Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada satu pun petunjuk atau jejak PT Panca Amara Utama di lantai 20 Mayapada Tower di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Padahal, menurut akta pendiriannya, perusahaan yang bergerak di bidang perindustrian, perdagangan, pertambangan, dan jasa ini menyatakan di gedung itulah mereka berkantor. "Sudah tiga tahun lebih pindah. Ke mana pindahnya saya tidak tahu," kata seorang petugas keamanan di gedung itu Senin pekan lalu.
Kehadiran Panca Amara di lokasi bakal pabriknya di Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Luwuk-Banggai, Sulawesi Tengah, juga antara ada dan tiada. Tak ada satu pun aktivitas pekerja di area seluas kurang-lebih 20 hektare ini. Meski areanya telah bersih dari tanaman liar dan tanahnya dipadatkan, belum ada tanda-tanda pekerjaan akan diteruskan. Di sisi depan lokasi terdapat hamparan laut lepas, yang pinggirannya direncanakan akan dijadikan terminal angkutan kontainer. Bagian belakang dan sisi kanan lokasi masih berupa hutan belantara. Sedangkan di sisi kirinya terdapat permukiman penduduk.
PT Panca Amara Utama adalah salah satu perusahaan milik pengusaha Garibaldi Thohir, yang akrab disapa Boy Thohir. Perusahaan itu menjadi perhatian karena disebut-sebut dalam dokumen pemeriksaan sejumlah tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi, sehubungan dengan kasus tindak pidana suap mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini.
Dalam dokumen itu disebutkan uang US$ 700 ribu yang diserahkan ke Rudi beberapa waktu lalu merupakan pemberian dari Febri Prasetyadi Soeparta. SogokÂan disampaikan lewat tangan Deviardi, pelatih golf yang disuruh Rudi, dan dinyatakan sebagai "tanda terima kasih" atas lancarnya pengurusan alokasi gas Donggi-Senoro di Banggai, Sulawesi Tengah, untuk Panca Amara. Dalam keputusan itu, pemerintah setuju memberi jatah sebagian dari 25 persen alokasi gas domestik di area hulu Donggi-Senoro kepada Panca Amara. Negosiasi jual-beli gas itu dimediasi oleh SKK Migas.
Baik Rudi maupun Deviardi mengenal Febri sebagai orang kepercayaan Boy Thohir, dan dalam beberapa kesempatan selalu dikenalkan sebagai asisten khususnya di PT Adaro Energy Tbk. Namun hal ini dibantah Boy dan Adaro. "Febri dan Bapak Garibaldi Thohir adalah terbatas selaku konsultan ahli bidang migas. Saudara Febri bukan karyawan Adaro, baik dahulu maupun sekarang," ujar Sekretaris Korporat PT Adaro Energy Devindra Ratzarwin dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Panca Amara bisa dibilang salah satu bisnis baru bagi Boy, setelah namanya tercatat sebagai salah satu pemain besar batu bara. Melalui perusahaan ini, dia mencoba peruntungannya di sektor industri petrokimia, yang mengkhususkan diri dalam produksi amoniak untuk pembuatan pupuk. Usaha ini baru ia jalankan pada 2011, tak lama setelah pemerintah mengumumkan alokasi gas domestik dari Donggi-Senoro harus diprioritaskan untuk proyek pabrik pupuk. Boy memiliki Panca Amara dengan mengakuisisi sejumlah perusahaan melalui usahanya yang lain, yaitu PT Surya Esa Perkasa, yang juga bergerak di sektor energi.
Sebagai sayap pengembangan bisnis, Panca Amara dan Surya Esa memang belum sebanding dengan Adaro. Di jagat pertambangan nasional, nama Boy masih tetap berjangkar di Adaro. Masuk pada 2005, bersama rekan-rekannya seperti Sandiaga Uno, Edwin Soeryadjaya, Theodore Permadi Rachmat, dan Ir Subianto, saat ini di Adaro mereka menguasai 64,55 persen kepemilikan.
Lewat Adaro pula nama Boy melambung di kancah bisnis dunia. Namanya sempat dicatat majalah Forbes dalam daftar orang terkaya di dunia pada 2012. Dia menduduki posisi 1015 dunia atau orang terkaya ke-15 di Indonesia, dengan total kekayaan US$ 1,2 miliar. Dalam laporan keuangan kuartal ketiga tahun ini, Adaro yang memiliki 22 unit usaha untuk menunjang bisnis pertambangan batu baranya tercatat membukukan laba bersih US$ 183 juta. Total asetnya disebut mencapai US$ 6,646 miliar atau Rp 70 triliun lebih.
Sukses besar di Adaro, Boy mulai merambah ke sektor minyak dan gas melalui PT Surya Esa Perkasa, yang didirikan pada 2006. Dalam anggaran dasarnya, ruang lingkup kegiatan perusahaan terutama bidang manufaktur, perdagangan, ekspor-impor, pendistribusian elpiji, kondensat, dan propana.
Di sini dia kembali mendulang keberhasilan. Surya Esa kini merupakan pemilik kilang elpiji dan fasilitas produksi elpiji swasta terbesar kedua di Indonesia. Produksinya rata-rata 122 metrik ton elpiji per hari, dan mulai melantai di bursa efek sejak Februari tahun ini. Pada kuartal ketiga, mereka mencatatkan laba bersih US$ 9,4 juta. "Naik 12 persen dari periode yang sama 2012," ujar Sekretaris Perusahaan Surya Esa, Kanishk Laroya, dalam keterangan tertulisnya pada Oktober lalu.
Total produksi elpiji Surya Esa hingga kuartal ketiga ini juga melonjak tinggi, naik hingga 40 persen dibanding tahun lalu menjadi 33.797 metrik ton. Namun sejauh ini Surya Esa belum membagikan dividen. Menurut Direktur Eksekutif PT Surya Esa Perkasa, Chander Vinod Laroya, laba yang diperoleh Surya Esa akan digunakan untuk menyuntikkan modal ke anak usahanya, yaitu PT Panca Amara Utama. Panca Amara rencananya memiliki fasilitas pabrik amoniak dengan kapasitas 700 ribu metrik ton. Untuk membangun pabrik itu diperlukan biaya setidaknya US$ 750 juta.
Dari jumlah tersebut, International Finance Corporation akan mengatur penggalangan pinjaman US$ 500 juta, sementara sisanya akan dipenuhi Surya Esa. "Pabrik amoniak diharapkan selesai konstruksi pada kuartal pertama 2015 dan akan beroperasi komersial pada kuartal ketiga 2015," kata Chander dalam paparan publik perusahaan.
Melalui Panca Amara inilah Boy mulai merangsek ke sektor hulu migas. Untuk dapat memproduksi amoniak, ia harus mengamankan pasokan gas dari lapangan yang ada di sekitar pabrik. Setelah melobi kanan-kiri, Panca Amara berhasil mendapatkan pasokan gas 55 juta mmscfd dari JOB Pertamina-Medco E&P Tomori di Donggi-Senoro. Presiden Direktur & CEO Medco Energi Lukman Mahfoedz mengatakan Panca Amara akan membeli gas tersebut pada harga US$ 8,44 per mmbtu, dengan periode kontrak penjualan gas dari 2015 hingga 2027. Tapi keberhasilan itu berbiaya besar. KPK kini mengumpulkan bukti dugaan korupsi di baliknya.
Gustidha Budiartie (Jakarta), Amar Burase (Luwuk-Banggai)
Berganti-ganti Sebelum Boy
PT Panca Amara Utama (PAU) berdiri pada Juni 2004. Bergerak di bidang usaha industri kimia dan energi, perusahaan ini mulanya bermodal dasar Rp 2 miliar. Modalnya melonjak hingga Rp 268 miliar pada 2005 begitu PT Hanson Internasional dan PT Daya Amara Utama masuk sebagai pemegang saham baru.
Pada 2008, PT Hanson melepas 62.500 saham, setara dengan 50 persen kepemilikan di Panca Amara, kepada PT Luwuk Investindo Utama, yang tercatat sebagai perusahaan modal asing. Dari PT Luwuk inilah Boy merintis jalannya di industri pupuk. Ia mengakuisisi hampir 100 persen saham PT Luwuk Investindo melalui salah satu usahanya yang bergerak di bidang produksi dan distribusi elpiji, yaitu PT Surya Esa Perkasa. Sejak itu, Boy resmi menjadi pemilik 50 persen saham Panca Amara pada Agustus 2011 dan mengganti nama PT Luwuk Investindo menjadi PT Sepchem.
Melalui Surya Esa pula Boy mengakuisisi 12.500 saham atau 10 persen saham milik PT Bina Sarana Kharisma Jaya di Panca Amara. Dengan begitu, secara total Boy memiliki 60 persen saham di Panca Amara dan menjadi presiden direktur di perusahaan tersebut pada 2011. Duduk sebagai pemimpin utama, Boy pun memfokuskan usahanya di bidang industri kimia anorganik yang memproduksi amoniak untuk pabrik pupuk. Dia lalu mengincar alokasi gas domestik dari Blok Donggi-Senoro, yang menurut janji pemerintah akan diprioritaskan bagi proyek pabrik pupuk.
Gustidha Budiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo