hingga akhir 2015, armada mereka mencapai 11 ribu unit. Pendapatan Express dalam empat tahun terakhir tumbuh positif. Rekor pendapatannya tahun lalu mencapai Rp 970 miliar.
Titik balik kinerja perusahaan mulai terjadi pada awal 2016. Demo besar-besaran para sopir taksi yang memprotes taksi online pada Maret lalu merupakan penanda awal terpuruknya taksi konvensional. Kehadiran taksi dan ojek online seperti Grab, Uber, dan Go-Jek menggerus okupansi Express. Pendapatan gemilang yang diperoleh pada 2015 tak berbekas pada tahun ini. "Sopir tak sedikit juga yang pindah ke taksi online," kata David.
Chief Operational Officer Express Benny Setyawan membenarkan utilisasi armada Express menurun. Menurut dia, hal itu terlihat dari rata-rata hanya 60 persen atau 6.000 unit taksi yang beroperasi. Selebihnya parkir di pul.
Kondisi itu terlihat di Pool C Taksi Express di Jalan Raya Jatiranggon, Jatisampurna, Bekasi, Rabu pekan lalu. Ratusan sedan bercat putih diparkir berjajar rapi di lahan seluas satu hektare. "Jangankan setor Rp 200 ribu, sekarang cari Rp 50 ribu saja susah," kata sopir Express bernama Karya, Rabu pekan lalu. Ia mengaku sulit mendapatkan penumpang karena kalah bersaing dengan taksi online.
Express sebenarnya sudah berupaya melakukan pembenahan. Tarif buka pintu diturunkan dari Rp 7.000 menjadi Rp 6.000. Februari lalu, mereka juga meluncurkan layanan myTrip, pemesanan taksi berbasis online dengan aplikasi yang saat ini bisa diunduh di platform Android dan di iOS. Namun strategi tersebut tak cukup kuat mengangkat jumlah penumpang. "MyTrip sekarang sedang kami kaji ulang, apakah akan dilanjutkan atau tidak," kata Benny Setyawan.
MyTrip adalah upaya manajemen Express Group mengikuti perkembangan zaman. Express ingin mengikuti cara Uber dan Grab menjalankan taksi berbasis aplikasi. Sopir dibekali tablet, semua anggota armada dimasukkan ke sistem, operator taksi-taksi lain digandeng untuk menjalankan sistem yang sama. Konsekuensinya, anggaran promosinya harus besar. "Dan itu memang berat di laporan keuangan," kata Benny. "Biaya promosi bisa tak terhingga."
Menurut Benny, di tengah kondisi seperti saat ini, bersaing head-to-head dengan operator aplikasi tidak mungkin dilakukan. Alasannya, Express belum mumpuni di bidang teknologi informatika. Perusahaan juga tidak mungkin habis-habisan menggelontorkan dana subsidi tarif untuk mendapatkan pelanggan, seperti dilakukan operator taksi online. "Kalau kita terjebak ke sana, uangnya bisa habis untuk pemasaran," kata Benny.
Manajemen sempat meminta dukungan pemegang saham untuk menjalankan strategi tersebut, tapi tidak memperoleh dukungan. Suntikan dana dari pemegang saham tidak diberikan. Manajemen akhirnya menggunakan kas internal untuk modal pengembangan teknologi informatika.
Seorang petinggi Express mengungkapkan, myTrip kurang mendapat respons dari konsumen karena momentumnya terlambat. Seharusnya aplikasi pemesanan tersebut diluncurkan bersamaan atau tak jauh dari Uber dan Grab pada medio 2015. Namun saat itu manajemen disibukkan oleh urusan negosiasi dengan Saratoga Investama, yang hendak mengakuisisi 51 persen saham Rajawali Corpora.
Hampir sembilan bulan negosiasi berakhir buntu. Saat negosiasi dengan Saratoga, rencana peluncuran myTrip sudah disampaikan. Tapi tidak bisa langsung dieksekusi karena belum jelas sumber duitnya. Baru setelah gagal bertransaksi dengan Saratoga, Express tahun ini memutuskan menggunakan dana internal. "Tapi sudah terlambat," kata petinggi tadi.
Suntikan modal baru dari penjualan saham (rights issue atau private placement) sulit dilakukan karena kinerja keuangan sedang ambruk. Adapun pinjaman baru juga sulit diperoleh. Hal ini yang membuat kinerja perusahaan di lantai bursa lunglai. Hingga akhir pekan lalu, harga saham TAXI hanya bertahan di level Rp 155 per lembar. AGUS SUPRIYANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo