AGAK istimewa yang terjadi di Balai Budaya, Jakarta, pekan ini: majalah sastra Horison, antara lain dengan pidato dan pameran, merayakan hari lahirnya yang ke-20. Sebuah alhamdulillah yang agak besar tapi wajar. Dalam sejarah Republik Indonesia, Horison telah jadi majalah khusus sastra yang paling betah hidup. Majalah seperti itu, yang pernah ada sebelumnya, pada cepat mati, umurnya tak sampai 10 tahun dan dengan tekor yang lumayan. Di Indonesia, majalah kesusastraan memang punya posisi yang ganjil, dan bisa membingungkan. Di satu pihak, penerbitan seperti ini umumnya tak pernah menjangkau khalayak ramai. Sajak, cerita pendek, potongan novel, esei, dan diskusi kebudayaan, yang kemudian di antaranya dikenal dan dikenang orang banyak, pada awalnya cuma muncul di sebuah media yang hanya dibaca tak sampai 10 ribu orang rata-rata tiap kali terbit. Coba: berapa orang yang mula-mula mengikuti tulisan Takdir Alisjahbana yang kemudian jadi "polemik kebudayaan" ? Berapa yang mula-mula baca sajak Aku Chairil Anwar? Atau Khotbah Rendra? Di pihak lain, majalah-majalah kecil seperti Poejangga Baroe (oplahnya konon tak sampai 1.000 eksemplar), lembaran Gelanggang pada mingguan Siasat, atau Kisah, ternyata, bisa melahirkan sejumlah penulis yang lewat satu dan lain cara dapat menerobos ke media yang lebih luas jangkauannya. Ini mungkin karena para sastrawan rata-rata lebih dinamis, atau lebih pintar dibanding penulis yang bukan sastrawan. Atau karena para wartawan selalu tertarik, kadang merasa hormat, kepada para sastrawan. Maklumlah, para sastrawan ini umumnya layak, atau enak, jadi sumber berita: mereka lebih eksentrik, banyak tingkah, banyak bikin ucapan yang mengejutkan atau bermutu, dibandingkan dengan tokoh-tokoh di kalangan lain. Yang terjadi akhirnya sebuah keganjilan. Para sastrawan sering lupa pada kodrat dunia mereka: bahwa karya besar bisa, dan sering dimulai kelahirannya di majalah yang kecil. Bagaimanapun juga, kegiatan (dan juga penelaahan) sastra justru tumbuh subur dalam suatu spesialisasi. Di situ, tingkat pengalaman, derajat apresiasi, dan informasi sudah dan saling beradu bisa bertemu di dataran yang sama yang cukup tinggi, hingga dialog dan pergulatan bukan saja bisa lebih hidup, tapi juga lebih mampu untuk mantap dan mendalam. Tak banyak bedanya, sebenarnya, dengan kegiatan penulisan dalam ilmu filsafat, atau sosiologi, ataupun keahlian medis seperti kedokteran gigi. Toh para sastrawan dan para penelaahnya suka mengeluh karena lingkungan yang kecil itu. Sejak penggunaan mesin cetak untuk penyebaran karya sastra (dan bukan lagi dalam bentuk lontar ataupun manuskrip kesusastraan sering punya ilusi yang tidak-tidak, misalnya bahwa dia bisa akan menjangkau ke mana saja, ke siapa saja. Dan para sastrawan pun memperoleh, atau memasang, peran besar bagi diri mereka. Misalnya, sebagai pendorong perubahan sejarah. Horison lahir di bawah bayangan kebesaran itu. Pertama kali terbit di tahun 1966, ia juga jadi tanda berakhirnya sebuah periode: runtuhnya "Demokrasi Terpimpin", sebuah kehidupan politik yang, setidaknya di bidang ide dan kebudayaan, akhirnya dikuasai Partai Komunis Indonesia dan para pembantunya. Hegemoni PKI itu berarti berkuasanya pandangan totaliter untuk kesenian: bahwa sastra dan seni tak punya otonomi, dan harus tunduk dalam gerak bersama ke arah penghimpunan dan penggunaan kekuasaan. "Politik sebagai Panglima", kata slogan PKI, dan itu berarti pertimbangan politik dari mereka yang memimpin menentukan bentuk dan isi karya sastra. Ketika Horison lahir, PKI sudah tersingkir. Nama-nama yang mendirikan memimpin majalah ini menunjukkan hal itu: Mochtar Lubis, novelis terkemuka itu, yang sampai kini jadi penanggung jawab, hari-hari itu baru saja dibebaskan dari tahanan penguasa "Demokrasi Terpimpin". H.B. Jassin, Arief Budiman, Taufiq Ismail, dan lain-lain adalah penanda tangan pernyataan Manifes Kebudayaan di tahun 1963, yang kemudian dihantam PKI dan dilarang Presiden Soekarno karena menolak doktrin "Politik sebaga Panglima". Pada awal terbitnya, Horison mencoba aktif sesuai dengan namanya: berusaha bergerak menjangkau kaki langit, yang tak putus-putusnya. Maksudnya: membuka jalan terus-menerus ke kemungkinan-kemungkinan baru. Awal masa "Orde Baru", dengar rasa terbebas dari kekuasaan politik yang mengekang, memang boleh dibilang masa yang meriah dengan karya-karya eksperimental, yang segar, lain dari yang lain Horison-lah yang pertama kali menerbitkan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, misalnya. Kesan amat kuat bahwa Horison mencoba jadi pembuka jalan gagasan-gagasan baru yang berani. Toh kemudian kembali pada kenyataan bahwa majalah ini adalah majalah oleh dan untuk para "spesialis" dengan oplah yang tak pernah lebih dari 10.000, bahkan pernah sampai di bawah 3.000. Dan Horison, seperti dikatakan H.B.Jassin, hidup dengan subsidi dari penerbit Kompas, Sinar Harapan, Femina, dan TEMPO. "Tak kurang setengah juta rupiah dari masing-masing penyokong," kata Jassin. Tapi pertimbangan komersial memang tak dapat dipakai untuk majalah spesialis yang praktis tak dapat iklan ini. Seperti dikatakan Jassin, yang dalam usianya yang bulan ini mencapai 70 tahun, merupakan tokoh yang paling panjang pengalamannya dalam mengurus pelbagai majalah sastra: "Di mana-mana, di luar negeri hidup majalah seperti ini harus disokong". Yang harus dipersoalkan karena itu bukan laku atau tak laku, melainkan menunjukkan mutu atau tidak. Kritik terhadap Horison, akhir-akhir ini memang isi tulisan-tulisannya yang kurang seberbobot dulu. Kata sebagian pengecam, penulis-penulis lama sudah mulai jarang menghasilkan karya di sini, sedangkan para penulis baru tak banyak yang mengesankan. Tapi Hamzad Rangkuti, yang sehari-hari mengelola, Horison, menangkis, "Jika mutu Horison dianggap rendah, itu karena para pcngarang hanya berhasil menghasilkan mutu yang sampai di situ". Memang, tak lahirnya karya-karya baru yang bagus, belum munculnya para penulis baru yang menggugah, bukan semata-mata kesalahan Horison. Majalah ini toh akhirnya cuma sebuah wadah -- dan juga cermin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini