TAHUN Baru 1990 masih beberapa hari lagi. Tapi Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, yang selama beberapa tahun terakhir biasanya berwanti-wanti menghadapi ekonomi tahun berikut, kali ini ternyata bersuara lain. Berpidato pada pembukaan rapat anggota Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN) yang berlangsung di Jakarta pekan lalu, Sumitro menyambut tahun 1990 dengan rasa optimistis. Suara pakar senior yang pernah memegang beberapa jabatan menteri itu bukan tidak mungkin akan dipertimbangkan oleh Kabinet Pembangunan V dalam penyusunan RAPBN 1990-1991, yang akan dikemukakan Presiden dalam sidang DPR awal 1990. Menurut Prof. Sumitro, ekonomi Indonesia diukur dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada 1989 ini diduga akan menjadi 6,2%, sedangkan pada 1990, PDB itu diperkirakan naik 6,5%-7%. Pakar itu juga memperkirakan, pendapatan nasional yang diukur dalam bentuk GDI (Gross Domestic Income) pada 1989 naik sekitar 6,5%. Selain itu, transaksi berjalan pada neraca pembayaran dalam tahun fiskal 1989-1990 akan lebih baik daripada perkiraan APBN. Sumitro memperkirakan, pada 31 Maret 1990 transaksi berjalan akan mengalami defisit hanya US$ 1,7-1,8 milyar. Jadi, lebih rendah dari defisit yang diperkirakan dalam APBN US$ 2,4 milyar. Pada akhirnya, neraca modal Indonesia akan mengalami surplus sekitar US$ 700 juta, sehingga akan memperkuat cadangan devisa negara. Tapi, Profesor Sumitro rupanya merasa perlu kembali mengingatkan pemerintah, bahwa utang luar negeri perlu dikendalikan. Ia mengatakan Debt Service Ratio (DSR), alias rasio beban utang luar negeri dibanding hasil ekspor, kini sudah mencapai 37%. Itu berarti lampu kuning. Agaknya, sementara ini usaha menekan DSR lebih diutamakan pada upaya mendorong ekspor nonmigas. Padahal, ada juga jalan lain pengurangan DSR, misalnya dengan pembuatan utang-utang berkualitas baik (tempo pinjaman yang panjang, beban bunga yang lunak, dan masa tenggang yang lama). Bandingkan dengan inisiatif pemerintah, yang bulan Desember ini kabarnya hendak meminjam US$ 400 juta dari sejumlah bank komersial internasional. Sumitro juga menyayangkan bahwa inflasi, yang merupakan alat pengukur melemahnya daya beli masyarakat itu, belum cukup terkendali. Pada 1988, inflasi tercatat 5,5%, tapi 1989 sudah melaju 6%, dan diperkirakan mencapai 7% pada 1990. Namun, tak dijelaskan apa penyebab laju inflasi itu, kenaikan gaji pegawai atau barangkali kenaikan harga BBM. Profesor itu juga tak merinci apa saja dasar-dasar perhitungannya. Misalnya, berapa perkiraannya untuk tambahan nilai hasil pertanian, pertambangan, industri, dan jasa-jasa. Yang jelas, ramalan pakar yang memimpin lembaga penelitian CPS itu kali ini sangat cerah dibandingkan proyeksi pakar lainnya. Prof. Suhadi Mangkusuwondo, misalnya, dalam catatannya berjudul "Proyeksi dan Prospek Perekonomian Indonesia 1990", pada 10 November lalu -- dimaksud untuk memperbaiki proyeksinya dalam seminar di CSIS 25 Oktober 1989 -- memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 1990 ialah 6,1%. Angka itu diperolehnya lewat perhitungan dengan model ekonometri FE-UI. Hasilnya: angka pertumbuhan pada 1988 adalah 5,6% (angka resmi pemerintah 5,7%). Sedangkan PDB tahun 1989 hanya naik sekitar 5,9%. Penyebab pertumbuhan tahun 1989, menurut Suhadi, masih tetap ekspor nonmigas dan investasi swasta yang masing-masing mengalami kenaikan riil cukup tinggi, yakni 18,7% dan 12,6%. "Kedua faktor itu tidak banyak dipengaruhi perkembangan pasaran luar negeri (demand), melainkan lebih banyak dipengaruhi keadaan di dalam negeri (supply)," kata Suhadi. Faktor lain yang mendorong laju pertumbuhan 1989, yang praktis hampir merupakan boom itu, ialah belanja pemerintah dan masyarakat yang meningkat cukup kuat. Belanja itu, menurut Suhadi, masing-masing meningkat 5,5% dan 5,1%. Baru pada 1990, Suhadi melihat faktor pasar luar negeri akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia memperkirakan, kekhawatiran terhadap inflasi di AS akan surut tahun depan, sehingga suku bunga perbankan akan turun, disertai turunnya kurs dolar. Barang ekspor Amerika akan lebih bersaing, sehingga kecenderungan proteksionistis AS juga akan menyusut. Ia juga menilai, utang Indonesia yang berjumlah US$ 50 milyar lebih itu sudah sangat tinggi jika dibandingkan nilai ekspor per tahun yang baru sekitar US$ 19 milyar. Itu berarti perbandingan utang dengan ekspor (DER: Debt Export Ratio) Indonesia mencapai 260%, sementara rasio DER di negara-negara berkembang rata-rata hanya 160%. DER negara-negara Asia juga cuma 90%. "Faktor utang luar negeri Indonesia menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia belum bisa melaju pesat seperti Malaysia, Muangthai, dan Singapura. Negara-negara tetangga itu mencatat tingkat pertumbuhan 9%-10%," kata Suhadi. Menurut majalah Fortune edisi pekan lalu, PDB riil negara-negara tetangga itu sebenarnya lebih kecil dari Indonesia, namun setelah dibandingkan per kapita, Indonesia kalah jauh. PDB riil pada 1988 untuk Singapura tercatat US$ 23,8 milyar (per kapita: US$ 8.817). PDB Malaysia US$ 34,1 milyar (per kapita: US$ 2.018), sedangkan Muangthai US$ 51,1 milyar (per kapita: US$ 930). Fortune juga menurunkan laporan tentang kawasan Asia Timur dan Selatan yang akan mengalami boom. Angka PDB riil Indonesia 1988 yang dikutip Fortune adalah US$ 63,4 milyar. Dengan memakai asumsi Sumitro tadi, PDB riil 1989 akan mencapai US$ 67,33 milyar, sedangkan PDB 1990 US$ 72 milyar. Dengan perhitungan di atas, maka PDB per kapita Indonesia juga akan mengalami peningkatan. Pada 1988, PDB per kapita sekitar US$ 338, pada 1989 naik menjadi US$ 351,4, sedangkan tahun 1990 naik lagi menjadi US$ 368,47. Namun, sebuah lembaga penelitian dari Jepang yang disiarkan kantor berita Kyodo memproyeksikan perekonomian ASEAN akan turun tahun depan. Penurunan itu disebabkan terutama oleh anjloknya pasar negara-negara ASEAN di negara-negara maju. Ekonomi Indonesia, dalam ramalan penelitian Jepang itu, akan mengalami penurunan PDB dari 6,9% pada 1989 menjadi 6,3% pada 1990. Tapi, Dr. Sjahrir, pakar ekonomi dari Yayasan Padi dan Kapas, berpendapat bahwa proyeksi-proyeksi ekonometri 1990 itu sulit dipakai untuk perbandingan dengan tahun-tahun sebelumnya. "Bukankah BPS, sejak Agustus 1989, telah mengubah data-data mengenai PDB tahun 1984-1988," kata Sjahrir. Modeling ekonometri, menurut dia, membutuhkan satu kurun waktu bersambungan. Dalam angka-angka PDB baru itu, tidak tersedia data untuk membuat suatu time series. Atas dasar itu, ia berpendapat, Sumitro atau siapa pun yang sekarang membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi hanya melakukan proyeksi berdasarkan analisa sektor. "Biasanya produksi dari sektor pertanian, pertambangan, industri, dan sektor jasa," ujarnya. Dan kecenderungan pertumbuhan sektor-sektor periode 1983-1988 akan berlanjut pada 1990. Laju sektor industri, khususnya pengolahan bukan migas, akan berada di atas sektor pertanian. Industri pengolahan mungkin akan melaju di atas 20% pada 1990, sedangkan sektor pertanian yang menentukan PDB sebesar 21,07%, tahun 1990 mungkin cuma berperan 20,04%. Sektor pertambangan, yang andilnya 15,98% dari PDB, tahun depan mungkin berada di bawah 15%. "Sektor konstruksi, ini yang paling menarik, karena sektor ini telah mengalami restrukturisasi demand. Dulu sektor ini sangat tergantung anggaran pemerintah, sekarang tidak lagi, tapi terus mengalami kenaikan," kata Sjahrir. Namun, ia melihat, laju pertumbuhan ekonomi yang diukur dari sektor produksi itu perlu juga diimbangi dengan analisa pendapatan yang dilihat dari sisi konsumsi dan proyeksi investasi atau ICOR (rasio tambahan modal dengan tambahan produksi). "Selain itu, distribusi pendapatan dan lapangan kerja juga harus diperhitungkan," kata doktor ekonomi politik lulusan Universitas Harvard itu. Ia khawatir, peran sektor pertanian pada 1990 jatuh di bawah 20% dari PDB. Padahal, lebih dari 50% angkatan kerja terserap di situ. "Kalau itu terjadi, tingkat produktivitas dari sektor itu menurun," katanya. Profesor Suhadi memperkirakan, dewasa ini sebagian besar tenaga kerja baru (lulusan SMP sampai universitas) juga terpaksa masuk dalam sektor-sektor informal. "Tingkat produktivitas dan penghasilan di sektor informal itu sangat rendah," kata Suhadi. Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara, dalam seminar di Surabaya pekan lalu, mengungkapkan keinginannya agar sistem upah, yang selama ini dikaitkan dengan KFM (kebutuhan fisik minimum), diubah saja menjadi kebutuhan hidup minimum. Sjahrir, yang berbicara dalam sebuah seminar di Surabaya, akhir pekan lalu menyatakan bahwa ia percaya ekspor nonmigas akan terus meningkat, khususnya ekspor hasil industri olahan. Tapi, jika nilai riil yang diperoleh (terms of trade effect) memburuk, tentu akan membawa pengaruh pada PDB. Misalnya ekonomi AS memburuk, efeknya baru akan terasa belakangan. Produksi barang bisa saja tinggi, tapi tak bisa dijual sehingga stok barang meningkat. Masalah kesulitan tanah yang disebutkan Sumitro, menurut Sjahrir, disebabkan oleh distribusi investasi yang menumpuk di Jawa, tak merata ke daerah. Itu terungkap dalam Munasus Kadin, manakala 12 Kadinda meminta agar investasi disebar juga ke Indonesia Timur. Masalah inflasi yang agak berkibar, kata Sjahrir, ada kaitannya dengan meluasnya jasa-jasa perbankan. Likuiditas mereka kini tinggi, sementara suku bunga belum bisa diturunkan. Masalahnya, barangkali cuma soal waktu saja dari fase pengumpulan dana ke fase penyaluran investasi hingga produksi. Pengamat ekonomi yang sering berdiskusi dengan para pakar ini memperkirakan bahwa inflasi tahun depan bisa dijinakkan kembali. Max Wangkar dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini