Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pra-Peradilan, Serba Mencoba

Seminar tentang praperadilan, diselenggarakan oleh peradin. pelaksanaan praperadilan dinilai belum berjalan semestinya, bahkan belum jelas termasuk pidana atau perdata. (hk)

9 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBAGA pra-peradilan yang tercipta melalui KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) hampir setahun yang lalu, ternyata belum berjalan mulus. Perbedaan pendapat dan penafsiran yang tajam antara sesama penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa, segera terjadi begitu mereka mamasuki pelaksanaannya. Apalagi, 'para pelaksana masih coba sana coba sini ujar Ketua Peradin Jaya, Yan Apul, dalam seminar tentang pra-peradilan yang diselenggarakan Peradin, Rabu pekan lalu, di Hotel Hasta Jakarta. Selain seminar tentang pra-peradilan, Peradin hari itu sekaligus menyelenggarakan diskusi "professi hakim" dan "aspek keuangan bantuan hukum". Dalam diskusi tentang professi hakim disinggung pula kesejahteraan hakim. (Lihat box: Layaknya gaji seorarg Hakim). Pelaksanaan pra-peradilan di beberapa tempat, sampai saat ini ternyata belum sebagaimana mestinya. Tata cara persidangannya pun belum seragam. Menurut Yan Apul ada hakim yang bersidang seperti perkara pidana biasa, yaitu tanya jawab antara hakim dan pihak yang berperkara. Tapi, tambahnya, ada pula yang bersidang seperti dalam perkara perdata, yaitu melalui surat menyurat, baik tuntutan maupun tangkisan. Memeriksa sah tidaknya penahanan terhadap seorang tersangka, juga antara beberapa pengadilan berlainan cara. Ada hakim yang memeriksa secara formal saja, kata Yan Apul. Maksudnya, hakim hanya memeriksa sah tidaknya penahanan melalui surat-surat formal adakah surat perintah penahanan, pasal apa yang dituduhkan? Tapi sebaliknya, ada juga hakim yang mau memeriksa secara material betulkah ada bukti permulaan bahwa seorang tersangka melakukan perbuatan yang dituduhkan? Persoalan ini menjadi penting, karena pasal 17 KUHAP mensyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup di tangan polisi sebelum menangkap tersangka. "Tapi siapa yang akan menilai adanya bukti permulaan itu, kalau hakim praperadilan tidak meneliti berkas itu?" tanya Abdurahman Saleh, Direktur LBH Jakarta, di seminar itu. Pihak Polri yang diwakili Letkol.Pol. R.M. Harahap tidak bisa menerima kalau dalam proses pra-peradilan diperiksa pula berkas perkara. "Itu sudah mencampuri urusan pengadilan pidana," ujar Harahap. Menurut perwira polisi ini, sidang pra-peradilan cukup memeriksa alasan formal, yaitu sah-tidaknya seseorang ditahan atau ditangkap. Alasan Harahap ini segera memancing reaksi keras dari kalangan pengacara, khususnya Yap Thiam Hien, Rusdi Nurima dan Abdurahman Saleh. "Apa salahnya hakirn pra-peradilan memasuki bidang material?" tanya mereka. Sebab, perkara yang diperiksa di pra-peradilan itu, bagaimanapun juga, menurut Abdurahman Saleh, merupakan perkara pidana. Ternyata inilah persoalan yang sebenarnya apakah pra-peradilan sidang pidana atau perdata? Pihak pengacara menilai sidang lembaga baru itu merupakan sidang pidana. Dan karenanya hakim berhak memeriksa materi perkara. Sebaiknya pihak Polri. Perdebatan yang berkelanjutan di seminar itu sampai pukul 20 malam itu, seharusnya berakhir pukul 16 sore, tidak menghasilkan titik temu antara kedua pihak yang bersitegang. Ketidakseragaman pelaksanaan praperadilan yang lain menurut Yan Apul dalam makalahnya, adalah mengenai ganti rugi untuk tersangka yang mengalami penahanan atau penangkapan tidak sah. Pengacara itu sendiri beberapa kali mengajukan tuntutan ganti rugi ke lembaga pra-peradilan dan selalu ditolak "Ada isu, penolakan itu karena pemerintah belum siap membayar ganti rugi, tapi mudah-mudahan kabar itu tidak benar," ujar Yan Apul. Isu atau kabar burung, yang pasti sebab sejak Agustus lalu beberapa permohonan ganti rugi melalui pra-peradilan ada yang dikabulkan hakim. Salah satu di antaranya, tuntutan karyawan PT Podomoro melalui kuasanya Rusdi Nurima di pra-peradilan Pegadilan Negeri Jakarta Utara. Hanya saja, Rusdi kemudian bingung kepada siapa ia harus meminta ganti rugi itu. Di dalam putusan hakim tidak disebutkan, siapa yang membayar ganti rugi Polisi atau kas negara? Sebab itu, ia merasa kemenangannya di pra-peradilan masih kemenangan di atas kertas saja. (TEMPO, 11 September). Tapi jika pun ditetapkan siapa yang harus membayar, "masih jadi tanda tanya: siapa eksekutor putusan hakim itu?" tanya Rusdi Nurima selanjutnya. Sebab adalah tidak mungkin seorang tersangka yang mendapat ganti rugi menagih sendiri ganti ruginya ke Kodak. KUHAP juga tidak mengatur masalah ini. Sebab itu ada hakim yang mengusulkan agar eksekutor (pelaksana putusan hakim) adalah jaksa. "Tapi bagaimana kalau terjadi jaksa yang diharuskan membayar ganti rugi?" tanya Rusdi lagi. Sebab itu Rusdi menganggap masih banyak hal tentang pra-peradilan yang tidak diatur terperinci oleh KUHAP-salah satu kelemahan UU itu. "Padahal pra-peradilan itu, selain untuk mengawasi KUHAP, juga titik tolak untuk mengukur apa KUHAP itu berhasil atau tidak dilaksanakan," ujar Rusdi Nurima lagi. Adanya lubang-lubang yang menganga tentang pra-peradilan diakui juga oleh Albert Hasibuan SH, anggota Komisi III yang ikut merumuskan undang-undang itu. "KUHAP memang mengatur pokok-pokoknya saja, pengaturan selanjutnya terserah pemerintah" ujar Albert Hasibuan. Katanya, ketika lembaga pra-peradilan itu disetujui untuk dimasukkan KUHAP, anggota DPR ketika itu sudah merasa suatu kemajuan besar. "Kita terima itu dulu, bagaimana pengaturannya bisa dengan peraturan pemerintah," ujarnya. Menteri Kehakiman Ali Said langsung menanggapi. Sehari setelah diskusi yang tidak menghasilkan kesepakatan itu, Ali Said mengunjungi para advokat yang tengah berapat-kerja di Hotel Hasta. Menteri Kehakiman yang dikenal tangkas menawab pertanyaan, mengumumkan peraturan pelaksanaan pra-peradilan sulah selesai disusun. "Tinggal pengesahanya saja," kata Ali Said, tanpa menjelaskan perincian pengaturan itu. Sumber TEMPO membenarkan, rancangan peraturan itu sudah disampaikan Menteri Kehakiman ke Sekretaris Negara. Disebutkan dalam rancangan itu kata sumber tadi, ketetapan ganti rugi bagi tersangka yang dirugikan, antara Rp 5 ribu sampai Rp 1 juta untuk setiap hari penahanan yang tidak sah. Seandainya tersangka sampai cacat atau meninggal di tahanan, akan mendapat ganti rugi Rp 3 juta. "Asal saja tidak ada tahanan ang ingin cacat di tahanan untuk mendapat ganti rugi," gurau sumber itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus