Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Makin hitam buat Israel

Berita penyerbuan Israel ke Libanon di Televisi, menyebabkan berkurangnya simpati masyarakat Amerika pada Israel. masyarakat amerika yang pro-israel menurun dari 74% ke 56% pada th 1981. (md)

9 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI belum lama berselang gambar teievisi -- umumnya berasal dari jaringan Barat--sering menunjukkan warga Israel menjadi korban serangan PLO. Pejuang Palestina sering pula disebut sebagai kaum teroris. Maka citra PLO jatuh sekali, terutama di Amerika, tempat kaum Yahudi sangat berpengaruh. Tapi gambaran demikian, dalam sekejap, sudah berubah. Sejak pasukan Israel menyerbu ke Libanon, kemudian mengepung Beirut, dan mengebom Beirut sarat terus-menerus, banyak penduduk sipil menjadi korban. Stasiun televisi menyiarkan kaum wanita dan anak mereka berlarian ketakutan, dan betapa sibuknya para dokter merawat para korban di rumah sakit. Sungguh mengharukan, bahkan bagi kaum Yahudi Amerika pun. "Perang di Libanon telah menimbulkan ledakan makian terhadap Israel di kalangan masyarakat Amerika sampai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya," tulis Norman Podhoretz dalam Commentary, suatu media intelektual Yahudi Amerika. Podhoretz biasanya membela Israel, dan dia penulis yang dihormati. Nicholas von Hoffman, seorang kolumnis Amerika, menulis bahwa banyak rekannya dalam media dulu merasa enggan mengambil risiko untuk merugikan Israel mcngenai soal Palestina--khawatir akan daftar hitam. "Sekarang mereka lebih berani mengemukakan pandangan mereka sebenarnya." Tulisan Hoffman tidak saja muncul di ratusan surat kabar Amerika, termasuk Washington Post, tapi juga koran Eropa. "Insiden demi insiden, pembunuhan demi pembunuhan, menyadarkan rakyar Amerika bahwa pemerinrah Israel sedang menempa Bintang Dawud menjadi Swasrika (Nazi)," tulis Hoffman. Pembandingan Israel denga Nazi juga dilakukan oleh penulis Amerika lainnya, seperti William Pfaff. Satu tulisannya untuk International Herald Tribune (yang redaksinya berpusat di Paris) menyatakan militer sekarang beristirahat dengan tenang karena orang Yahudi sendiri, di Israel, menerima akhirnya cara yang pernah ia lakukan. Menurut An Nanda, pembantu TEMPO di Washington, berbagai jaringan televisi Amerika menyediakan prioritas untuk berita peristiwa Libanon. Sementara akibat kebuasan militer Israel dipertontonkan, Yasser Aralat sering diperlihatkan menghibur anak-anak yang menderira. serita televisi tidak lagi menimbulkan kesan bahwa tokoh PLO itu seorang teroris, tapi justru pembela kaum tertindas, yang terkena teror. "Seperti halnya ketika perang vietnam mencapai puncaknya, ketika rakyat Amerika mengikuti apa saja yang terjadi, banyak keluarga di rumah masing-masing, ada yang sambil mengunyah popcorn, memperhatikan berita Libanon. ABC, NBC dan 61. ketiganya jaringan televisi Amerika yang utama saling berebut, dahuh mendahului menyiarkan kehancuran, keganasan, kegagahan dan ketidakberdayaan di Libanon," demikian An Nanda dalam laporannya. Pirsawan Amerika tentu akhirnya membanding agresi Israel, walau apa pun alasannya, dengan Vietnam dulu. ketika prajurit Amcrika menjadi berita pengeboman terhadap penduduk Vietnam. Peristiwa Vietnam dulu menimbulkan gelombang demonstrasi rakyat Amerika. Sekarang tidak ada demonstrasi itu, memang prajurit Amerika tidak terlibat membunuh di Libanon tapi gambar televisi tadi rupanya bel pengaruh juga terhadap pendapar umum Amerika. Hasil angket Gallup awal September, misalnya, menunjukkan masyarakat Amerika yang pro-Israel tinggal 56%, menurun dari 74% pada tahun 1981. Sedang yang tidak mendukung Israel sebanyak 36%. naik dari 19%, untuk periode yang sama. Angket Gallup itu terjadi sebelum pembantaian di kamp pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila, seirut Kalau angket itu diulang, menumt perkiraan kolumnis Joseph C. Harsh (surat kabar Christian Science Monitor), akan kelihatan jumlah mereka yang pro-Israel lebih menurun lagi. Banyak wartawan Barat merasa senasib sama-sama menderita dengan penduduk, mengalami pengeboman Israel, ketika PLO belum mengungsi dari Beirut Barat. Mereka sempat membina hubungan baik dengan para pemimpin PLO dalam masa bagian kota itu terkepung oleh pasukan Israel. Itu pula sebabnya, menurut Zef Chafets, juru bicara pemerintah Israel, maka pers sarat tidak begitu bersahabat terhadap Israel. Ucapan Chafets terutama membavangkan kejengkelan pemerintahnya terhadap penyajian film oleh jaringan televisi Amerika. "Televisi secara berlebihan membesar-besarkan jumlah kerusakan, dan gagal menegaskan sebab-musabab (causes) perang ini," katanya. Memang begitulah, kemudian tulis Newsweek "sifat berita televisi lemah dalam sebab-musabab, kuat dalam akibatnya (effects)." Majalah Newsweek, walaupun tidak begitu memihak perjuangan PLO, mengemukakan kenyataan bahwa PLO mengalihkan fokus kampanyenya "dari terorisme ke diplomasi" unruk memperoleh suatu negara Palestina. Jalan diplomasi itu memang suatu pilihan terbaik sejak pasukannya harus berevakuasi ke delapan penjuru, jauh dari perbatasan Israel. Satu penerbitan pro-Palestina di New York, Action, melontarkan gagasan agar tentara PLO diperkecil jumlahnya - cukup 500 saja --- supaya tersedia lebih banyak dana untuk kampanye pers yang seiring dengan usaha diplomasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus