SAMPAI belum lama berselang gambar teievisi -- umumnya berasal
dari jaringan Barat--sering menunjukkan warga Israel menjadi
korban serangan PLO. Pejuang Palestina sering pula disebut
sebagai kaum teroris. Maka citra PLO jatuh sekali, terutama di
Amerika, tempat kaum Yahudi sangat berpengaruh.
Tapi gambaran demikian, dalam sekejap, sudah berubah. Sejak
pasukan Israel menyerbu ke Libanon, kemudian mengepung Beirut,
dan mengebom Beirut sarat terus-menerus, banyak penduduk sipil
menjadi korban. Stasiun televisi menyiarkan kaum wanita dan anak
mereka berlarian ketakutan, dan betapa sibuknya para dokter
merawat para korban di rumah sakit. Sungguh mengharukan, bahkan
bagi kaum Yahudi Amerika pun.
"Perang di Libanon telah menimbulkan ledakan makian terhadap
Israel di kalangan masyarakat Amerika sampai tingkat yang belum
pernah terjadi sebelumnya," tulis Norman Podhoretz dalam
Commentary, suatu media intelektual Yahudi Amerika. Podhoretz
biasanya membela Israel, dan dia penulis yang dihormati.
Nicholas von Hoffman, seorang kolumnis Amerika, menulis bahwa
banyak rekannya dalam media dulu merasa enggan mengambil risiko
untuk merugikan Israel mcngenai soal Palestina--khawatir akan
daftar hitam. "Sekarang mereka lebih berani mengemukakan
pandangan mereka sebenarnya."
Tulisan Hoffman tidak saja muncul di ratusan surat kabar
Amerika, termasuk Washington Post, tapi juga koran Eropa.
"Insiden demi insiden, pembunuhan demi pembunuhan, menyadarkan
rakyar Amerika bahwa pemerinrah Israel sedang menempa Bintang
Dawud menjadi Swasrika (Nazi)," tulis Hoffman.
Pembandingan Israel denga Nazi juga dilakukan oleh penulis
Amerika lainnya, seperti William Pfaff. Satu tulisannya untuk
International Herald Tribune (yang redaksinya berpusat di
Paris) menyatakan militer sekarang beristirahat dengan tenang
karena orang Yahudi sendiri, di Israel, menerima akhirnya cara
yang pernah ia lakukan.
Menurut An Nanda, pembantu TEMPO di Washington, berbagai
jaringan televisi Amerika menyediakan prioritas untuk berita
peristiwa Libanon. Sementara akibat kebuasan militer Israel
dipertontonkan, Yasser Aralat sering diperlihatkan menghibur
anak-anak yang menderira. serita televisi tidak lagi menimbulkan
kesan bahwa tokoh PLO itu seorang teroris, tapi justru pembela
kaum tertindas, yang terkena teror.
"Seperti halnya ketika perang vietnam mencapai puncaknya, ketika
rakyat Amerika mengikuti apa saja yang terjadi, banyak keluarga
di rumah masing-masing, ada yang sambil mengunyah popcorn,
memperhatikan berita Libanon. ABC, NBC dan 61. ketiganya
jaringan televisi Amerika yang utama saling berebut, dahuh
mendahului menyiarkan kehancuran, keganasan, kegagahan dan
ketidakberdayaan di Libanon," demikian An Nanda dalam
laporannya.
Pirsawan Amerika tentu akhirnya membanding agresi Israel, walau
apa pun alasannya, dengan Vietnam dulu. ketika prajurit Amcrika
menjadi berita pengeboman terhadap penduduk Vietnam. Peristiwa
Vietnam dulu menimbulkan gelombang demonstrasi rakyat Amerika.
Sekarang tidak ada demonstrasi itu, memang prajurit Amerika
tidak terlibat membunuh di Libanon tapi gambar televisi tadi
rupanya bel pengaruh juga terhadap pendapar umum Amerika. Hasil
angket Gallup awal September, misalnya, menunjukkan masyarakat
Amerika yang pro-Israel tinggal 56%, menurun dari 74% pada tahun
1981. Sedang yang tidak mendukung Israel sebanyak 36%. naik dari
19%, untuk periode yang sama.
Angket Gallup itu terjadi sebelum pembantaian di kamp pengungsi
Palestina di Sabra dan Shatila, seirut Kalau angket itu
diulang, menumt perkiraan kolumnis Joseph C. Harsh (surat kabar
Christian Science Monitor), akan kelihatan jumlah mereka yang
pro-Israel lebih menurun lagi.
Banyak wartawan Barat merasa senasib sama-sama menderita dengan
penduduk, mengalami pengeboman Israel, ketika PLO belum
mengungsi dari Beirut Barat. Mereka sempat membina hubungan baik
dengan para pemimpin PLO dalam masa bagian kota itu terkepung
oleh pasukan Israel. Itu pula sebabnya, menurut Zef Chafets,
juru bicara pemerintah Israel, maka pers sarat tidak begitu
bersahabat terhadap Israel.
Ucapan Chafets terutama membavangkan kejengkelan pemerintahnya
terhadap penyajian film oleh jaringan televisi Amerika.
"Televisi secara berlebihan membesar-besarkan jumlah kerusakan,
dan gagal menegaskan sebab-musabab (causes) perang ini,"
katanya. Memang begitulah, kemudian tulis Newsweek "sifat
berita televisi lemah dalam sebab-musabab, kuat dalam akibatnya
(effects)."
Majalah Newsweek, walaupun tidak begitu memihak perjuangan PLO,
mengemukakan kenyataan bahwa PLO mengalihkan fokus kampanyenya
"dari terorisme ke diplomasi" unruk memperoleh suatu negara
Palestina. Jalan diplomasi itu memang suatu pilihan terbaik
sejak pasukannya harus berevakuasi ke delapan penjuru, jauh dari
perbatasan Israel.
Satu penerbitan pro-Palestina di New York, Action, melontarkan
gagasan agar tentara PLO diperkecil jumlahnya - cukup 500 saja
--- supaya tersedia lebih banyak dana untuk kampanye pers yang
seiring dengan usaha diplomasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini